NovelToon NovelToon
Satu Cinta, Dua Jalan

Satu Cinta, Dua Jalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Cinta Terlarang / Cinta Paksa / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Bercocok tanam
Popularitas:696
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Puri duduk di teras dengan gelas berisi teh hangat di tangannya, sementara Karan duduk di sampingnya, menjaga jarak yang tidak terlalu dekat, memberi ruang bagi Puri untuk berbicara jika ia mau.

Setelah beberapa saat hening, Karan akhirnya membuka suara.

“Puri, kamu nggak perlu cerita kalau belum siap. Tapi aku... bisa ngerasain ada sesuatu yang bikin kamu sedih tadi malam. Apa itu soal Yudha?”

Puri menatap Karan, matanya kosong untuk sesaat. Lalu ia mengangguk perlahan, masih menunduk, seolah takut mengungkapkan isi hatinya.

“Iya, Mas... tadi Yudha mabuk dan dia ikut balapan liar. Aku nggak tahu lagi harus gimana. Dia bilang kalau dia mencintaiku. Tapi, aku udah nggak bisa balik lagi ke dia, Mas. Hatiku udah ada yang lain.”

Karan menghela napas, mencoba meredam perasaan yang bergejolak.

“Aku nggak tahu apa yang terjadi antara kamu dan Yudha, tapi aku tahu kamu pantas mendapatkan lebih dari sekedar perasaan yang membingungkan itu.”

Puri terdiam, menyaring kata-kata Karan dalam hatinya.

“Aku... bingung, Mas. Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku nggak mau Yudha terluka, tapi aku juga nggak bisa menyangkal perasaan yang ada antara aku dan Mas Karan,”

Karan menatapnya dalam-dalam, dengan senyuman kecil yang menghangatkan hati Puri.

“Kamu nggak perlu bingung, Pur. Apa pun yang terjadi, aku di sini. Dan... kalau kamu mau, aku punya ide untuk membuatmu merasa lebih baik.”

Puri menoleh, penasaran. “Apa itu?”

“Aku tahu tempat yang tenang dan bisa bikin kamu lupa sejenak tentang semuanya. Pantai, Pur. Aku akan ajak kamu ke sana. Udara laut yang segar, suara ombak yang tenang... mungkin itu bisa membantu.”

Puri tersenyum kecil, merasa sedikit lega. “Ke pantai? Tapi, aku harus izin sama Mama.”

Karan bangkit dengan penuh semangat. “Aku akan izin ke ibu. Kita bisa pergi pagi-pagi, sebelum semuanya terlalu ramai. Kita butuh waktu untuk diri kita sendiri, kan?”

Puri mengangguk pelan. “Iya... terima kasih, Mas.”

Karan tersenyum, menggenggam tangan Puri dengan lembut.

“Jangan khawatir. Hari ini, kita cuma berdua. Tidak ada masalah yang perlu dipikirkan.”

Dengan langkah ringan, Karan pergi menuju rumahnya untuk memberi tahu ibunya, sementara

Puri duduk sejenak di teras, meresapi ketenangan malam yang akhirnya kembali datang.

Setelah percakapan panjang yang sedikit menenangkan hati, Puri menghabiskan teh hangatnya perlahan. Malam mulai larut, dan rasa lelah semakin terasa.

Karan berdiri sambil merapikan jaketnya. “Aku pulang dulu, ya. Kamu harus istirahat. Tidur yang cukup, biar besok pagi segar waktu kita jalan.”

Puri tersenyum tipis, menatap Karan dengan rasa syukur yang tak terucapkan. “Iya, Mas. Hati-hati di jalan.”

Karan membalas dengan anggukan lembut. “Besok pagi aku datang lagi. Janji.”

****

Pagi pun tiba, langit masih berwarna jingga saat Karan sudah berdiri di depan rumah Puri.

Ia membawa tas kecil dan mengenakan pakaian santai, dengan senyum penuh semangat.

Setelah memberi salam, Mama Puri membukakan pintu.

“Selamat pagi, Ibu,” sapa Karan sopan.

“Saya mau ajak Puri ke pantai. Sekalian biar dia bisa tenang sedikit dari semua yang terjadi.”

Mama memandangnya dengan alis terangkat.

“Pantai? Jauh, Karan. Dan kalian cuma berdua?”

Karan segera menunduk hormat. “Saya janji akan jaga Puri baik-baik, Ibu. Nggak akan macam-macam. Saya cuma ingin dia bisa tenang. Saya tahu belakangan ini dia lagi capek pikiran.”

Mama terdiam sesaat, menimbang dan tatapannya bergeser ke arah kamar Puri, lalu kembali ke wajah Karan. Ia melihat kesungguhan di mata pemuda itu.

Akhirnya, Mama menghela napas pelan. “Baiklah. Tapi kalian harus pulang sebelum maghrib. Dan kamu yang tanggung jawab penuh, Karan.”

Karan tersenyum lega. “Siap, Ibu. Terima kasih banyak.”

Tak lama, Puri keluar dari kamar dengan pakaian santai dan wajah masih sedikit lelah, tapi ada kilatan lega saat melihat Karan di depan pintu.

“Siap?” tanya Karan sambil tersenyum.

Puri mengangguk pelan. “Siap, Mas.”

Dan pagi itu, mereka pun bersiap untuk memulai perjalanan menuju pantai, tempat di mana segala beban hati diharapkan bisa sedikit terangkat.

"Kita cari makan dulu ya, Pur,"

Puri menganggukkan kepalanya pelan sebagai tanda setuju, dan Karan pun segera menurunkan kecepatan motornya sambil memperhatikan kanan-kiri jalan.

Tak butuh waktu lama, mereka melihat sebuah rumah makan sederhana di pinggir jalan, beratap rumbia dan dikelilingi pohon kelapa, dengan pemandangan sawah dan laut di kejauhan.

“Di sana aja, ya?” tanya Karan sambil menepikan motor.

Puri mengangguk lagi, kali ini dengan senyum yang mulai tulus.

“Kelihatannya enak.”

Mereka turun dari motor, dan Karan dengan sigap membantu membuka helm Puri.

“Akhirnya kita bisa duduk sebentar sebelum lanjut ke pantai.”

Begitu masuk ke rumah makan, aroma masakan laut langsung menyambut mereka.

Suasana tempat itu tenang dan bersih, dengan meja-meja kayu sederhana yang menghadap ke jendela terbuka. Angin laut masuk menyapu rambut mereka.

Mereka memilih duduk di pojok dekat jendela, dan tak lama kemudian seorang ibu paruh baya datang membawa menu.

“Mau pesan apa, Mas, Mbak?”

Karan menoleh ke Puri. “Kamu pilih dulu.”

Puri melihat menu sebentar. “Bubur seafood aja deh. Kamu?”

Karan tersenyum. “Sama. Kita serasi ternyata.”

Puri mencibir kecil, tapi senyum itu tak bisa ia sembunyikan. Untuk pertama kalinya setelah malam yang panjang dan penuh emosi, ia merasa tenang.

Ada sesuatu dalam sikap Karan yang tak terburu-buru yang membuat luka hatinya perlahan terasa tidak seberat kemarin.

Sambil menunggu makanan datang, Karan menatap Puri dengan lembut.

“Aku senang kamu ikut hari ini, Pur. Meski cuma sebentar, aku harap kamu bisa merasa lebih ringan.”

Puri menunduk sebentar, lalu menatap balik Karan.

“Aku juga senang... Mas Karan tahu caranya bikin aku merasa nggak sendirian.”

Dan saat makanan mulai dihidangkan, aroma bubur hangat bercampur dengan angin laut, Puri pun merasa bahagia meski tidak sempurna hidupnya perlahan-lahan mulai menemukan arah yang baru.

Berikut lanjutan suasana hangat dan romantis mereka di pantai:

Setelah selesai sarapan, Karan dan Puri melanjutkan perjalanan ke pantai.

Saat mereka tiba, matahari mulai naik, menyinari pasir keemasan dan ombak yang berkejaran dengan angin.

Suasana sepi, hanya ada beberapa pengunjung lain yang bermain air di kejauhan.

Puri melepas sepatunya dan langsung berlari kecil ke tepi laut, membiarkan ombak menyentuh kakinya. Karan menyusul di belakang, tertawa melihat Puri tertawa bebas, seperti anak kecil yang lepas dari beban.

Mereka bermain air, saling percik dan berlari, membiarkan waktu mengalir tanpa terburu-buru.

Sesekali Karan memandangi wajah Puri dengan senyum penuh makna dimana wajahnya yang kini mulai kembali cerah.

Setelah puas bermain air, Karan menarik tangan Puri lembut.

"Ayo duduk sebentar.”

Mereka duduk berdampingan di atas pasir yang hangat.

Ombak terus menghempas perlahan, dan angin membelai rambut mereka dengan lembut. Karan menghela napas panjang, lalu menoleh ke Puri.

“Pur...” katanya dengan suara lembut.

Puri menoleh. “Iya, Mas?”

Karan tersenyum tulus. “Terima kasih... karena kamu sudah mau menjadi kekasihku.”

Puri menatap mata Karan yang jujur dan tenang. Untuk sesaat ia diam, lalu menjawab dengan suara lirih, “Aku yang seharusnya berterima kasih. Karena Mas hadir di saat aku rapuh, dan nggak pernah lelah buat menenangkan aku.”

Karan menggenggam tangan Puri. “Aku nggak janji bisa selalu sempurna. Tapi aku janji, aku akan ada. Dalam tenang mu, dalam sedihmu, dalam ceritamu... kamu nggak akan sendiri lagi.”

Puri menunduk pelan, matanya berkaca-kaca. “Mas Karan... kamu selalu tahu harus bicara apa.”

Karan tersenyum kecil. “Karena aku sayang kamu, Pur. Itu saja alasannya.”

Dan mereka pun duduk dalam diam, menikmati ombak yang tak pernah lelah datang dan pergi.

Di tengah pasir dan angin laut, dua hati yang terluka mulai saling menyembuhkan—dengan kehadiran, ketulusan, dan cinta yang tumbuh pelan tapi pasti.

1
kalea rizuky
hamil deh
kalea rizuky
bagus awalnya tp karena MC nya berhijab tp berzina maaf Q skip karena gk bermoral kecuali dia di perkosa
kalea rizuky
tuh dnger emak nya karan g stuju ma loe
kalea rizuky
berjilbab tp berzina pur pur didikan ibumu jos
kalea rizuky
pasti ortu karan gk setuju pur. pur bodoh qm blom nikah uda ilang perawan
kalea rizuky
puri kenal karan jd murahan
kalea rizuky
harusnya di pesenin lah taksi online Yuda gk tanggung jawab bgt
kalea rizuky
masih menyimak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!