Yang Suka Action Yuk Mari..
Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Bab 22-
Sikap Rangga saat itu benar-benar terlihat arogan dan dingin.
Siapa pun yang menyaksikan peristiwa tersebut pasti akan marah pada wanita itu. Rangga sendiri tak menyangka, perempuan itu masih memiliki keberanian untuk kembali ke rumah ini, seolah tidak pernah melakukan kesalahan apa pun di masa lalu.
Di sebelahnya, Togu hanya menghela napas pelan, menatap kosong ke arah lantai sembari mengisap rokoknya yang sudah hampir habis.
Rangga melirik sekilas ke arahnya — jelas sekali dari sorot matanya, Togu masih menyimpan perasaan terhadap wanita itu.
Usia tak pernah menjadi batas dalam hal cinta; bahkan luka yang dalam sekalipun bisa membuat seseorang sulit melepaskan kenangan.
Beberapa orang di ruang tamu sempat terkejut ketika melihat sikap Rangga yang begitu tenang namun berwibawa.
Ia menatap mereka tanpa emosi, lalu mengeluarkan ponselnya. Dengan ekspresi datar, Rangga berpura-pura menekan nomor polisi.
Bagi orang-orang biasa seperti mereka, Rangga tidak perlu benar-benar bertindak keras. Ia tahu, sedikit tekanan saja sudah cukup untuk membuat mereka gentar — tujuannya hanyalah agar mereka pergi tanpa membuat keributan.
Melihat itu, wajah wanita paruh baya tersebut berubah tegang. Ia menatap Menik dan Togu bergantian, lalu berkata dengan suara memelas,
> “Menik... Ibu tahu Ibu sudah salah. Tolong pikirkan lagi, jangan keras hati seperti ini.”
Selesai bicara, wanita itu berbalik dan keluar dari rumah bersama beberapa orang yang datang bersamanya.
Begitu mereka pergi, suasana langsung terasa lebih tenang. Rangga menepuk lembut kepala Menik, suaranya lembut namun tegas,
> “Jangan menangis lagi, ya. Lihat, matamu sampai bengkak begitu. Bukankah kamu harusnya senang setelah melihat aku kembali? Coba beri aku senyum terbaikmu.”
Ia benar-benar memperlakukan Menik layaknya adik sendiri — penuh perhatian, namun tetap dengan wibawa seorang kakak laki-laki.
Menik mencoba mengerucutkan bibirnya, berusaha tersenyum, tapi air matanya masih sulit dikendalikan.
Rangga lalu mengajaknya duduk di sofa, menutup pintu rumah, dan menatap Togu dengan serius.
> “Om Togu,” katanya perlahan, “bagaimana menurutmu? Apakah Om masih ingin hidup bersama dengan wanita itu?”
Sebelum Togu sempat menjawab, Menik langsung menyela dengan nada keras,
> “Tidak! Aku tidak akan pernah menganggapnya sebagai ibuku lagi!”
Giginya terkatup rapat, wajahnya memerah karena emosi.
Dari sudut pandang Rangga, sikap Menik tidak bisa disalahkan. Ia benar, memang. Namun, di sisi lain, Rangga tahu bahwa hubungan keluarga berbeda dengan urusan dirinya dan Liana hale.
Antara dirinya dan Liana, tidak pernah ada perasaan cinta. Rangga merawat Liana semata-mata karena rasa terima kasih — balas budi. Setelah itu, ia pergi, membangun hidupnya sendiri dengan kekuatan dan kerja kerasnya.
Namun bagi Togu dan wanita itu, situasinya berbeda. Mereka sudah menikah bertahun-tahun, membesarkan anak bersama, dan ada banyak kenangan yang tak bisa dihapus begitu saja.
Yang paling membuat Rangga ragu adalah: dari sikap Togu, ia masih bisa melihat bahwa lelaki itu menyimpan sedikit perasaan untuk istrinya.
Ucapan Menik tadi hanyalah luapan amarah sesaat. Rangga tahu — dulu ketika mereka masih tinggal di kampung, ia sering memergoki Menik menatap foto ibunya diam-diam. Ada rindu yang disembunyikan, yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Meski begitu, Rangga tetap tak bisa menyukai wanita itu. Baginya, perempuan yang meninggalkan suami dan anaknya demi pria lain tidak layak mendapat simpati. Namun tetap saja, keputusan akhir bukan di tangannya. Itu hak mereka.
Togu terdiam lama, kemudian menyalakan sebatang rokok baru. Asapnya mengepul di udara, matanya kosong menatap jauh.
> “Aku... tidak tahu,” katanya pelan.
Rangga mengangguk memahami.
> “Kalau menurutku,” katanya lembut, “lebih baik Om ceraikan saja dia. Dia jelas tidak pantas untukmu. Tapi kalian masih bisa tetap berhubungan, karena bagaimanapun juga dia ibu kandung Menik. Tapi kalau Om masih ingin hidup bersamanya, maka Om harus membuat dia benar-benar menyesal kali ini — biarkan dia merasakan sakit agar tidak mengulang kesalahan yang sama.”
Rangga kemudian tersenyum kecil,
> “Itu cuma saran dariku. Kalau Om masih bingung, biar aku bantu dulu. Aku pastikan mereka tidak akan berani mengganggu kalian lagi.”
Togu hanya mengangguk lemah.
> “Biarkan aku pikirkan dulu. Aku ingin istirahat di kamar sebentar,” ujarnya.
> “Baik, Om,” sahut Rangga sambil tersenyum ringan.
Begitu Togu masuk ke kamarnya, Menik menatap Rangga dengan rasa ingin tahu.
> “Kak... misi apa yang baru kamu kerjakan akhir-akhir ini? Ceritain dong sedikit,” katanya hati-hati.
Rangga tersenyum samar. Ia lalu mulai bercerita tentang Barbar City, tempat terakhir ia menjalankan tugas berbahaya sebagai Night Watcher. Ia menceritakannya dengan gaya ringan seperti sebuah kisah petualangan.
Menik mendengarkannya dengan penuh perhatian, matanya berbinar-binar. Sedikit demi sedikit, wajah sedihnya berubah cerah kembali.
> “Ngomong-ngomong, kamu sudah terbiasa tinggal di sini?” tanya Rangga setelah jeda sejenak.
> “Iya, sudah kok,” jawab Menik sambil tersenyum tipis. “Mungkin masih sedikit kagok di universitas, tapi aku mulai terbiasa. Oh iya!” — matanya tiba-tiba berbinar antusias — “Kamu tahu nggak, kampus yang kamu pilihkan buat aku itu isinya anak-anak orang kaya semua! Baru masuk aja, sudah ada beberapa cowok yang nembak aku. Mereka berani banget, bahkan di depan dosen!”
Rangga melotot, wajahnya langsung berubah serius.
> “Apa? Berani sekali mereka! Sebutkan namanya, nanti biar aku datangin satu-satu!” katanya setengah bercanda namun jelas terdengar protektif.
> “Dengarkan aku dulu,” Menik menahan tawa. “Sebenarnya mereka juga naksir banyak cewek lain. Aku ini kan pakaiannya sederhana banget dibanding mereka, jadi mereka malah suka ngeledek.”
Rangga mengerutkan dahi.
Ia tahu universitas yang ia pilihkan untuk Menik adalah salah satu yang terbaik di Kota NewJersey, tempat anak-anak pejabat dan pengusaha besar menimba ilmu. Tidak heran kalau banyak dari mereka yang sombong.
Justru karena itu, Rangga dulu memberikan kartu Astra Bank kepada Menik — agar ia tidak minder di antara lingkungan seperti itu.
Namun kini, kekhawatiran Rangga ternyata sempat menjadi kenyataan.
> “Tapi kamu tahu nggak,” lanjut Menik sambil tertawa kecil, “suatu hari aku taruh kartu itu di meja, tanpa sengaja. Tiba-tiba semua orang langsung diam. Mereka kenal banget kartu itu. Aku bahkan nggak tahu seberapa berharganya sampai temanku yang kasih tahu. Sejak itu, nggak ada lagi yang berani ngeledek aku!”
Rangga tertawa lepas.
> “Ha! Memang begitu dunia ini. Orang-orang itu cuma hormat sama uang dan status. Kalau nanti ada yang berani songong lagi, langsung telepon Rolan saja. Dia bisa mengurus hal-hal seperti itu dengan cara yAng lebih... efektif,” katanya sambil tersenyum lebar.
Menik mengangguk kecil,
> “Iya, Kak.”
Rangga menghela napas lega, merasa sedikit tenang.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Ponselnya tiba-tiba berdering. Ia melihat ke layar dan membaca nama Sisil Bahri terpampang di sana.
Dengan nada menggoda, ia menjawab,
> “Halo, Dokter Sisil, apa kamu sudah kangen padaku?”
Namun suara yang muncul dari seberang bukanlah suara Sisil.
> “Kangen kepalamu!” bentak seorang pria kesal.
Rangga langsung diam. Ekspresinya berubah datar seketika.
Itu suara Dirman, bukan Sisil.
Rangga hanya bisa menghela napas lelah. Sejak Dirman bisa mengakses internet, gaya bicaranya jadi seperti anak muda di dunia maya — santai tapi menyebalkan.
Padahal, dia adalah pemimpin tertinggi Night Watcher Negara Haz. Ironis sekali.
> “Ada apa?” tanya Rangga datar, wajahnya serius.
> “Kamu tahu nggak seberapa besar kekacauan yang kamu buat?!” suara Dirman meninggi. “Kamu pergi ke Kota Yanzim dan membunuh Miko Stanley, iya?”
> “Iya,” jawab Rangga santai. “Dia pantas mendapatkannya. Aku cuma melakukan apa yang seharusnya dilakukan.”
> “Itu urusanmu sendiri!” balas Dirman geram. “Kamu bisa saja menyelesaikan tugasmu dulu baru bertindak! Tapi sekarang, karena itu tindakanmu sendiri, kamu juga harus tanggung semua akibatnya!”
Suara dari seberang telepon terputus, meninggalkan Rangga yang berdiri membisu — wajahnya perlahan berubah gelap.
Dalam hatinya dia kan bukan Night Watcher lagi, kok gini amat.. tapi Pak tua Dirman orang paling berjasa dalam hidupnya, jadi serba salah ih Rangga, Gimana ya kelanjutan cerita nya?
Bersambung...
thumb up buat thor