Sekar tak pernah menyangka, pertengkaran di hutan demi meneliti tanaman langka berakhir petaka. Ia terpeleset dan kepala belakangnya terbentur batu, tubuhnya terperosok jatuh ke dalam sumur tua yang gelap dan berlumut. Saat membuka mata, ia bukan lagi berada di zamannya—melainkan di tengah era kolonial Belanda. Namun, nasibnya jauh dari kata baik. Sekar justru terbangun sebagai Nyai—gundik seorang petinggi Belanda kejam—yang memiliki nama sama persis dengan dirinya di dunia nyata. Dalam novel yang pernah ia baca, tokoh ini hanya punya satu takdir: disiksa, dipermalukan, dan akhirnya dibunuh oleh istri sah. Panik dan ketakutan mencekik pikirannya. Setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju kematian. Bagaimana caranya Sekar mengubah alur cerita? Apakah ia akan selamat dari kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12. WANITA TIDAK BERHAGA
Dua bulan sudah Sekar berada di Batavia, hari-hari dilalui cukup tenang tanpa huru-hara apapun. Namun, itu bukannya membuat hati Sekar menjadi tenang, ia malah semakin merasa ada yang janggal. Insiden penyerangan yang terjadi dua bulan yang lalu memang telah dibereskan, bahkan para petinggi serta tentara kolonial Belanda memperketat keamanan. Memeriksa banyak orang termasuk para elit pribumi yang bekerja sama di bawa pemerintah Belanda, ada beberapa yang ditangkap karena ketahuan bekerja sama dengan pemberontak pribumi.
Sekar beberapa kali menolak ajakan Kartika untuk keluar bersama, dengan alasan Johan—suaminya tidak mengijinkan Sekar meninggalkan kediaman. Sekar duduk di kursi goyang, mengipasi dirinya sendiri dengan kipas anyaman daun pandan, menguap lebar karena dilanda kebosanan.
"Nyai! Nyai!" teriak nyaring dari arah dalam rumah menuju teras belakang mengalun.
Sekar berdecak kecil dengan ulah Ratna yang suka sekali berteriak-teriak, Ratna berhenti di samping kursi goyang. Ia menarik dan mengembuskan napas kasar melalui mulut, di dahinya terlihat dipenuhi oleh peluh.
"Kenapa harus menjerit-jerit seperti itu Ratna," tegur Sekar, kipas di tangannya diturunkan perlahan.
"Itu Nyai, ada kabar buruk. Adik Nyai berada di luar gerbang batalyon," jawab Ratna menjelaskan kenapa ia berlari panik, ia bahkan belum sempat meletakkan barang belanjaannya ke dapur.
"Ha? Siapa yang datang?" tanya Sekar melotot, "Lasmi datang ke sini?"
Kepala Ratna mengangguk, "Iya, Nyai. Lasmi datang ke sini, keadaannya tampak sangat kuyu. Bahkan tampak sangat kurus, dia tidak diizinkan masuk oleh penjaga gerbang. Sebelum Nyai membenarkan jika itu memang saudara kandung Nyai."
Sekar terburu-buru turun dari kursi goyang, membuang asal kipas di tangannya ke atas kursi. Melangkah terburu-buru menuju pintu gerbang, Ratna meletakkan tas belanjaannya di dapur, berlarian menyusul Sekar yang telah keluar dari rumah.
Jarak antara pintu gerbang depan batalyon dan rumah yang Sekar huni tak begitu jauh, dari kejauhan Sekar melihat Lasmi dengan dahi berkerut. Sungguh Sekar merasa sulit memastikan perempuan tanpa alas kaki, rambut hitam yang tergerai kusut, di tubuhnya penuh debu, dan kulit pembalut tulang. Terakhir kali ia bertemu Lasmi adalah kurang dari tiga bulan yang lalu, Lasmi terlihat cantik dengan kulit kuning langsat. Tampak sangat hidup, tidak seperti ini keadaannya.
"Mbak," serunya parau, bibir pecah-pecah dan pucat itu tersenyum lembut.
"Lasmi!" seru Sekar berlarian mendekati Lasmi. "Eeh, Lasmi!"
Baru saja Sekar berdiri di depan Lasmi, tubuh Lasmi ambruk tak sadarkan diri. Beruntung ia dengan sigap memeluk tubuh Lasmi, dua orang penjaga terkejut melihat wanita kecil yang terlihat seperti pengemis yang tadinya mereka berdua pikir mengaku-ngaku sebagai adik dari gundik sang jendral. Mereka berdebat kecil, kebetulan Ratna baru saja kembali dari pasar terdekat. Walaupun Ratna mengakui wanita tanpa alas kaki itu sebagai adik Sekar—gundik Johan, mereka masih tidak bisa memberikan izin sebelum Sekar sendiri yang datang.
"Tolong bantu aku bawa adikku ke rumah," titah Sekar melirik ke arah salah satu dari keduanya.
Dengan sigap pria berambut coklat terang itu membatu mengendong Lasmi, membawanya menuju rumah sang jendral. Diikuti oleh Sekar, dan Ratna yang baru saja bergabung menyongsong mereka. Sekar melirik ke arah kedua telapak kaki hitam penuh debu, tampak melepuh. Entah bagaimana Lasmi sampai ke Batavia, berapa lama berjalan yang ia tempuh dengan kedua kakinya tanpa alas kaki. Ada rasa iba terbesit di hati Sekar, ia tak tahu apa yang tengah menimpa Lasmi. Hingga nekat datang ke Batavia tanpa memberikan kabar terdahulu pada Sekar.
...***...
Tubuh Lasmi yang kumuh telah dibersihkan, pakainya pun telah diganti, luka di kedua telapak kakinya telah diobati. Lasmi terbaring lemah di atas dipan kamar tamu, Sekar duduk di kursi tepat di samping ranjang. Ia mengeluarkan banyak uang untuk mengundang dokter pribadi ke rumah, hanya untuk memeriksakan keadaan Lasmi. Gadis remaja itu dinyatakan kekurangan gizi, tertekan, dan kelelahan secara fisik maupun mental.
"Uggh...."
Erangan di atas ranjang menyentak lamunan Sekar, ia menyentuh dan menggenggam telapak tangan Lasmi.
"Lasmi," panggil Sekar lembut.
Ada kasih sayang untuk gadis remaja yang tergolek lemah ini, entah itu murni dari rasa kasian dari hati Sekar atau mungkin perasaan yang mengalir dari pemilik tubuh tokoh Sekar yang sekarang ia tempati.
"Mbak, aku di mana?" tanya Lasmi parau, kerongkongannya terasa sakit dan serak.
"Kamu haus? Minum dulu," sahut Sekar tidak langsung menjawab pertanyaan Lasmi.
Sekar melepaskan genggaman tangannya pada tangan Lasmi, meraih cangkir enamel di atas meja. Ia menyendok air putih dari cangkir dan memasukan air di sendok ke mulut Lasmi perlahan. Sesekali tangan kirinya mengusap lembut sudut bibir Lasmi yang basah. Beberapa kali teguk, kerongkongan Lasmi yang tadinya terasa serak sedikit lebih membaik.
Kepala Lasmi menggeleng saat sendok ditempel di bibirnya, Sekar memasukan sendok ke dalam cangkir enamel. Meletakkan kembali ke atas meja samping ranjang, menggenggam lembut telapak tangan Lasmi.
"Kamu ada di rumah Mbak, sebenarnya kenapa kamu datang ke sini tanpa pemberitahuan. Bahkan keadaanmu kenapa jadi seperti ini, Lasmi. Apa yang terjadi di rumah, sampai tubuhmu rusak seperti ini?" Sekar membabi-buta bertanya pada Lasmi.
Tatapan mata Lasmi menatap nanar ke arah langit-langit kamar, lahir menjadi seorang wanita adalah ketidak beruntungan bagi Lasmi. Meskipun dia diperlakukan dengan baik, dirawat, dan dibesarkan dengan baik pada awalnya. Dia tetaplah perempuan yang tak ada ubahnya seperti binatang yang siap dijual dengan harga tinggi, bukan tanpa alasan ia dirawat dengan baik. Semakin baik penampilannya, bagus pendidikannya, maka semakin tinggi harga jualnya. Sama seperti Sekar—kakaknya, bedanya Sekar di saat masa remajanya ia memiliki Aji sebagai kekasih.
Setidaknya saat itu ayah mereka memandang hormat ke arah Aji, tak berani terang-terangan menjual Sekar pada pria lain. Namun, di saat tawaran menggiurkan datang dari Johan—jendral Belanda. Sang ayah mulai membuat penawaran pada Aji, melihat siapa yang bisa membayar dengan harga tinggi putri yang sudah dibesarkan dengan baik. Lasmi tersenyum kecut, atensinya bergerak ke arah wajah Sekar.
"Ak—aku dijual, Mbak. Ayah menjualku pada putra pemilik kebun kopi pada awalnya, aku tau jika aku tidak akan mampu melawan Ayah. Aku tidak memberontak, Ayah membawaku ke rumah mereka. Namun, siapa sangka jika saat sampai di rumah. Bukan anak pria itu yang tertarik padaku tapi, ayahnya yang sudah sangat tua. Ayah menipuku untuk menikah dengan pria tua bangka itu, pria itu membayar Ayah lima puluh gulden. Aku tidak terima, aku melawan dan pemberontak saat dinikahi sebagai istri muda," tutur Lasmi menjelaskan dengan suara parau dan tatapan mata penuh luka.
Lasmi meneguk kasar air liur di kerongkongannya, matanya memerah.
"Aku diseret kembali ke rumah itu saat kabur, dan disiksa siang-malam Mbak. Sampai Ibu, membantuku kabur dari rumah itu. Aku...."
Sekar mengusap wajah sang adik, air matanya berderai kata-kata yang tak sanggup dilanjutkan oleh Lasmi menggores hati Sekar. Kakak-beradik itu menangis di dalam kamar tamu, Ratna yang berdiri di luar pintu tertutup itu mendengar semuanya. Ia mengusap air matanya, terlalu pahit kehidupan yang mereka rasakan. Terlalu murah untuk diperjual-belikan, bahkan tak ada harganya di mata banyak orang. Itulah kedudukan perempuan, apalagi perempuan yang lahir tanpa darah bangsawan.
Bersambung...