Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Skandal yang Disiapkan
“Apa isinya kotak ini, Sayyidah?”
Mehra mengangkat pandangannya yang basah oleh air mata, matanya mencari kepastian yang gagal ia temukan dari suaminya sendiri. Kotak kayu berukir itu terasa berat di tangan Yasmeen, tetapi bukan karena kayunya; beratnya datang dari beban pengkhianatan yang nyaris membunuhnya dua kali.
Yasmeen tidak menjawab. Ia hanya menggeser kotak itu, membuka kunci tembaga kecilnya, dan melihat ke dalam. Di dalamnya terdapat beberapa kantong kecil berisi serbuk halus berwarna kuning pucat dan beberapa ramuan herbal kering. Bukan racun cepat, tetapi formula yang disengaja untuk menimbulkan efek kumulatif.
“Isinya… ini adalah racun yang dicuri suamimu dari ruang obat,” jawab Yasmeen, suaranya lembut, bertolak belakang dengan fakta mengerikan yang baru saja diungkapkan. “Ini racun yang menyebabkan Ruqayyah batuk darah.”
Mehra tersentak, rasa takut berubah menjadi teror murni. Ia menarik napas terengah-engah, tubuhnya yang berlutut mundur selangkah. “Tidak. Bukan… dia bilang itu hanya ramuan untuk sakit perut yang kuat. Dia bilang Permaisuri tidak suka gadis yang lemah.”
“Ya, benar. Permaisuri Hazarah tidak suka gadis yang lemah, dan Sayyid Zahir tahu itu,” kata Yasmeen, meletakkan kotak itu kembali di atas meja. Tatapan dinginnya menusuk ketakutan Mehra. “Dia tidak ingin aku mati, Nyonya Mehra. Aku tidak berharga jika mati. Tapi ia ingin aku terlihat sakit. Sakit yang terus-menerus, batuk yang berkepanjangan, wajah pucat dan rapuh.”
Yasmeen merenung sejenak, meniru nada suara ayahnya yang menjijikkan. “Jika Sayyidah kecil ini sakit parah dan tampak tidak layak memimpin, tapi terlalu sakit untuk menolak undangan Kota Agung… siapa yang akan menjadi perawatnya?”
Mehra memejamkan mata. Rahang Zahir, tatapan liciknya saat Ruqayyah terbatuk, janji-janji kekuasaan yang terasa manis—semuanya tiba-tiba berputar di kepalanya, menyusun puzzle kebenaran yang kejam.
“Dia akan merawat istana. Dia akan menjadi Sayyid Nayyirah sejati, bertindak sebagai wali tunggal yang sah, dihormati oleh Permaisuri Hazarah,” bisik Yasmeen, membiarkan kalimat itu merayap ke hati Mehra.
“Itu rencananya, Roobbatun. Dia tidak akan membiarkanmu menjadi Emirah Kedua atau memastikan masa depan Zain. Dia hanya akan menggunakan penyakitku, penderitaanku, untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya sendiri.”
Mehra bukan monster politik seperti Zahir. Dia hanya seekor harimau betina yang buta, bergerak karena insting melindungi anak-anaknya. Ketakutannya saat ini lebih nyata daripada kebenciannya padaku.
Konflik moral menghantam Yasmeen sesaat. Di masa lalu, Mehra secara pasif terlibat dalam banyak kesulitan Yasmeen. Ia pernah menutupi korupsi Zahir, bahkan membiarkan racun—meski bukan racun fatal—mencapai ruang makan.
Namun, ini adalah kehidupan yang baru. Yasmeen harus memilih pragmatisme atas balas dendam. Menghukum Mehra sekarang hanya akan mengisolasi Zahir lebih jauh dan membuatnya melarikan diri.
“Jika Zahir mendapatkan kendali penuh atas Nayyirah… apakah kau pikir ia akan membagi kekuasaan itu dengan putranya dari selir, Zain?” tanya Yasmeen tajam.
Mehra mengangkat kepala, air mata kembali mengalir. “Dia berjanji… dia berjanji Zain akan memiliki tempat di sampingnya. Dia berjanji akan menjadikannya tangan kanannya di masa depan.”
Yasmeen mendengus. Sebuah tawa yang pahit, mengingatkan pada Emirah tua yang telah banyak melihat dusta di balik istana gurun.
“Tangan kanan? Mehra, dengarkan aku. Jika Abī-ku mencapai Kota Agung, mereka tidak akan pernah membiarkan Zain memiliki gelar yang sah. Mereka akan menggunakannya sebagai budak. Zain hanyalah pion yang akan dikorbankan, sama seperti Ruqayyah, dan sama seperti kau, yang ia kirimkan sebagai umpan agar ia mendapatkan simpati,” tegas Yasmeen.
Mehra terisak keras. Kenyataan ini, yang berasal dari bibir gadis sepuluh tahun yang memiliki kebijaksanaan neraka, terasa jauh lebih berat daripada janji-janji Zahir yang melayang di udara.
“Jika kau ingin melindungi Zain dan Ruqayyah,” lanjut Yasmeen, bergerak turun dari kursi, hingga kini matanya sejajar dengan Mehra yang berlutut. Tangannya yang kecil meraih bahu Mehra. “Maka Sayyid Zahir harus disingkirkan dari istana ini. Selamanya. Tanpa dukungan politik, tanpa aset. Menyingkirkan Zahir adalah satu-satunya cara bagimu untuk menjamin keselamatan anak-anakmu.”
Mehra menatap mata Yasmeen, yang, meskipun masih kanak-kanak, memancarkan kedewasaan dan perhitungan yang dingin. Itu bukan mata seorang anak kecil. Itu adalah mata seorang penguasa.
“Apa yang harus saya lakukan, Sayyidah?” suara Mehra bergetar.
“Aku ingin kau membantuku mengasingkan Zahir. Bukan membunuhnya, tapi mencabut seluruh harga dirinya di mata para Wazir dan seluruh Emirat,” kata Yasmeen. “Kotak ini, Roobbatun Mehra, akan menjadi saksi bahwa Zahir berencana membunuh darah murninya sendiri demi kekuasaan, tapi ini tidak cukup.”
Yasmeen menghela napas. “Besok pagi, para Wazir akan memulai penyelidikan formal tentang apa yang terjadi pada Ruqayyah. Aku sudah memberi mereka izin. Abī-ku akan mencoba menyalahkan pelayan lain, atau bahkan diriku. Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi.”
“Maksudmu… aku harus bersaksi melawannya?” tanya Mehra, ngeri. Meskipun ia mengkhianati suaminya, bersaksi adalah aib publik.
“Ya,” jawab Yasmeen tanpa keraguan. “Tetapi kau tidak bersaksi karena kau ingin balas dendam. Kau bersaksi sebagai seorang ibu yang ketakutan. Kau akan menangis di depan mereka semua, mengklaim bahwa kau menemukan kotak ini, dan kau ketakutan.
Katakan bahwa Zahir berbicara aneh tentang racun dan kutukan, bahwa ia ingin Nayyirah menjadi miliknya. Kau harus membuat mereka percaya bahwa Zahir itu gila, Roobbatun. Bukan sekadar ambisius.”
Itu adalah skema sempurna. Kecerdikan Zahir akan tenggelam dalam drama kegilaan. Orang-orang Nayyirah tidak akan mengasihani pengkhianat, tetapi mereka akan merasa kasihan pada istri yang ketakutan akan putrinya yang keracunan.
“Jika saya melakukan ini… apakah kau berjanji untuk tidak menyentuh anak-anak saya? Bahwa kau akan melindungi Zain dan Ruqayyah?” Mehra memohon, matanya dipenuhi harapan yang rapuh.
Yasmeen berpikir tentang Zain. Adik tiri yang akan menikamnya. Tetapi dia telah memutuskan, dia akan menjauhkan Zain, tetapi dia tidak akan membiarkan anak-anak kecil menderita. Belum saatnya kebencian itu diaktifkan sepenuhnya.
“Aku adalah Sayyidah Nayyirah, Roobbatun Mehra,” jawab Yasmeen, bangkit kembali dan menatap ke kejauhan.
“Selama kau tunduk pada otoritas Nayyirah, tidak ada seorang pun di bawah kendaliku yang akan menyentuh sehelai rambut pun dari putra atau putrimu. Aku menjanjikannya. Lagipula, jika Abī-ku dikirim ke pengasingan, siapa yang akan membesarkan Zain untuk memahami hukum gurun?”
Wajah Mehra merosot dalam penerimaan. Bukan pengakuan atau status, tetapi setidaknya jaminan kelangsungan hidup. Ia bangkit, perlahan meraih kotak itu lagi, dan mengecupnya. Itu adalah kutukan Zahir, dan kini menjadi senjata Mehra.
“Aku akan melakukan apa yang kau minta, Sayyidah. Untuk anak-anakku,” janji Mehra. Kemudian, tanpa menunggu persetujuan, ia menghilang kembali ke bayangan lorong yang gelap.
Yasmeen menghembuskan napas yang tak sadar ia tahan. Ia telah mendapatkan sekutu—sekutu yang goyah dan pengecut, tetapi sekutu yang tepat waktu.
Zahir, permainanmu akan segera berakhir. Kau menjual kami, kau menggunakan anakmu sebagai umpan. Kini, aku menggunakan istrimu sebagai pedang.
---
Keesokan paginya.
Fajar menyinari padang pasir dengan warna oranye keemasan. Bau masakan pagi dan wangi kopi yang dicampur kapulaga mengalir di udara. Yasmeen, yang sudah duduk di ruang kerjanya yang baru (sebenarnya, itu adalah ruang kerja Jaddī-nya yang ia klaim), menyelesaikan pemeriksaan daftar pengeluaran untuk logistik air.
Ia menantikan kabar dari Tariq dengan ketegangan yang tenang. Setelah subuh, Tariq seharusnya sudah kembali.
Pintu terbuka dengan hentakan, jauh dari ketukan formal yang biasa. Itu Tariq.
Dia berjalan masuk, langkahnya cepat dan berat. Janggutnya diselimuti debu gurun tipis, matanya merah karena kurang tidur, dan seragam pengawalnya memiliki bercak-bercak lumpur dan—mungkin—darah yang kering.
“Khalī,” panggil Yasmeen, menyimpan dokumennya. Ia melihat ekspresi kelelahan Tariq, yang kini bergetar karena kegembiraan.
Tariq memberi hormat, nafasnya terengah-engah. “Misi selesai, Sayyidah. Faris ditangkap, seperti yang kau perkirakan, di dekat sumur Desa Khamsin. Dia membawa gulungan yang kami butuhkan untuk perjanjian Oasis Azhar.”
Senyum lega melengkung di bibir Yasmeen. Oasis Azhar aman. Penangkapan Faris dengan dalih pencurian perhiasan kini bisa digunakan untuk memicu skandal yang disiapkan Yasmeen dan Mehra.
“Hebat. Dan Faris? Apakah dia memberitahu tujuannya yang sebenarnya?” tanya Yasmeen, mengacu pada perjanjian rahasia di Oasis Azhar.
“Dia belum bicara apa-apa,” ujar Tariq, suaranya mengeras, mencengkeram gagang pedangnya. “Dia melawan, Sayyidah. Kami mengepungnya, dan dia menjadi gila. Dia menusuk salah satu prajurit kami di bahu sebelum kami berhasil menjatuhkannya.”
Yasmeen mencondongkan tubuh ke depan, kewaspadaan politiknya kembali.
“Kami harus melumpuhkannya dengan keras, seperti yang kau perintahkan, tidak membunuhnya. Tetapi luka yang dia dapat… dia hampir kritis, Sayyidah. Dia belum bicara apa-apa. Kami tidak bisa membiarkan dia mati sebelum dia mengungkapkan kejahatan Abī-mu, Zahir, di depan para Wazir. Dia adalah bukti kunci.”
Tariq membersihkan tenggorokannya, wajahnya gelap karena amarah yang ditahan.
“Dia itu seperti anjing gila, Sayyidah. Bahkan setelah lumpuh, dia masih menggeram tentang Sayyid Zahir yang akan menyelamatkannya dan membalas dendam padaku. Dia mengancam untuk bunuh diri jika aku mencoba memberinya air.”
Yasmeen merasakan dingin merayap di punggungnya. Faris adalah loyalis sejati, bidak catur yang loyal kepada Zahir hingga akhir yang pahit.
Kematian Faris akan menetralkan bukti penting, tapi menyembuhkannya juga berbahaya. Zahir bisa mengirim orang untuk membungkamnya, atau lebih buruk, Faris bisa pulih dan lolos.
Tariq mendekat, merendahkan suaranya yang parau. Rasa frustrasi militernya terlihat jelas.
“Dia sudah diasingkan di ruang isolasi di sayap utara, di bawah pengawasan ketat. Namun, Sayyidah, kau harus mengambil keputusan segera,” kata Tariq, memandang lurus ke mata Yasmeen.
“Aku tidak bisa menyiksa atau menekannya secara paksa tanpa izinmu. Dia harus hidup, tetapi kita juga tidak bisa membiarkan dia membaik dan mencoba melarikan diri lagi.”
Tariq mengakhiri pertanyaannya dengan keputusasaan yang kentara, menanyakan takdir bidak catur yang terpenting.
“Aku harus melakukan apa dengan anjing gila ini?”