YAKIN GAK MAU MAMPIR?
***
Berkaca dari kehidupan rumah tangganya yang hancur, ibu mengambil ancangan dari jauh hari. Setelah umurku dua tahun, ibu mengangkat seorang anak laki-laki usia enam tahun. Untuk apa? Ibu tidak ingin aku merasakan kehancuran yang dirasakannya. Dia ingin aku menikah bersama kak Radek, anak angkatnya itu yang dididik sebaik mungkin agar pria itu tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh suaminya, ayahku, padanya. Namun, ibu lupa, setiap manusia bukan binatang peliharaan yang bisa dilatih dan disuruh sesuka hati.
Meskipun aku hidup berumah tangga bersama kak Radek, nyatanya rasa sakit itu masih ada dan aku sadari membuat kami saling tersakiti. Dia mencintai wanita lain, dan menikah denganku hanya keterpaksaan karena merasa berhutang budi kepada ibu.
Rasa sakit itu semakin dalam aku rasakan setelah ibu meninggal, dua minggu usai kami menikah. Entah seperti apa masa depan kami. Menurut kalian?
Mari baca kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meninggalkan Diriku
🦋🦋🦋
Mataku menatap jalan dengan harapan agar segera sampai di jalan Sabang Indah, di mana rumah kak Radek berada. Si sopir taksi aku desak setiap menitnya, menyuruh pria itu dalam perasaan tidak tenang untuk bisa sampai di sana sesegera mungkin. Tanganku berkeringat dingin dan gemetar, benar-benar tidak bisa tenang setelah membaca isi surat itu.
"Cepat, Pak ...," desakku.
"Kalau kita lebih cepat dari ini, kita bisa berada di alam lain, Neng," balas si sopir taksi itu dengan kesal.
Aku benar-benar tidak bisa sabar sampai menggigit jadi dan tidak bisa duduk tenang. Air mata ini jatuh dalam penyesalan karena tidak menemui pria itu tadi di luar kafe, masih ingat di benak ini seperti apa wajahnya saat itu. Kembali aku membuka lebar surat yang ada di tanganku, membacanya lagi.
Isi Surat:
Mungkin ucapan minta maaf tidak bisa membuatmu memaafkanku. Tetapi, aku tetap akan ucapkan kalau aku minta maaf sebesar-besarnya. Mungkin setelah kamu membaca surat ini, kita tidak akan bertemu lagi. Aku mendapatkan tugas di tempat lain dan aku tidak bisa memberitahukan tempatnya. Kamu harus bahagia di sana, temukan pria yang bisa membuatmu selalu bahagia. Takdir tidak bisa menyatukan kita. Tuhan tahu kalau aku bukan pria yang pantas untukmu, aku hanya bisa selalu menyakitimu.
Jangan bersedih, aku tahu kamu tidak mungkin bersedih karena pria brengsek sepertiku. Aku meninggalkan kartu kreditku untukmu, itu hakmu, dan uang tiga juta yang aku janjikan sudah ada di sana. Lalu, cincin ini anggap sebagai penebusan atas diriku yang tidak pernah menamai hubungan kita sebagai suami-istri.
Bahagia di sana, rumah ibu akan selalu menjadi rumah ibu, dan kamu bisa tinggal di sana.
~Radekha Prawira
Aku kembali meneteskan air mata membaca surat itu untuk kedua kalinya dan menatap kartu kredit dan cincin yang masih ada di dompet, di tangan kiriku.
"Ini, Neng?" tanya si sopir taksi setelah menginjak rem di depan pintu gerbang rumah kak Radek.
Bergegas aku memasuki semua benda yang ada di atas pangkuanku ke dalam tas belanjaan tadi, lalu keluar dari taksi dan menyodorkan selembar pecahan warna biru kepada pria itu. Kemudian, aku berlari menghampiri gerbang rumah.
Sudah digembok. Aku merogoh tas, mengambil kunci gerbang dan kunci rumah dari sana. Aku membuka gerbang itu dan berlari masuk dengan harapan kak Radek masih ada di rumah itu. Padahal, jika dipikirkan dengan kepala dingin, apa yang dilihat sudah memberikan kejelasan kalau rumah itu sudah ditinggalkan, tidak ada orang lagi karena sudah di gembok dan lampu rumah terlihat mati dari luar.
Setelah pintu rumah aku baru sadar, tidak ada orang di sana. Air mataku menetes lebih laju dari sebelumnya bersama suara tangisku dan melangkah pelan mendekati tombol lampu, menyalakan penerangan ruangan tengah itu. Kemudian, aku mengubah arah langkahku ke kamar kak Radek. Kekosongan tidak hanya aku temui di luar, di kamar itu juga.
Aku menjongkok, lalu terduduk sambil memeluk lutut di tengah kamar kak Radek yang gelap dan hanya sedikit diterangi oleh cahaya dari lampu ruang tamu yang masuk melalui pintu. Di situ aku menangis sekencang-kencangnya sambil menatap foto kak Radek dan diriku di atas meja yang mendapatkan sorotan penerangan dari cahaya yang masuk dari pintu.
***
Entahlah, kesedihan selalu menghipnotis diriku terhadap situasi yang ada di sekelilingku. Seperti sekarang, aku tidak sadar hampir tiga jam merenungi duduk seperti posisi tadi, memeluk lutut sambil memutar memori saat diriku menghabiskan masa-masa menyenangkan bersamanya tanpa mengingat sedikitpun sikap buruknya.
“Kenapa Kakak meninggalkanku dengan cara ini? Tidak bisakah berbicara langsung denganku?” tanyaku, berbicara sendiri. “Iya, aku juga salah. Seharusnya aku tidak menyuruh Kakak tidak muncul di hadapanku,” kataku, kembali menangis.
Tangisku berhenti seketika selama aku mendapat hidayah untuk tidak boleh bersedih lagi, aku berdiri dari posisiku, dan berjalan menghampiri foto di atas meja yang sejak tadi aku pandangi, aku menelungkupkan foto yang terpajang di atas meja itu.
“Untuk apa menangis orang yang tidak mempedulikanku,” ucapku dan berjalan keluar dari kamar itu sambil menyeka air mata, menarik pintu kamar dan bantingnya.
Aku duduk di ruang tamu sambil menenangkan perasaan sedih yang sedikit bisa aku bendungi. Aku membuka dompet itu kembali, mengeluarkan cincin dan kartu kredit yang belum sempat aku keluar dari sana karena surat itu.
Ponselku berdering, bergegas aku merogoh tas dengan harapan itu kak Radek. Bukan, ternyata kak Karina. Hatiku bengis ketika mengingat wanita ini, meskipun dirinya tidak salah. Sambungan telepon aku matikan, langsung aku blokir dan hapus nomor itu karena marah. Saat itu aku berpikir, karena dirinya lah kak Radek meninggalkanku.
Setelah itu, aku mencari kontak om Zidan, menulis pesan kalau aku tidak akan kembali malam ini, aku berbohong dengan mengatakan kalau aku tidur di kosan Maya. Usai mengirim surat, aku mematikan teleponku, ingin menenangkan diri dan tidak ingin berbicara dengan siapapun untuk sementara waktu.
***
Pintu rumah kak Radek aku kunci. Dalam setelan rapi, aku akan ke kampus. Namun, sebelum itu, aku ingin ke suatu tempat, yaitu rumah kak Karina.
Sekitar lima belas menit duduk dibonceng oleh tuka ojek online, aku berdiri di depan sebuah rumah yang cukup besar dan mewah, bertingkah. Baru pertama kalinya aku ke sini, ternyata kak Karina benar-benar kaya.
Aku menghampiri seorang pria yang baru keluar dari gerbang rumah kak Karina, pria itu tengah menggembok gerbang tersebut.
“Permisi, Pak! Kak Karina ada di rumah?” tanyaku, meskipun aku sudah menduga kalau kak Karina ikut bersama kak Radek.
Dalam benak terbesit dengan harap kak Radek ada di rumah besar ini, belum seutuhnya pergi dari kota ini. Itulah sebabnya aku datang ke sini.
“Non Karina? Mereka sekeluarga sudah pergi keluar negeri. Mereka pindah ke sana,” jawab pria itu, sepertinya keamanan rumah.
“Luar negeri? Di negara mana?” tanyaku, penasaran.
“Saya tidak bisa menceritakannya. Maaf sekali,” ucap pria itu.
Jawaban pria ini sama seperti yang tertulis di surat yang diberikan kak Radek. Ke mana mereka sebenarnya?
“Kapan?” tanyaku, lagi.
“Kemarin sore. Mereka sekeluarga pindah, termasuk menantu baru mereka,” terang bapak itu.
“Baiklah. Terima kasih,” ucapku dengan senyuman.
Pria itu menganggukkan kepala dan lanjut menggembok gerbang itu. Kemudian, pria itu menghampiri motor yang ada di samping gerbang, mengendarainya meninggalkan keberadaanku.
Di tengah memperhatikan rumah besar itu dari luar pagar, ponselku berdering dari tas selempangku. Kuambil ponsel dari sana dan melihat om Zidan yang menghubungiku.
“Halo?”
“Galuh. Pagi ini om baru lihat pesanmu. Kemarin ponsel om tiba-tiba mati dan baru bisa menyala pagi ini, setelah diservis. Baru saja om menghubungi Maya ,dia tidak bilang kamu ada di sana. Di mana kamu sejak semalam?” tanya om Zidan.
“Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Sekarang aku menuju kampus,” kawanku dengan tenang.
“Syukurlah. Oh iya, kemarin Om menghubungimu karena Om mau kasih informasi kalau Ayahmu tidak menyerahkan diri ke kantor polisi. Kemarin itu teman-temannya, dia sengaja membohongimu. Om baru tau, ternyata dia penjahat besar. Kemarin malam dia sudah membobol sebuah bank bersama teman-temannya itu. Dia sudah berbohong padamu,” kata om Zidan, membuatku tidak bisa berkata-kata lagi karena kaget. “Sekarang kamu hati-hati, takutnya kamu diperalat oleh Ayahmu. Jika tidak, untuk apa dia tiba-tiba datang dan bersikap baik padamu? Pikirkan itu. Jangan terlalu baik padanya,” kata om Zidan dengan nada suara serius.
“Benar!” Seru seseorang dari belakang, membuatku menoleh dan membelalak kaget melihat ayah berdiri di belakangku bersama kak Lias.
Kak Lias mendekatiku, membekap mulutku menggunakan sapu tangan yang sudah dibius, membuat kesadaranku mulai menghilang.
“Galuh …!” panggil om Zidan yang terdengar samar dari ponsel yang baru aku jatuhkan.
Setelah mendengar suara itu, dalam hitungan detik, kesadaranku hilang total.