Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tamu dari negeri yang jauh
Matahari siang merayap malas di langit, menebar sinar hangat ke halaman rumah sederhana Pak Jono.
Rumah kayu bercat kusam itu kini kembali dihuni, meski masih ada sisa-sisa aroma obat yang menempel di udara.
Kursi rotan tua di teras telah disusun rapi oleh Bu Ani, yang sibuk memastikan semuanya terlihat pantas untuk menerima tamu penting hari ini.
Pak Jono duduk bersandar di kursi rodanya. Tangannya yang hangus sebagian sudah dibalut rapi, sementara kaki kanannya masih terbungkus gips.
Wajahnya pucat, namun matanya hidup kembali. Ada semacam kedamaian baru yang perlahan tumbuh, meski bekas luka jiwa tetap tak mudah hilang.
“Bapak jangan tegang. Namanya juga tamu. Anggap saja teman jauh,” ucap Bu Ani lembut, menepuk bahu suaminya.
Pak Jono menghela napas. “Teman jauh? ibu, ini bukan tamu sembarangan. Dubes Amerika, lho… Datang langsung ke rumah kita. bapa ini cuma kuli buruh harian lepas kampung yang apes, terdampar di pulau sial itu. Rasanya… bapa nggak pantas.”
Bu Ani menunduk, tersenyum tipis. “Justru karena bapak bertahan, bapak pantas dihormati. Semua orang ingin mendengar kisah bapak.”
Belum sempat Pak Jono menjawab, suara mobil besar berhenti di depan gang.
Anak-anak kecil segera berlarian, penasaran. Beberapa tetangga mengintip dari balik jendela, berbisik-bisik dengan penuh rasa ingin tahu. Tak lama, tampak dua mobil hitam berhenti. Dari salah satunya turun seorang pria berambut pirang, masih muda, mengenakan jas sederhana. Dialah Alex. Wajahnya berseri, tampak jauh lebih sehat dibanding saat terakhir kali Pak Jono melihatnya di rumah sakit militer.
“Jono!” serunya dengan suara parau tapi hangat. Ia berjalan cepat menghampiri.
Pak Jono refleks bangkit berdiri, namun tubuhnya tak sanggup. Kursi roda menahan niatnya. Alex segera merunduk, meraih bahunya, lalu memeluknya erat.
“Aku pikir… aku tidak akan pernah melihatmu hidup lagi,” kata Alex, suaranya bergetar.
Pak Jono balas memeluk dengan satu tangan yang masih kuat. “Aku juga pikir begitu, Lex. Tapi… Tuhan memberi kita kesempatan kedua.”
Mereka berdua terdiam sejenak, hanya suara ayam berkokok di kejauhan dan bisik kagum tetangga yang terdengar.
Tak lama kemudian, seorang pria tinggi dengan rambut beruban rapi turun dari mobil.
Jas hitamnya memberi kesan berwibawa. Dialah Dubes Amerika. Senyumnya ramah, meski jelas ada ketegasan diplomatik dalam sikap tubuhnya. Ia melangkah mendekat, lalu menjabat tangan Pak Jono dengan hormat.
“Mr. Jono,” katanya dalam bahasa Inggris berintonasi tenang. “You are a survivor. A strong man!”
Alex segera menerjemahkan, “Beliau bilang, Bapak orang yang kuat, penyintas sejati.”
Pak Jono menunduk sopan. “Saya cuma orang biasa, Pak. Yang masih hidup karena mungkin belum waktunya mati.”
Dubes tersenyum. Dari tas kulit hitam yang dibawa ajudannya, ia mengeluarkan sebuah amplop tebal, lalu sebuah kotak kecil berlapis beludru biru.
Alex menatap Pak Jono. “Ini… santunan dari pemerintah Amerika. Sebagai bentuk penghargaan. Dan kotak ini berisi medali kehormatan untuk keberanian Anda.”
Pak Jono menatap bingung, seolah tak percaya. “Medali? Aku ini siapa, Lex?cuma orang kampung, bukan tentara.”
Alex menunduk sedikit, suaranya lirih. “Justru itu. Keberanian tidak selalu datang dari seragam. Kau bertahan, kau melindungi yang lain sebisa mungkin, dan kau tidak menyerah. Itu layak dihargai!”
Bu Ani, yang sejak tadi berdiri di samping, menitikkan air mata. Siti, Rudi, dan Ayu,tiga anak Pak Jono,berlarian keluar, ikut menyaksikan. Mata mereka berbinar melihat kotak biru di tangan Dubes.
Dubes kemudian membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat sebuah medali perunggu berukir simbol elang, dengan tulisan kecil.
For Bravery and Survival. Ia menyematkannya ke dada Pak Jono.
Seketika suasana hening. Angin sore berhembus melewati dedaunan jati, seolah alam pun ikut menjadi saksi. Tetangga-tetangga yang menonton dari kejauhan bertepuk tangan pelan, lalu makin lama makin riuh.
Pak Jono menunduk dalam. Dadanya sesak, bukan karena bangga, melainkan karena ingatan. Wajah-wajah teman yang gugur kembali melintas: Gilang, Jefri, Kapten Rahmat, dan yang lain. Suara jeritan, kobaran api, darah, dan tangis masih membayang. Ia menutup mata, menahan gejolak.
“Kalau saja mereka masih hidup, mungkin mereka yang lebih pantas menerima ini…” gumamnya lirih.
Alex meraih tangannya. “Mereka ada di hatimu, Jono. Dan lewat kamu, dunia tahu mereka pernah ada.”
Pak Jono mengangguk perlahan, meski air mata jatuh juga.
Setelah suasana agak reda, Dubes menyerahkan amplop tebal itu. “Ini dana santunan. Untuk keluarga. Untuk membangun hidup baru.”
Pak Jono menatap amplop itu lama sekali. Jemarinya gemetar. “Uang… tidak bisa membeli nyawa. Tapi… aku akan gunakan ini untuk anak-anakku. Supaya mereka tidak perlu hidup seperti aku.”
Bu Ani mengangguk cepat, menggenggam tangan suaminya. Wajahnya basah, tapi matanya penuh harapan.
Alex lalu duduk di kursi rotan lain, memandang Pak Jono lama sekali. “Aku harus bilang sesuatu, Jono. Pulau itu… meskipun terbakar, misterinya belum selesai. Tapi mungkin lebih baik dibiarkan begitu. Dunia tidak siap mengetahuinya. Yang penting, kita masih hidup.”
Pak Jono menatap Alex dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. “Benar. Biarkan pulau itu terkubur bersama rahasianya. Aku hanya ingin pulang,hidup sebagai manusia biasa lagi.”
Suasana mencair. Anak-anak Pak Jono berlarian kecil di halaman, memperhatikan medali di dada ayah mereka dengan bangga. Para tetangga mendekat, menyalami, mengucapkan selamat.
Dubes pamit dengan hormat, berjanji bahwa hubungan baik ini akan terus terjaga. Alex masih duduk agak lama, berbincang tentang masa depan. Ia bahkan sempat berjanji akan membantu menyekolahkan anak-anak Pak Jono bila perlu.
Matahari sore mulai turun, menyinari wajah Pak Jono yang letih tapi lega. Hari itu bukan hanya tentang santunan atau medali. Hari itu tentang penutupan sebuah luka panjang, tentang pengakuan bahwa perjuangan seorang nelayan sederhana pun bisa berarti besar di mata dunia.
Dan bagi Pak Jono, itu cukup.