NovelToon NovelToon
Voice From The Future

Voice From The Future

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Romansa Fantasi / Teen School/College / Time Travel / Romansa / Enemy to Lovers
Popularitas:50
Nilai: 5
Nama Author: Amamimi

Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Koneksi Dua Arah

Udara malam musim gugur terasa dingin menerpa wajah Ren saat mereka melangkah keluar dari gerbang sekolah yang sudah sepi. Lampu-lampu koridor di belakang mereka tampak redup, dan satu-satunya suara adalah derap langkah kaki mereka yang menggema di jalan aspal yang sunyi.

Suasana terasa seratus kali lebih canggung daripada di dalam ruang OSIS. Di sana, mereka punya tujuan. Papan tulis, spidol, dan daftar masalah festival menjadi perisai yang nyaman. Di sini, di bawah langit malam yang luas dan gelap, hanya ada mereka berdua.

Dan Tsukishima Marika jelas merasakan hal itu.

Gadis itu berjalan setengah langkah di depan Ren, sengaja memberi jarak. Punggungnya kembali tegak lurus seperti penggaris baja, dan nada bicaranya—jika dia mau bicara—telah kembali ke setelan pabrik: dingin dan efisien.

"Jangan salah paham, Sato-kun," katanya tiba-tiba, memecah keheningan tanpa menoleh ke belakang. "Ini murni karena efisiensi logistik. Perut yang lapar menurunkan produktivitas. Dan besok kita harus berhadapan dengan Klub Kendo."

Ren, yang sebenarnya sedang tersenyum kecil di belakangnya, buru-buru memasang wajah serius. "Tentu. Efisiensi. Aku mengerti, Tsukishima-san."

"Bagus kalau kamu mengerti."

Mereka berjalan dalam diam yang kaku selama beberapa menit lagi sebelum akhirnya tiba di depan toko roti kecil bercat putih di sudut jalan dekat stasiun. "Bonjour Bakery". Aroma mentega hangat dan gula yang baru dipanggang menyeruak keluar, kontras dengan sikap dingin Marika.

Saat mereka masuk, seorang wanita tua di belakang meja kasir menyambut mereka dengan ramah. "Selamat malam! Ah, anak-anak SMA rajin sekali! Baru pulang klub?"

"Sesuatu seperti itu," gumam Ren.

Marika, mengabaikan sapaan itu, langsung menuju rak "Diskon 50%". Gerakannya cepat dan penuh tujuan, seolah sedang menjalankan misi militer. Ren mengikutinya dengan bingung.

Dia mengambil nampan dan penjepit. "Baik. Rencana alokasi sumber daya," katanya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Kebutuhan protein dan karbohidrat untuk energi besok..."

Dia dengan cepat mengambil Roti Kari yang baru didiskon. Lalu, matanya melirik ke rak di sebelahnya. Di sana, tergeletak satu-satunya Melon Pan (Roti Melon) yang tersisa, taburan gulanya berkilauan di bawah lampu toko.

Jantung Ren berdebar sedikit. Melon. Seperti soda melon.

Marika ragu-ragu sejenak. Tangannya terulur, lalu ditariknya kembali. Dia melirik Ren dari sudut matanya, memastikan Ren tidak melihat.

Ren buru-buru pura-pura sibuk melihat roti sosis.

Setelah merasa aman, tangan Marika melesat dan mengambil Melon Pan itu, meletakkannya di nampan dengan gerakan defensif.

"Aku... suka yang manis untuk sarapan," katanya tiba-tiba, suaranya sedikit terlalu keras, seolah mengantisipasi pertanyaan yang tidak Ren ajukan.

"Itu... terlihat enak," jawab Ren netral.

"Hmph."

Mereka berjalan ke kasir. Ren mengeluarkan dompetnya. "Biar aku—"

"Tidak perlu." Marika memotongnya dengan cepat. Dia sudah meletakkan nampannya dan mengeluarkan uang pas dari dompetnya. "Aku tidak suka berhutang budi. Anggap saja ini... kompensasi karena membuatmu lembur."

"Tapi, Tsukishima-san, aku juga lembur!" protes Ren.

"Dan kamu mendapatkan Roti Kari," balas Marika, mengambil kantong kertas dari kasir. "Ini adil. Efisien."

Sebelum Ren bisa berdebat lagi, Marika sudah berjalan keluar toko. Ren buru-buru membayar Roti Karinya sendiri dan berlari kecil menyusulnya.

"Kamu tidak perlu membayariku!" kata Ren, sedikit kesal.

"Aku sudah melakukannya. Jangan diperdebatkan lagi. Itu tidak efisien." Marika membuka kantong kertasnya dan mengeluarkan Melon Pan itu. Dia menggigitnya.

Mereka berjalan di bawah lampu jalan oranye menuju stasiun. Ren, yang menyerah berdebat, akhirnya membuka kantongnya sendiri dan menggigit Roti Karinya yang masih sedikit hangat. Kari-nya pedas dan gurih. Enak sekali.

"Jadi," Ren mencoba memecah keheningan sambil mengunyah. "Klub Kendo besok. Kamu yakin... kita bisa menang?"

Marika berhenti mengunyah sejenak. "Kita tidak akan 'menang'. Kita akan 'bernegosiasi'. Dan ketua mereka, Tanaka-senpai... dia orang yang sangat keras kepala. Dia selalu berteriak."

Ada nada ragu yang nyaris tak terdengar dalam suara Marika.

Ren, yang masih terbawa suasana kerja sama mereka di ruang OSIS tadi, tersenyum. "Tenang saja. Kalau dia mulai berteriak padamu, aku akan berdiri di depanmu. Aku bisa jadi tameng."

Itu adalah kalimat yang salah.

Marika berhenti berjalan. Dia berbalik menatap Ren, matanya menyipit di bawah cahaya lampu jalan. Gigitan Melon Pan terhenti di mulutnya.

"Hah?!" bentaknya, rona merah langsung menjalar di pipinya—entah karena marah atau malu. "Tameng?! Siapa yang kamu pikir butuh tameng?! Aku?! Jangan konyol, Sato-kun!"

Ren langsung Terdiam. "Eh? A-aku cuma bercanda..."

"Aku bisa menghadapi sepuluh orang seperti Tanaka-senpai sendirian! Aku ketua OSIS!" lanjut Marika, suaranya kembali meninggi. "Jangan mentang-mentang idemu dipakai sekali, kamu jadi besar kepala! Kamu tetaplah 'Sato-kun si Pemalas' bagiku! Mengerti?!"

"Ba-baik! Aku mengerti! Maaf!" Ren mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah.

Marika mendengus keras. Dia berbalik badan dan kembali berjalan, kali ini lebih cepat. "Dasar bodoh."

Ren menghela napas, tapi kemudian tersenyum kecil. Dia... merepotkan sekali. Dia berlari kecil untuk menyamakan langkahnya, menjaga jarak aman sekitar dua langkah di belakangnya, persis seperti pengawal yang penakut.

Mereka tiba di stasiun dalam keheningan yang tegang. Peron mereka berbeda arah.

"Ja..." Ren memulai.

"Hn." Marika sudah membalikkan badan dan memindai kartunya di gerbang tiket, menghilang di tengah kerumunan tanpa menoleh ke belakang.

Ren ditinggalkan sendirian. Dia menatap Roti Karinya yang tinggal setengah.

"Benar-benar... merepotkan."

Satu jam kemudian, Ren berbaring telungkup di kasur di kamarnya. Roti kari sudah ludes, tugas sekolah sudah ia abaikan. Perasaannya campur aduk. Dia kesal karena dibentak Marika, tapi dia juga merasa geli mengingat wajah Marika yang memerah saat marah tadi.

Dia meraih MP3 player di meja belajarnya. Benda itu terasa seperti jangkar di tengah lautan kebingungannya.

"Baiklah," bisiknya. "Apa kata istriku soal ini?"

Dia memasang earphone dan menekan play. Awalnya hanya statis, seperti biasa. Dia menunggu.

Satu menit. Dua menit. Tidak ada apa-apa.

"Hah..." Ren kecewa. Mungkin tidak ada pesan malam ini.

Dia baru saja akan melepas earphone-nya ketika getaran itu datang. Pelan, tapi nyata. Ren langsung duduk tegak di tempat tidurnya.

Suara statis memudar. Suara Marika dewasa terdengar, nadanya geli.

"Malam, Ren-kun. Wah... Roti Kari diskon, ya? Nostalgia sekali..."

Ren terbelalak. "Dia... dia tahu?!"

"Aku ingat malam itu," lanjut suara Marika dewasa, tertawa lembut. "Kamu... terlihat konyol sekali saat perutmu berbunyi di ruang OSIS."

Wajah Ren langsung memanas sendirian di kamarnya. Dia merasa seperti sedang diawasi.

"B-Berisik!" sembur Ren tanpa sadar, bicara pada udara kosong di kamarnya. "Itu... itu wajar! Aku lapar!"

Hening.

Suara tawa di earphone-nya berhenti.

Hening yang berat dan penuh statis.

Ren membeku. Apa dia baru saja...

"...Apa?"

Suara Marika dewasa terdengar lagi. Tapi kali ini berbeda. Tidak seperti rekaman. Suaranya terdengar ragu, tipis, dan... dekat.

"Ren-kun? Tadi... tadi itu suaramu? Kamu... kamu bilang apa?"

Jantung Renjiro Sato terasa seperti berhenti berdetak selama tiga detik, lalu berdebar seribu kali lebih kencang. Ini... ini bukan rekaman. Suara ini meresponnya.

"Tunggu..." Suara Marika dewasa terdengar panik. "Suaraku... apa kamu mendengarku... sekarang? Saat ini juga? Ini... ini bukan rekaman?"

Ren panik. Otaknya korslet. Dia menelan ludah, tenggorokannya kering. Dia memberanikan diri.

"Ma... Marika-san?" bisiknya, suaranya gemetar. Dia menggunakan panggilan sopan untuk versi dewasa, tidak tahu harus memanggil apa lagi.

Keheningan yang menyiksa. Hanya ada suara statis yang terdengar seperti deru ombak jarak jauh.

Lalu...

Terdengar isak tangis.

Isak tangis yang tertahan, yang pecah, yang penuh dengan rasa sakit dan kelegaan yang tak terbayangkan.

"Ya Tuhan... Ya Tuhan... Ren-kun! Ren-kun, ini... ini beneran kamu?! Kamu beneran bisa dengar aku?!"

Suaranya begitu jelas, begitu putus asa.

Ren ingin menjawab. Dia membuka mulutnya. "A-aku—"

KLIK.

Koneksi terputus.

Hening total. Bahkan suara statis pun hilang.

Ren terduduk di tempat tidurnya, earphone masih menempel di telinganya. Napasnya terengah-engah. Wajahnya pucat pasi.

MP3 player di tangannya terasa seratus kali lebih berat.

Ini bukan lagi kotak pandora berisi kenangan. Ini adalah telepon. Telepon yang menembus sepuluh tahun keputusasaan.

1
Celeste Banegas
Bikin nagih bacanya 😍
Starling04
Gemes banget sama karakternya, ketawa-ketiwi sendiri.
Murniyati Mommy
Asyik banget bacanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!