Alya, mahasiswi tingkat akhir yang cerdas dan mandiri, tengah berjuang menyelesaikan skripsinya di tengah tekanan keluarga yang ingin ia segera menikah. Tak disangka, dosen pembimbingnya yang terkenal dingin dan perfeksionis, Dr. Reihan Alfarezi, menawarkan solusi yang mengejutkan: sebuah pernikahan kontrak demi menolong satu sama lain.
Reihan butuh istri untuk menyelamatkan reputasinya dari ancaman perjodohan keluarga, sedangkan Alya butuh waktu agar bisa lulus tanpa terus diburu untuk menikah. Keduanya sepakat menjalani pernikahan semu dengan aturan ketat. Tapi apa jadinya ketika batas-batas profesional mulai terkikis oleh perasaan yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Pagi ini Alya tengah bersiap-siap untuk pergi interview, beberapa hari yang lalu perusahaan tempat dia melamar sudah menerimanya dan hari ini dia akan interview. Berpadu kan rok span dan kemeja putih yang di balut dengan blazer hitam yang pas di tubuh nya. Rambutnya ia ikat rapi menampilkan kesan formal dan meninggalkan beberapa helai rambut.
Begitu juga dengan Reihan yang sudah siap dengan stelan jasnya.
Mereka berdua turun untuk sarapan pagi ini, ada mbok Mina yang masak. Ya beberapa hari yang lalu Reihan mempekerjakan seorang wanita paruh baya yang pernah bekerja di rumahnya dulu saat dia masih remaja. Meskipun awalnya Alya tidak setuju tapi Reihan tetap kekeuh, alasannya agar Alya tidak terlalu repot dalam mengurus kebutuhan rumah.
" pagi mbok. mbok masak apa pagi ini " tanya Alya ketika sudah berada di meja makan.
Mbok Mina datang membawakan beberapa piring "mbok cuma masak roti panggang sama omlet non, katanya non Alya sama den Reihan ngga bisa makan berat kalo sarapan, jadi mbok buatkan itu saja. Tapi kalo mau yang lain mbok bisa buatkan"
Alya duduk di seberang Reihan, ia mulai mengoleskan selai strawberry ke atas roti itu untuk mereka berdua.
" kamu yakin mau kerja " tanya Reihan untuk yang ke sekian kalinya.
Alya yang mendengar itu menghentikan aktivitasnya "mas udah nanyain ini untuk ke sekian kalinya loh, aku kan udah bilang sama mas, aku tuh pengen kerja. Lagiankan setelah ini aku juga bakalan jalani hidupku seperti semula"
Gerakan Reihan terhenti sejenak saat mendengar penuturan Alya yang terakhir. ntah mengapa mendengar itu hatinya seolah sakit.
Tak selang berapa lama Alya menghabiskan sarapannya. Dia melihat ke arah jam tangannya, sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. "mas aku duluan berangkat ya, udah mau telat"
Reihan menatap nya sejenak " tunggu, biar kamu saya antar"
"ehh, ngga usah mas nanti lama di jalan, aku berangkat dulu ya mas"
Reihan hanya bisa menatap punggung istrinya yang semakin menjauh. Ada dorongan dalam dirinya untuk memanggil, untuk mengatakan sesuatu, tapi bibirnya terkunci rapat.
Alya sempat berhenti sebentar di depan pintu, lalu menoleh. “Mas… doain aku ya, semoga interviewnya lancar.”
Ia menyalami tangan Reihan sebentar, lalu pergi tanpa menunggu jawaban.
Reihan berdiri terpaku di ruang makan, menatap pintu yang baru saja tertutup. Napasnya terhela berat. Ia menatap arlojinya, lalu menepuk pelan dasinya, mencoba menata perasaan yang berantakan.
“Kenapa aku jadi kyak gini sih…” gumamnya pelan.
...........
Saat ini Alya tengah berdiri di depan sebuah perusahan yang cukup terkenal.
Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena gugup, tapi juga karena ia sadar ini adalah langkah awal untuk kembali menata hidupnya.
“Bismillah…” bisiknya lirih, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah masuk.
Begitu sampai di resepsionis, Alya menyebutkan namanya dan maksud kedatangannya. Seorang staf ramah lalu mempersilahkannya menunggu di ruang tunggu. Kursi empuk berjejer rapi, dan beberapa kandidat lain juga tampak duduk sambil menatap layar ponsel atau menunduk memegang map masing-masing.
Alya merapikan roknya, memastikan blazernya tidak kusut. Sesekali ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menepis rasa gugup yang menyerangnya.
Tak lama kemudian, seorang wanita muda berpenampilan profesional datang menghampiri. “Selamat pagi, dengan mbak alya?"
Alya yang di sebut namanya sontak menoleh " ya, dengan saya sendiri"
" sekarang giliran mbak. Silahkan ikut saya"
Alya mengangguk sopan, lalu berdiri mengikuti wanita itu menuju ruang interview. Setiap langkah yang ia ayunkan terasa berat sekaligus penuh harapan.
" selamat pagi pak, buk" sapa Alya
Di dalam ruangan itu ada tiga orang yang akan mewawancarainya.
" Dengan Alya Nabila"
Alya mengangguk sopan " ya, dengan saya sendiri pak"
" ya silahkan duduk"
Pria yang duduk di tengah sepertinya kepala tim HRD membuka map berisi dokumen Alya. Ia menelusuri lembaran CV dengan seksama, sesekali mengangguk kecil.
“Hmm… Alya Nabila, lulusan akuntansi, IPK cukup baik… dan pernah magang di kantor konsultan keuangan selama setahun,” gumamnya pelan, tapi cukup jelas terdengar.
“Apa alasan Anda ingin bekerja di perusahaan kami?” tanya salah satu pewawancara, seorang wanita dengan kacamata tipis dan suara tegas.
Alya menarik napas, mencoba menyalurkan rasa gugup menjadi percaya diri. “Karena perusahaan ini adalah salah satu yang paling berkembang di bidang keuangan dan investasi, Bu. Saya ingin belajar langsung dari tempat yang punya reputasi baik. Saya juga merasa bidang ini sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, dan saya yakin bisa berkontribusi dengan kemampuan yang saya miliki.”
Ketiganya saling pandang, seakan puas dengan jawaban itu.
“Kalau begitu, coba ceritakan pengalaman Anda saat magang. Apa tantangan terbesar yang Anda hadapi, dan bagaimana Anda menyelesaikannya?” tanya pewawancara lain, pria dengan kemeja biru.
Alya kembali tersenyum kecil, lalu mulai bercerita tentang bagaimana ia sempat kewalahan dengan laporan keuangan mendadak, bagaimana ia belajar mengelola waktu, dan bagaimana akhirnya laporan itu bisa selesai tepat waktu dengan kerja tim.
Jawabannya mengalir tenang, penuh keyakinan.
Hening sejenak setelah Alya selesai bicara. Lalu kepala tim HRD itu menutup mapnya, menatap Alya sambil tersenyum tipis.
“Baiklah, Mbak Alya. Saya rasa cukup untuk hari ini. Hasilnya akan kami informasikan melalui email dan telepon dalam beberapa hari ke depan.”
Alya mengangguk sopan. “Baik, Pak. Terima kasih banyak atas kesempatan ini.”
Ia lalu berdiri, menyalami mereka satu per satu sebelum keluar ruangan dengan langkah hati-hati. Begitu pintu tertutup, Alya akhirnya bisa bernapas lega.