Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Pertanyaan Nara tentang pendapat keluarganya membuat Devan menatapnya semakin serius. Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Keluargaku cukup terbuka. Tidak ada aturan khusus tentang menantu. Kamu pasti akan mendapatkan restu mereka.” Ia meraih tangan Nara, mengusapnya lembut. “Percayalah padaku, aku akan mengatur semuanya dengan baik. Aku akan memastikan tidak ada keraguan sedikit pun di hati mereka.”
Meski penjelasan Devan terdengar begitu meyakinkan, tetap saja ada beberapa hal yang mengganjal hati Nara. “Semudah itukah? Bagaimana tentang perasaan kita setelah menikah? Bagaimana kalau kita tidak akan saling mencintai selamanya?”
“Ini bukan hanya soal cinta, Nara. Ini soal tanggung jawab. Aku bisa saja memberimu uang sebagai kompensasi, tapi bagaimana kalau kamu hamil? Apa kamu akan kabur membawa anakku seperti yang lain?” tanya balik Devan. “Cinta bisa tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Lagi pula, cinta bukan jaminan kok. Buktinya, kamu juga ditinggalkan setelah lama menjalin cinta. Benar, ‘kan?”
Mendengar penjelasan Devan yang begitu yakin, ketegangan di wajah Nara sedikit mereda. Apa yang dikatakan lelaki itu memang ada benarnya.
Nara lalu mengangguk dengan pelan. “Aku … akan mempertimbangkannya lagi,” katanya, suaranya masih agak gemetar.
Devan mengangguk setuju. “Tentu. Ambil waktumu.” Ia bangkit dari ranjang, “Aku akan mandi dulu. Kamu juga bersiaplah.” Devan masuk ke kamar mandi, meninggalkan Nara sendirian di kamar hotel.
Keheningan kembali menyelimuti kamar, tetapi kali ini terasa berbeda. Keheningan ini dipenuhi dengan pergulatan batin Nara. Ia sedang berjuang antara rasa takut dan harapan. Ia harus memutuskan masa depannya, masa depan yang begitu tidak pasti.
Nara merasa tegang. Ia memakai pakaian, tangannya masih gemetar. Ia harus berbicara dengan Anya. Segera.
Gadis itu lalu menelepon Anya. Untungnya, panggilannya tersambung dan Anya menjawab panggilannya dengan cepat.
Suara Anya yang terdengar panik mulai menyapa indra pendengaran Nara. “Nara! Kamu baik-baik aja? Maaf banget ya! Semalam aku bener-bener mabuk berat. Aku nggak ingat apa-apa, aku cuma … aku cuma ingat aku khawatir banget sama kamu dan akhirnya titipin kamu ke Pak Devan karena aku udah nggak sanggup lagi ngurus kamu. Aku bener-bener minta maaf ya!” Penyesalan terdengar jelas dari suaranya yang terus menyerocos tanpa jeda.
Nara menghela napas panjang, rasa lelah perlahan menerjangnya. “Gara-gara kamu, Anya,” suaranya datar, tetapi penuh keputusasaan, “Aku harus mikirin jawaban atas lamaran Devan. DIA MELAMARKU!”
Di seberang sana, Anya terdiam sejenak. Lalu, suara jeritannya memecah keheningan kantor. “APA?! Pak Devan …Devan melamar kamu?!” Jeritannya cukup keras hingga beberapa rekan kerjanya menoleh. Anya mungkin sudah melupakan kesopanan di tempat kerja, terlalu syok dengan berita yang didengarnya.
“Anya, aku bingung banget,” ujar Nara, suaranya terdengar lesu. “Aku ragu banget sama lamaran Devan.”
Anya langsung menurunkan nada bicaranya karena tidak mau membuat huru-hara di kantornya, apalagi membawa-bawa nama bosnya itu. “Hah? Terus, gimana ceritanya sampai dia nembak kamu? Jelaskan semuanya dari awal!”
Sebelum Nara sempat menjawab, Anya sudah berceloteh lagi, “Jangan-jangan kalian … one night stand?”
“Menurut kamu? Mungkinkah seorang pria asing mau nikah sama aku dalam keadaan normal?” jawab Nara sedikit ketus. Ia masih terbayang kejadian semalam yang samar-samar.
Anya malah terdengar girang. “Ya ampun, Nara! Kamu beruntung banget ketemu Pak Devan semalam! Nggak nyangka bosku segentle itu, langsung mau nikah! Biasanya ya orang kayak dia cuma kasih duit buat ganti rugi, terus udah selesai gitu aja. Nggak peduli meskipun kamu hamil. Ibaratnya, kamu jual dia beli. Tapi dia keren, mau tanggung jawab.” Ia lanjut memprovokasi, “Kesempatan bagus nggak datang dua kali, lho! Buruan terima ajalah!”
Namun, keraguan Nara belum hilang begitu saja. “Gimana kalau Devan punya niat jahat yang tersembunyi? Misalnya, dia punya penyimpangan sek-sual yang nggak diketahui keluarganya, terus nikah sama aku buat nutupin kelakuannya?”
Anya menjawab dengan santai, “Itu bukan masalah serius, Nara! Yang penting, kamu dapet kehidupan yang lebih bagus. Bisa balas dendam sama Endra dan Renata!”
Mendengar nama Endra dan Renata, sesuatu menyala di hati Nara. Anya benar. Ini mungkin jalan takdirnya untuk hidup lebih layak, untuk lepas dari bayang-bayang dua sosok yang telah menghancurkan hidupnya.
Sayangnya, Anya harus mengakhiri obrolan mereka yang masih seru karena tuntutan pekerjaan. Nara tertinggal sendirian di kamar hotel, menatap jendela, merenungkan semuanya. Pikirannya beradu antara rasa takut dan keinginan untuk menebus masa lalunya yang kelam.
Tiba-tiba, suara Devan yang berat memecah lamunan Nara. “Nara?” Laki-laki itu muncul dari kamar mandi dengan rambut basah yang menetes jatuh ke tubuhnya.
Dalam beberapa detik, pandangan Nara tertuju pada tubuh Devan yang masih setengah basah, yang tampak begitu indah dan sempurna. Keindahan fisik yang sangat kontras dengan kekacauan perasaan di dalam hatinya.
Keindahan fisik itu seakan-akan membuai pikirannya, mencoba membiusnya dari pergulatan batin yang selama ini menggerogoti jiwanya. Namun, di balik keindahan itu, bayangan ketakutan dan keraguan masih menghantuinya.
Devan mendekat, mengusap lembut rambutnya yang masih basah. “Kamu terlihat sangat termenung,” katanya, suaranya lembut, tetapi menunjukkan keprihatinan. “Kamu sudah memutuskan?”
Nara menggeleng pelan. “Aku … aku masih ragu, Devan,” jawabnya, suaranya terdengar gemetar. “Aku takut … aku takut membuat kesalahan.”
Devan tersenyum sedikit getir. “Kesalahan apa yang lebih besar dari kesalahan kita semalam?” tanyanya, nada suaranya sedikit meninggi. “Jangan biarkan rasa takut itu menguasai hidupmu, Nara. Kita telah menciptakan sebuah kesalahan, tapi kita bisa memperbaikinya. Kita bisa membangun masa depan yang lebih baik, bersama-sama.”
Ia menjelaskan lebih lanjut, dengan suara yang penuh dengan ketenangan dan kehangatan. “Keluargaku, mereka akan menerimamu. Mereka melihat kebaikan di hatimu. Semua risiko yang mungkin terjadi, aku akan tanggung.”
Namun, di tengah pergulatan batin Nara, telepon ponselnya berdering. Ia melirik layar ponselnya. Nama Endra tertera di layar. Jantungnya berdebar kencang.
Devan menatap gadis itu dengan tatapan yang penuh kehangatan dan penghayatan. “Jangan takut, Nara. Aku akan selalu menjagamu.”
Nara meraih ponselnya, jantungnya berdebar-debar ketika melihat nama “Endra” terpampang di layar. Namun, yang menyapa telinganya bukanlah suara dingin Endra, melainkan suara Renata, adiknya.
“Kak Nara … ponsel aku mati, batre-nya habis,” suara Renata terdengar sedikit terburu-buru. “Aku … aku butuh bantuanmu. Tolong bawain selimutku yang di kamar, bayiku kurang nyaman dengan selimut rumah sakit.”
Nara terdiam sesaat. Permintaan Renata yang tiba-tiba, terasa janggal. Ia menatap Devan, yang tampak tenang, menunggu jawabannya. Tanpa sepatah kata pun, Nara langsung menutup panggilan dari adiknya itu.
Devan, seakan tidak menghiraukan panggilan dari Renata tadi, tersenyum lembut. “Jadi, kamu mau ketemu keluargaku dulu, atau keluargamu?”
Nara menatap Devan dengan tatapan teguh, ketegasannya berbeda dari keraguan sebelumnya. “Keluargamu,” jawabnya dengan yakin. “Aku ingin memastikan restu dari keluargamu dulu, sebelum menentukan tanggal pernikahan kita dengan keluargaku sendiri.”
***
Kira² yang paling syok, keluarganya Devan, atau keluarganya Nara gaess 🙂↔️
Like, komen, dan subrek 🤭🤭
kak semangat up nya,,klo bisa yg banyak up nya😁
udah dilarang bejerja di oerusahaan suami tapi tetap dilanggar