Welcome to the sequel of You're Mine Brianna
Perjalanan seorang Hana Elodie Brown menghindari Ayahnya yang otoriter terhadap dirinya. Berbagai cara ia lakukan agar hidupnya bisa terbebas dari aturan yang menurutnya tak sesuai dengannya. Sampai pada suatu ketika, Hana dipertemukan oleh takdir dengan seorang pria yang tak pernah ia inginkan semasa hidupnya, Daniel Leonardo Smirnov. Seorang mafia yang dunianya penuh dengan kegelapan melebihi tempat tergelap di dunia. Mampukah Hana menjadi penerang bagi Daniel dan akankah Daniel mampu memberikan kehidupan yang diinginkan oleh Hana? Simak terus kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arashka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Kehidupan Baru
Dua tahun berlalu..
Hana berhasil membuat hidupnya menjadi lebih baik. Dengan bantuan Axel tentunya. Hana bekerja di sebuah perusahaan milik rekan kerja Axel di Moskow, Rusia. Axel menyiapkan semuanya agar Hana hanya tinggal duduk manis dan langsung bekerja. Axel bahkan sudah menyiapkan apartemen untuk Hana tinggal di sana. Tak lupa sepupunya itu juga menutup akses mengenai Hana dari ayahnya.
"Haahhh.." Hana menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Rasa lelah yang menjalar ke seluruh tubuhnya sudah tak bisa lagi ia tahan.
Tiga hari ia mengikuti sang bos untuk dinas ke Saint Petersburg, akhirnya sekarang ia bisa menikmati hari liburnya selama beberapa hari ke depan.
"Aku harus berterimakasih padamu Axel, karena kau sudah membuatku bekerja dengan bos yang berhati malaikat." ujar Hana bermonolog.
Dengan semangat, Hana mengambil ponselnya untuk mengirimkan pesan kepada sang ibu.
Aku sudah di apartemen.
Hana memang selalu mengirim pesan terlebih dahulu kepada Christy, lalu jika Christy sudah membalasnya maka ia akan segera menelponnya dan bercengkrama dengan Liam anak semata wayangnya menggunakan ponselnya yang lain. Tapi sudah hampir dua puluh menit, Christy tak kunjung membalas pesannya.
"Apa Mommy dan Liam sudah tidur?" tanya Hana kepada dirinya sendiri.
"Mungkin sebaiknya aku harus segera membuat jadwal untuk liburanku kali ini."
Hana mengambil Ipad-nya kemudian ia mencari daerah mana yang bagus untuk dikunjungi. Semenjak ia tinggal di Rusia, ia hanya sibuk bekerja, bekerja dan bekerja. Ia hampir melupakan bahwa dirinya juga butuh refreshing untuk mengcharger kembali energinya.
Setelah selesai, Hana menaruh Ipadnya di atas nakas dan memilih untuk beristirahat agar besok ia bangun dalam keadaan segar dan siap untuk memulai perjalannya.
***
"Aku tidak ingin mendengarnya jika tidak terlalu penting, Semyon." Daniel Leonardo Smirnov angkat bicara sesaat setelah Semyon memasuki ruangan perpustakaan pribadi miliknya.
"Maaf Tuan, tapi saya harus menyampaikan pesan dari Ayah anda." jawab Semyon sembari membungkukkan tubuhnya sedikit.
"Katakan."
"Ayah anda menginginkan anda untuk segera menikah kembali dan memberikannya cucu untuk penerus Bratva."
Wajah Daniel yang semula teduh kini berubah menjadi kusut. Pasalnya permintaan Dimitri Leonardo Smirnov selalu saja menghiasi hari-harinya yang gelap.
"Katakan pada Ayahku, jika soal penerus Bratva aku bisa saja mengadopsi dari panti asuhan dan mencari yang terbaik." jawab Daniel dingin.
"Sesuai keinginan Anda, Tuan. Ada satu lagi kabar yang harus anda dengar."
"Apa lagi?"
"Kapal kita yang menuju Kuba ditahan oleh anggota kartel baru bentukan Al Capone, Tuan."
"Bajingan! Berani-beraninya mereka."
"Siapkan jet pribadinya dalam satu jam, Semyon. Lalu hubungi Gaston dan Nikolai untuk segera bersiap."
"Baik Tuan."
Semyon membungkukkan kembali tubuhnya lalu keluar dari ruangan perpustakaan. Daniel benar-benar murka mendengar kabar tersebut, hal itu mengacaukan aktivitas membacanya yang selalu ia lakukan di malam hari. Daniel sangat menyukai membaca, bahkan berbagai macam genre buku ada di perpustakaan pribadinya. Dan kali ini, entah sudah keberapa kali waktu membacanya terganggu. Pasalnya kapal yang membawa senjata selundupan milik Daniel yang harusnya tiba di Kuba lusa senilai 40 juta ₽ (RUB), ditahan dengan mudahnya.
Malam itu Daniel, Gaston serta Nikolai terbang menuju Amerika untuk bertemu dengan pimpinannya. Negosiasi yang dilakukan cukup alot, mengingat Al Capone mengusai hampir sebagian besar Amerika dan mereka juga menjalin hubungan yang sangat menguntungkan dengan pemerintahan di sana. Daniel juga merogoh sakunya untuk diberikan kepada mereka juga pemerintah setempat agar barang miliknya bisa berlayar menuju Kuba.
Kepergiannya menuju Amerika tidak hanya untuk merugi. Bukan Daniel namanya jika ia tidak bisa mendapatkan peluang untuk bisnis gelapnya di tanah yang ia pijaki. Daniel membangun markasnya di wilayah Chicago untuk mengawasi kegiatannya dalam pengiriman barang-barang selundupan miliknya yang mungkin saja melewati wilayah mereka. Hal tersebut telah disetujui oleh Robert, sang pemimpin Al Capone.
"Senang bekerja sama denganmu, Daniel." Ujar Robert.
"Semoga setelahnya tak ada kejadian seperti ini, Robert." sahut Daniel.
"Tuan.." Gaston mendekat dan membisikkan sesuatu kepada Daniel.
Rahang Daniel mengeras serta tangannya mengepal, ia menahan amarahnya yang rasanya akan meledak saat ini juga. Daniel, Gaston serta Nikolai kembali menuju hotel untuk membahas kabar yang baru saja ia dengar.
Di dalam mobil, Daniel menyeringai saat mendengar bahwa yang membuat kapalnya tertahan oleh kartel baru bawahan Al Capone adalah karena bocornya informasi mengenai pengiriman barang yang dilakukan oleh seorang anggotanya.
"Cari dia sampai dapat ku beri waktu satu malam dan aku ingin kabar penemuannya ku dengar besok pagi." ujar Daniel.
"Baik, Tuan." jawab Nikolai.
"Hentikan panggilan formal itu jika kita hanya bertiga seperti ini." sahut Daniel.
"Hahaha maaf, aku lupa." jawab Nikolai.
Gaston dan Nikolai memang sudah menjadi bagian dari Kartel Bratva sejak lama. Daniel bahkan sudah mengganggap mereka sebagai sahabatnya. Hal itu ia lakukan mengingat dedikasi keduanya terhadap dirinya yang patut diacungi jempol.
"Aha.. kemanapun kau bersembunyi pasti akan selalu ku temukan dasar pengkhianat." sahut Nikolai yang sejak tadi sudah fokus dengan laptopnya. Nikolai memang seorang hacker handal, salah satu keahliannya ia bisa meretas CCTV dimanapun.
"Dimana dia?" tanya Daniel.
"Vladivostok."
"Hubungi anggota kita yang berada di sana. Suruh mereka memburu binatang itu tapi pastikan dalam keadaan hidup. Aku tak mau kematian seorang pengkhianat yang terlalu mudah." ujar Daniel tegas.
"Pincang sedikit mungkin tak apa, atau patahkan tangannya." Gaston menimpali dan disetujui oleh Daniel.
***
Perjalanan selama hampir sembilan jam menggunakan pesawat cukup membuat tubuh Hana terasa lelah di hari pertama kedatangan Hana di kota tersebut. Hingga akhirnya Hana memutuskan untuk ke hotel terlebih dahulu dan mulai berjalan-jalan di keesokan harinya yang tepatnya pada hari ini. Benar saja, semua rasa lelah itu terbayarkan saat ia mulai melihat pemandangan yang sangat indah.
Perjalanan pertama ia mulai mengunjungi Eagle's Nest Hill, tempat itu sangat populer dan terkenal di Vladivostok. Hana begitu puas melihat panorama kota yang menakjubkan. Tak salah memang Luvena menyarankan Vladivostok untuk di kunjungi dan Eagle's Nest lah yang wajib ia datangi. Banyak yang bilang bahwa tempat itu cocok untuk mulai mengenal Kota Vladivostok, karena dari tempat itu Hana bisa melihat kota dan Teluk Zolotoy Rog yang sangat mempesona terutama saat matahari terbit atau terbenam.
"Ahhh... Sudah lama aku tidak merasakan ketenangan ini." Ujar Hana sembari menghembuskan nafasnya.
Hana duduk di bagian yang cukup sepi kemudian ia menyalakan satu batang rokok untuk ia nikmati sambil melihat detik-detik matahari akan terbenam. Disaat-saat itulah, Christi sang ibu melakukan panggilan video.
"Halo, Mom." pekik Hana dengan girang.
"Sayang, bagaimana liburanmu?" tanya Christy.
"Di hari kedua ini aku berada di tempat yang sangat indah, Mom. Aku ingin membawa Liam ke sini." jawab Hana.
"Liam, lihatlah. Ibumu sedang berada di tempat yang indah." sahut Christy memberitahu cucunya.
"Moooommm!!!"
"Ssssuuuuutt pelankan suaramu, kid. Jangan sampai Grandpa mendengarnya." ujar Christy.
"Sorry, Grandma. Aku hanya senang bisa melihat Mommy." jawab Liam yang kini sudah berusia empat tahun.
Meski terlalu dini, tapi Liam sudah sangat pintar dan ia bahkan memahami situasi keluarganya bagaimana. Ia cukup dewasa dibandingkan anak yang lainnya. Meski kadang hal tersebut membuat Hana sedih karena Liam tak bisa seperti anak lainnya yang leluasa bertemu dengan sang ibu atau bahkan memanggil Hana dengan panggilan Mommy di depan semua orang.
"Tak apa, Sayang. Jika Grandpa terlanjur mengetahui semuanya, Mommy akan membawamu tinggal bersama Mommy di sini." sahut Hana.
"Tidak! Mommy akan dimarahi oleh Grandpa nanti. Aku tak mau melihat Mommy sedih." jawab Liam.
Hana terharu mendengar ucapan anaknya yang seperti orang dewasa.
"I miss you so much, Mom." ujar Liam dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"I miss you too so much, my little boy." Hana tak lagi bisa menahan air matanya. Tetesan demi tetesan mulai membasahi pipinya.
"Kapan Mommy akan pulang dan menjemputku? Aku ingin tinggal bersama Mommy saja." rengek Liam tak biasa.
Hana terdiam, ia tak bisa menjawabnya. Ia masih perlu berpikir lagi atas tindakan yang akan ia ambil. Hana tak bisa menjanjikan sesuatu yang belum pasti kepada anaknya.
"Suatu saat nanti, Mommy pasti akan kembali dan menjemputmu untuk tinggal bersama Mommy. Bersabarlah sayang."
Liam mengangguk patuh meski sebenarnya hatinya begitu kecewa. Tapi Liam mengerti akan kondisi ibunya, ia tak bisa memaksakan keinginannya. Ia percaya bahwa Tuhan akan kembali menyatukan mereka di waktu yang tepat.
TBC