NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28

Lyeria segera memalingkan wajahnya.

Secepat itu.

Seolah tatapan Ferlay adalah api—dan dirinya hanyalah selembar kertas tipis yang siap terbakar.

Tanpa pikir panjang, ia bergerak. Langkahnya tampak biasa, ringan dan terlatih. Tapi tubuhnya menegang. Sorot matanya liar, seperti binatang kecil yang mencium bau pemangsa.

Ia menyusup di antara para tamu yang tertawa dan berdansa.

Dan dalam hitungan detik, ia telah berdiri di sisi Ellion.

Tepat di belakang kakaknya.

Bersembunyi.

Seperti anak kecil yang takut diseret keluar dari satu-satunya pelukan aman yang tersisa di dunia.

Tangannya menarik lengan Ellion pelan, nyaris tak kentara. Tapi genggamannya cukup erat untuk membuat sang pangeran menoleh.

Mata mereka bertemu.

Dia tidak perlu berkata apa-apa.

Ellion tahu.

Tanpa suara, tubuh kakaknya bergeser sedikit ke kanan. Menghadang. Seperti perisai yang berdiri dengan sengaja.

Lyeria menunduk. Wajahnya tersembunyi di balik topeng dan rambut panjang yang dibiarkan tergerai.

Tapi jantungnya masih berdetak keras.

Ia tak tahu apakah Ferlay benar-benar melihatnya.

Tapi ia tahu. Sepotong dirinya tahu.

Ferlay melihatnya. Dan mengenalinya.

Dan itu lebih dari cukup untuk membuatnya ingin lari.

Gaun yang ia kenakan malam itu—gaun pink pucat dengan potongan punggung terbuka dan renda tipis di dada—terasa seperti ejekan. Seperti kulit baru yang dipakaikan padanya untuk menyamar sebagai gadis polos.

Tapi gaun itu tidak menutupi apa-apa.

Justru membuatnya semakin telanjang.

Ferlay melangkah perlahan.

Setiap langkahnya bergema di lantai marmer pesta. Para tamu melirik sejenak, lalu kembali tenggelam dalam obrolan dan tawa kosong mereka. Tak ada yang menyadari makna di balik kedatangannya. Tapi Jenderal Aiden tahu.

Pria tua berpakaian resmi itu berdiri di sisi balustrade balkon utama, memandang ke tengah ruangan dengan mata tajam seorang pemimpin perang. Saat Ferlay mendekat, Aiden sudah lebih dulu menoleh.

“Ferlay,” ucapnya tanpa basa-basi, suaranya pelan namun mengandung beban berat.

Ferlay sedikit menunduk. “Jenderal.”

Mereka tidak bersalaman. Hanya pertukaran pandang antara dua orang yang sama-sama menyimpan terlalu banyak rahasia.

Aiden menatap pemuda itu lama. “Dia tidak seharusnya ada di sini.”

Ferlay tidak menyangkal. “Aku tahu.”

“Dan kau tidak bisa menghentikannya?” Aiden bertanya, lebih sebagai sindiran daripada pertanyaan sungguhan.

Ferlay menghela napas.

Aiden masih menatap ke arah gadis bertopeng merah muda pucat itu. “Dia sudah remaja, Ferlay. Dan umumnya, remaja… adalah pemberontak.”

Ferlay tetap diam.

“Seperti ibunya dulu,” lanjut sang jenderal dengan suara pelan namun mengandung sejarah kelam di baliknya. “Kau tidak bisa terus membuatnya tunduk dalam aturanmu, disaat dia ingin terbang melihat dunia.”

Aiden mendesah. “Dan jika kau terus mencengkeramnya terlalu erat, dia akan layu dalam tanganmu.”

Sejenak, tidak ada kata.

Keduanya menatap gadis muda itu, yang kini berdiri membelakangi Ellion, menghindari siapa pun yang mungkin mengenalinya. Tapi Aiden tahu, dan Ferlay tahu—gadis itu bukan hanya seorang gadis. Dia adalah sisa terakhir dari cinta paling berbahaya yang pernah ada di dua kerajaan besar: Yuki.

“Akhirnya Dia menampakkan diri,” gumam Aiden. “Bunga terakhir Garduete.”

Ferlay tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Lyeria dalam diam, seperti seseorang yang sedang menimbang—apakah ia akan menyelamatkan, atau menghancurkan, gadis itu.

Aiden menyipitkan mata. “Dan kau mencium aromanya, bukan?”

Ferlay menoleh perlahan. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari Aiden. “Topeng dan parfum itu tidak akan bisa menutupi darah Riana… atau tatapan Yuki.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan?” Aiden bertanya.

Ferlay menatap ke bawah. Melihat bagaimana para bangsawan tertawa dan berdansa, tak menyadari badai yang baru saja masuk ke tengah ruangan.

Ia menanggalkan sarung tangannya pelan. “Membawanya pulang.”

Ferlay menuruni tangga.

Langkah-langkahnya pelan, tenang, nyaris tanpa suara, tapi setiap jejaknya di lantai marmer terasa seperti gema yang menusuk jantung Lyeria. Ia tidak berani menoleh. Nafasnya tercekat. Tangannya mencengkeram lengan Ellion lebih erat, dan Ellion pun tak bergerak. Tatapan sang pangeran kini lurus pada Ferlay yang semakin dekat.

Ellion seperti Sera dalam banyak hal.

Bersinar, mempesona, penuh kendali… tapi juga lembut, dan sangat protektif terhadap orang-orang yang dicintainya. Dan tak ada satu makhluk pun yang ia cintai melebihi adik perempuannya.

“Cukup dekat,” suara Ellion datar, tenang, tapi tegas. Ia menegakkan tubuh, melindungi Lyeria dengan keanggunan seorang pangeran Argueda—dan ketegasan seorang kakak yang tidak akan membiarkan adiknya disentuh tanpa izin.

Ferlay berhenti.

Hanya beberapa langkah dari mereka.

Mata mereka bertemu. Dua lelaki yang sama-sama memiliki warisan darah api dan bayangan. Tapi yang satu adalah penjaga bunga yang disembunyikan dunia, dan yang satu lagi… adalah dinding terakhir antara gadis itu dan luka masa lalu.

“Aku tidak datang untuk menciptakan masalah,” kata Ferlay akhirnya, suaranya rendah tapi membawa bobot masa lalu yang tak pernah selesai. “Aku hanya ingin tahu kenapa dia di sini.”

Ellion tidak bergeming. “Dia datang untuk melihat dunia. Bukan sesuatu yang berdosa kan”

Ferlay diam. Matanya melirik pada sosok kecil di balik bahu Ellion. Sekilas. Hanya sesaat. Tapi cukup untuk membuat Lyeria merasa dadanya mencengkung seperti habis ditikam.

Ia tidak tahu apakah lebih takut Ferlay tahu siapa dirinya, atau takut jika pria itu tidak mengenalnya sama sekali.

“Dia bukan anak kecil lagi,” bisik Ferlay.

“Justru karena itu,” balas Ellion cepat. “Kau tahu apa yang Ayah kita lakukan pada Yuki. Kau tahu apa yang diturunkan padanya. Jangan ulangi semuanya lewat Lyeria.”

Hening.

Udara di sekitar mereka menegang, seperti kaca yang akan pecah kapan saja. Musik pesta terus berdentum di latar belakang, tapi di antara ketiganya, dunia seperti berhenti berputar.

Lalu suara itu datang.

“Lyeria,” panggil Ferlay—tegas, dalam, seperti perintah yang tak ingin dibantah. “Kemari.”

Lyeria menegang. Tubuhnya secara naluriah bergerak, hampir melangkah maju. Suara itu… dia terlalu akrab dengan nada itu. Nada yang membuatnya merasa kecil dan dikendalikan, seperti boneka tali.

Hampir.

Jika bukan karena tangan Ellion yang cepat menahan pergelangan tangannya.

“Kau tetap di sana,” suara Ellion tajam. “Kau akan pulang bersamaku. Bukan orang lain.”

Lyeria mengangkat wajah, jantungnya memukul tulang rusuk. Ia menatap kedua pria itu—Ferlay yang memanggilnya, dan Ellion yang melindunginya.

Ferlay mendekat setengah langkah. Tatapannya menusuk. “Ini bukan urusanmu, Ellion.”

“Dia adikku.”

“Dan dia bukan milikmu.”

Kalimat itu membuat Lyeria terdiam.

Milik.

Sejak kapan ia menjadi milik siapa pun?

“Jangan ulangi kesalahan mereka,” lanjut Ellion, tak mengendur. “Kau pernah melihat bagaimana Ayah kita memperlakukan Ibu. Jangan berpikir kau bisa menyentuh Lyeria tanpa melawan takdir gelap yang sama.”

Mata Ferlay menyipit, seolah kalimat itu menyakitkan.

“Lyeria. Kemari.”

Suara Ferlay kembali terdengar—lebih berat, lebih tajam dari sebelumnya. Nada itu tak menyisakan ruang untuk pembangkangan.

Lyeria menahan napas.

Tangannya mengepal di balik gaun satin berwarna pink lembut yang tak lagi terasa nyaman di tubuhnya. Setiap otot menegang, antara keinginan untuk patuh dan dorongan untuk memberontak. Dia tahu, satu langkah saja ke depan, dan semuanya bisa berubah—mungkin selamanya.

Di sisi tangga, Jenderal Aiden berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung, menyaksikan diam-diam. Tatapannya waspada, namun tak tergesa. Dia sudah menduga ini akan terjadi, sejak Ferlay muncul dalam pestanya.

Tak jauh dari sana, kael—berdiri di antara kerumunan. Mata elangnya tak lepas dari panggung ketegangan yang sedang berlangsung. Wajahnya tenang, tapi tangannya sudah menyentuh senjata tersembunyi di balik mantel hitam. Jika keributan pecah, dia cukup dekat untuk bertindak… dan cukup berbahaya untuk menyelesaikan segalanya dalam hitungan detik.

Matanya tajam, nyaris tak berkedip, mengamati setiap gerakan Ferlay dan Ellion. Rambut hitamnya tergerai rapi, jas abu tuanya menyatu sempurna dengan keramaian pesta. Tak ada satu pun yang menyadari bahwa dia—telah bersiap sejak Ferlay pertama kali menuruni tangga.

Di tengah itu semua, Lyeria tetap berdiri di samping Ellion. Terperangkap.

“Lyeria,” ulang Ferlay, kini lebih pelan… tapi justru lebih mengintimidasi.

“Jika kau tidak datang… aku akan datang menjemputmu sendiri.”

Nada suaranya seperti angin malam yang membeku—halus, tapi mematikan. Orang-orang di sekitar mereka mulai menyadari ketegangan yang tak biasa, bisik-bisik pelan menggema di tengah musik dansa yang mulai kehilangan iramanya.

Ellion menegang, rahangnya mengeras. Dengan satu gerakan kecil, ia setengah membentangkan tangan di depan Lyeria, seperti perisai hidup.

“Dia pulang denganku, Kak. Jangan membuat keributan yang tidak perlu.”

Ferlay menyipitkan mata. “Keributan?”

“Benar,” kata Ellion, sorot matanya tidak gentar. “Kau mengurungnya. Itu lebih buruk.”

Suasana menjadi lebih pekat, udara seolah menahan napas.

Jenderal Aiden masih diam di atas, namun dari tatapannya jelas:

Ia tak akan menghentikan Ferlay—tapi dia juga tidak akan membiarkan Ferlay menang.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!