Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28. Saling Memahami
28
Di luar, angin laut bertiup lembut, membawa aroma yang seharusnya menenangkan, namun di dalam kamar, tiga orang hanya terdiam. Liang duduk di kursi panjang, sementara Aldrich bersandar di meja, menatap lurus tanpa ekspresi. Allen berdiri di hadapan mereka, menunduk, kedua tangannya gemetar halus di sisi tubuhnya.
“Allen,” suara Liang terdengar lembut, tapi tegas. “Aku rasa sudah waktunya kamu bicara jujur.”
Allen mengangkat kepala perlahan, menatap Liang, lalu bergeser ke arah Aldrich yang wajahnya benar-benar sulit terbaca.
“Aku… aku gak tahu harus mulai dari mana,” katanya pelan.
“Mulailah dari alasan kenapa kamu berpura-pura jadi laki-laki,” ujar Liang lagi, kali ini lebih dalam nadanya.
Aldrich tetap diam, tapi sorot matanya menusuk, seolah ingin mencari kebenaran di balik wajah Allen.
Allen menarik napas panjang, lalu menghembuskan pelan. “Aku gak bermaksud menipu, Ko Liang. Dan terutama… aku gak ingin Mas Aldrich merasa dibohongi. Tapi aku, aku gak punya pilihan lain.”
“Gak punya pilihan?” Aldrich akhirnya bersuara, nada suaranya datar tapi dingin. “Kamu berpura-pura, ikut ke mana-mana denganku, bahkan masuk timku, dan kamu bilang gak punya pilihan?”
Allen menunduk lagi, suaranya bergetar. “Aku cuma ingin cari tempat aman, Mas. Aku lari… dari seseorang.”
Liang tampak mencondongkan tubuh ke depan. “Seseorang? Siapa?”
Allen menggigit bibirnya keras-keras, mencoba menahan air mata. Tapi akhirnya ia mengucapkannya juga.
“Dia… mantan tunanganku. Namanya Carlos.”
Kedua pria di depannya saling berpandangan. Liang terkejut, sedangkan Aldrich tetap membisu.
“Aku dan dia dulu bertunangan. Tapi… aku menemukan pengkhianatan. Dia berselingkuh,” lanjut Allen, suaranya kini serak. “Aku memutuskan semuanya dan pergi. Tapi Carlos gak terima. Dia terus mencari aku, bahkan menyuruh orang-orangnya menyisir seluruh kota. Aku takut, ko Liang, mas Aldrich… aku benar-benar takut. Dan aku gak punya siapa-siapa yang bisa membelaku.”
Liang memejamkan mata sejenak, seolah mencerna semuanya. “Jadi… itu alasan kamu menyamar jadi laki-laki?”
Allen mengangguk pelan. “Aku pikir, kalo aku ubah identitasku, kalo aku sembunyikan semuanya, aku bisa mulai dari awal. Aku cuma ingin bekerja dengan tenang… hidup dengan tenang.”
Keheningan panjang menyelimuti ruangan. Hanya terdengar desiran ombak dari luar jendela dan detak jam dinding yang terdengar jelas di antara mereka.
Aldrich akhirnya bersuara, perlahan tapi tegas. “Kamu sadar nggak, Allen… atau siapapun nama kamu, seandainya ko Liang gak tahu, seandainya aku gak menemukanmu malam itu… kebohongan ini bisa lebih besar dari yang kamu bayangkan?”
Allen menatapnya, air mata sudah menetes tanpa bisa ia tahan. “Aku sadar, Mas. Tapi aku benar-benar gak punya niat jahat. Aku cuma ingin hidup normal lagi. Jauh dari tekanan dan bayang-bayang Carlos.”
Liang bangkit dari duduknya, berjalan pelan dan menepuk bahu Allen dengan lembut. “Kamu salah langkah, tapi aku ngerti. Kamu cuma berusaha bertahan.”
Aldrich menatap keduanya cukup lama sebelum akhirnya berdiri dan berjalan ke arah pintu balkon.
“Kalo begitu,” katanya tanpa menoleh, “kamu akan tetap kerja di sini sampai syuting selesai. Setelah itu, kita bicarakan lagi.”
Suara pintu kaca bergeser, angin laut masuk perlahan.
Liang memandang ke arah Aldrich yang kini berdiri menatap laut, lalu kembali ke Allen yang tampak hancur oleh perasaannya sendiri.
Allen menggenggam tangannya sendiri erat-erat. “Aku tahu Mas Aldrich pasti benci sama aku sekarang…”
Liang menatapnya lembut. “Dia bukan benci, Allen. Dia cuma… terluka karena percaya pada orang yang ternyata bersembunyi darinya. Tapi percayalah, cepat atau lambat, dia akan paham kenapa kamu melakukan semua ini.”
Allen terdiam. Pandangannya tertuju pada punggung Aldrich yang berdiri di bawah cahaya jingga senja.
Ia tahu, tidak ada kata maaf yang cukup untuk memperbaiki segalanya, tapi di sudut hatinya, Allen berharap Aldrich suatu hari akan melihat dirinya bukan sebagai pembohong, melainkan sebagai seseorang yang hanya berusaha bertahan dari luka masa lalu.
**
Setelah pertemuan sore yang tegang itu, suasana kamar vila setelah syuting berakhir menjadi sunyi. Liang sudah keluar untuk mengatur jadwal syuting besok pagi, meninggalkan Aldrich dan Allen dalam keheningan yang entah kenapa terasa lebih berat dari suara petir sekalipun.
Aldrich duduk di bawah lampu balkon yang temaram, menatap kosong ke arah laut yang mulai gelap di balik jendela besar. Di tangannya, secangkir kopi sudah dingin sejak lama. Tapi pikirannya tak berhenti berputar. Tentang Allen. Tentang pengakuan gadis itu. Dan tentang dirinya sendiri.
Ia meneguk napas panjang.
“Lari dari masa lalu... ” gumamnya pelan. Bibirnya membentuk senyum tipis, senyum yang lebih mirip ironi daripada kebahagiaan.
Allen… gadis itu berpura-pura menjadi pria hanya demi bertahan hidup. Demi melindungi dirinya sendiri dari seseorang yang dulu ia percayai.
Bukankah itu sama seperti dirinya?
Aldrich menatap bayangannya di jendela. Sosok pria putus asa namun tampak tenang dan berwibawa, tapi sesungguhnya hanyalah seseorang yang sudah lama kehilangan arah hati.
Ia dulu pernah mencintai, pernah menyerahkan seluruh dirinya pada seorang wanita. Dan wanita itu adalah Ayumi.
Aldrich menunduk, mengusap wajahnya dengan tangan. Luka itu belum sembuh. Ia mengaku pada dunia bahwa dirinya tidak butuh siapa pun, tapi sejatinya ia hanya terlalu takut untuk percaya lagi.
“Aku juga bersembunyi,” batinnya lirih.
“Aku pun sama seperti dia.”
Langkah ringan terdengar dari arah pintu kamar. Allen muncul dengan pakaian santai, membawa sepiring buah potong. Wajahnya masih tampak lelah, tapi tatapannya menunjukkan keteguhan. Ia berhenti di ambang pintu ketika melihat Aldrich masih terjaga.
“Mas belum tidur?” tanyanya hati-hati.
Aldrich tidak menoleh, hanya menjawab datar, “Sulit tidur.”
Lalu, setelah beberapa detik hening, ia bertanya balik, “Kamu juga?”
Allen menggeleng pelan. “Aku takut Mas masih marah.”
Aldrich menarik napas, menatap laut lagi. “Marah, iya. Tapi gak sepenuhnya ke kamu.”
Allen tampak bingung. “Maksudnya?”
Aldrich menoleh, menatapnya untuk pertama kali sejak kejadian itu. Tatapan yang tidak lagi dingin, tapi juga belum bisa disebut lembut. Ada kelelahan yang dalam di mata itu.
“Kadang, kita berdua cuma manusia yang tidak tahu bagaimana caranya hidup dengan tenang setelah disakiti,” katanya perlahan. “Kamu memilih bersembunyi dengan cara menjadi orang lain… dan aku memilih menghapus rasa dengan jadi orang tanpa hati.”
Allen terdiam, tenggorokannya terasa tercekat.
Ia tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menunduk, mencoba menahan air mata yang entah kenapa ingin jatuh lagi.
Aldrich mengembuskan napas, kemudian bangkit. Ia berjalan pelan mendekati Allen, lalu berhenti tepat di hadapannya.
Suaranya lebih tenang ketika berkata, “Kamu gak perlu menjelaskan apa pun lagi. Aku sudah mengerti.”
Allen mengangkat wajahnya perlahan, menatap sang aktor yang kini tampak jauh lebih manusiawi dari biasanya.
“Terima kasih, Mas,” ucapnya lirih.
Aldrich tersenyum samar, tapi cepat-cepat ia palingkan wajahnya, berdehem ringan seolah ingin menepis kehangatan yang mulai muncul di dadanya. “Sudahlah. Tidur sana. Besok kita harus syuting pagi.”
Allen mengangguk, menunduk hormat, meletakkan piring di meja, lalu berjalan menuju kamarnya. Tapi sebelum ia benar-benar melangkah pergi, ia menoleh sebentar dan berbisik, “Aku senang akhirnya Mas tahu… dan tetap mau aku di sini.”
Pintu kamar tertutup pelan.
Aldrich memandang ke arah itu beberapa detik sebelum akhirnya kembali duduk, tersenyum tipis untuk dirinya sendiri.
“Ternyata, aku tidak sekeras yang kukira.”
Di luar, ombak bergulung pelan, menyapu pasir di bawah cahaya bulan.
Dan di dalam vila itu, dua jiwa yang sama-sama terluka, dua orang yang selama ini bersembunyi di balik topeng, mulai perlahan menemukan bahwa mungkin, tanpa disadari, mereka sedang saling menyembuhkan.
.
YuKa/ 311025
alhamdulillah. akhirnya Aldrich ngungkapin perasaannya ke Allea. ikut bahagia. pokoknya rukun2 kalian berdua. kita tunggu nikahan 2 bulan lagi. yeyyy... kondangan online kita. bener Ko Liang. bilang aja ngantuk n gk lihat kanan kiri, biar selamet🤭🤭🤭🥰🥰🥰
mksh kak Yuka
love love sekebon🥰🥰🥰
adanya adegan romantis mulu
sayangnya tak ada paksu
udah balik cari cuan dulu, 😭😭😭