Betapa hancurnya perasaanku, saat aku tau suamiku menikah diam diam di belakangku dengan temanku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Hari ini adalah hari yang penuh emosi, persidangan perceraian antara aku dan Hans akan segera dimulai.
Aku memasuki ruang sidang dengan perasaan yang campur aduk. Tak disangka, Hans datang bersama dengan keluarganya, termasuk ibu mertuaku yang sudah lama tak kutemui.
Dengan ragu, aku menghampiri ibu mertuaku dan menyalaminya. Namun, dia langsung melengos dan tak menyambut salamku dengan tulus.
"Kenapa gak dari dulu Hans menceraikan kamu?" ujarnya dengan sinis.
"Astaghfirullah, Ibuk," aku terkejut dan tak mengerti apa yang membuat ibu mertuaku berubah sikap. "Kenapa ibu berkata seperti itu sama aku?"
"Ibu capek saja pura-pura baik sama kamu," ucapnya tanpa rasa bersalah, membuatku terpaku. Hati ini bagai ditusuk duri mendengar pengakuan ibu mertuaku.
"Jadi ibu selama ini..." aku belum sempat melanjutkan kata-kata, ibu mertuaku sudah menyela.
"Iya, karena kamu istrinya Hans, jadi aku juga harus baik dong sama kamu," ucapnya dengan nada dingin, menyiratkan bahwa rasa hormat yang diberikannya selama ini hanya karena pernikahan kami.
Hatiku semakin tersayat mendengar pengakuan ibu mertuaku. Di tengah proses perceraian yang sudah cukup menyakitkan, kini aku harus menelan pil pahit ini.
Aku berusaha tegar, menghadapi semua ini dengan kepala tegak, meski hatiku remuk. Aku datang hanya dengan Imas, Imas mengelus lembut punggungku.
"Mamah" Rena dari kejauhan memanggil ibu mertuaku dengan sangat manja
Rena dan ibu mertua langsung berpelukan saat tiba di ruang sidang, wajah mereka berseri-seri, penuh kebahagiaan.
"Hei Rea, sudah siap untuk jadi janda?" sindir Rena dengan nada ejekan.
"Insyaallah, aku siap," jawabku dengan tegas.
Mereka berdua memasang wajah sinis, lalu berjalan masuk ke ruang sidang. Sementara itu, Hans hanya menatapku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Aku merasa tidak ada dukungan dari suamiku yang sebentar lagi akan resmi menjadi mantan, dia benar benar Hans yang tidak aku kenal, dia sangat berbeda sekali.
"Rea! Jangan menangis!" tegur Imas, sahabatku yang selalu mendukungku.
"Gak, Imas. Aku gak akan menangis! Gak ada gunanya aku nangis!" sahutku dengan penuh keberanian.
Aku melangkahkan kaki masuk ke ruang sidang bersama Imas. Hati berdebar kencang, takut dan cemas bercampur menjadi satu.
Persidangan perceraian ini adalah ujian terberat dalam hidupku, tapi aku harus tetap tegar dan kuat menghadapinya.
Persidangan berlangsung di ruang sidang yang penuh sesak. Imas, sahabatku, dengan tegas menyerahkan barang bukti dan segala dokumen yang diperlukan oleh hakim ketua. Semua orang dalam ruangan tersebut menatap kami dengan penuh perhatian.
Proses persidangan berjalan lancar, dan akhirnya tiba saat yang paling menegangkan. Aku merasakan jantung berdebar kencang, menunggu keputusan hakim.
Ketok palu terdengar, dan hakim mengumumkan bahwa aku kini resmi bukan lagi istri Hans.
Perasaan lega menyelimuti diriku. Aku dan Imas saling berpelukan, mengucapkan syukur atas keputusan tersebut.
"Alhamdulillah," seru kami berdua.
Di sisi lain, Rena, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya Hans, berteriak kegirangan. Dia tampak sangat bahagia dan puas dengan hasil persidangan.
Aku dan Imas hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Rena yang berlebihan, tidak ingat apa kalo dirinya sedang hamil?
"Kita pulang, Im," ajakku pada Imas, bersiap meninggalkan ruang sidang dan melanjutkan hidupku yang baru, bebas dari ikatan pernikahan yang menyakitkan itu.
Aku dan Imas baru saja keluar dari ruang persidangan, tiba-tiba Rena dan mantan ibu mertuaku, Ibu Rosi, berjalan di belakangku sambil tertawa mengejek.
Aku mencoba untuk tetap tenang dan terus berjalan, tidak menggubris ejekan mereka yang menusuk hati.
"Tunggu, Rea!" seru Ibu Rosi dengan nada sinis.
"Iya, ada apa lagi?" jawabku dengan wajah datar, berusaha untuk tidak terpancing emosi.
"Jangan harap kamu bisa mendapatkan harta Gono-gini dari anakku!" Ibu Rosi mengepalkan tangannya, wajahnya memerah karena marah.
Aku tersenyum miring, menatap mata Ibu Rosi tajam. "Anda tenang saja, Bu. Aku bukan perempuan yang gila harta. Tanpa uang Hans, aku bisa hidup mewah!" ucapku kesal, menunjukkan bahwa aku tidak terpengaruh oleh harta atau kekayaan mantan suamiku.
Ibu Rosi terlihat terkejut dengan jawabanku, seolah tidak menyangka bahwa aku bisa berbicara dengan tegas dan percaya diri.
Rena yang mendengar pembicaraan kami hanya bisa menggigit bibir, tidak tahu harus berkomentar apa.
Aku menatap Rena tajam.."semoga bahagia" sinisku
"Tentu dong" sahut Rena sambil memeluk Hans yang baru saja keluar dari ruang persidangan
Aku berlalu meninggalkan mereka bertiga, merasa lega karena sudah mengungkapkan perasaanku.
Imas menepuk pundakku pelan, memberikan semangat agar aku tetap kuat menghadapi semua cobaan yang ada di depan.
"Terima kasih, Besti," ucapku dengan tulus kepada Imas saat kami tiba di parkiran mobil. Imas tersenyum hangat, membuatku merasa sedikit lebih baik.
"Iya, sama-sama, Rea. Aku berharap setelah ini kamu bahagia dan jangan lagi memikirkan masa lalu kamu. Karena sampai kapan pun, yang ada itu hanya masa lalu yang tak akan mungkin jadi masa depan kamu," nasihat Imas dengan lembut.
"Siap, Imas," sahutku sambil tersenyum. Aku merasa bersemangat untuk melupakan masa lalu dan menjalani hidup yang lebih baik.
Kami pun memutuskan untuk pulang dan masuk ke dalam mobil kami masing-masing. Hari ini, aku merasa sangat semangat untuk menghadapi hari-hari ke depan.
Sepanjang perjalanan ke rumah, aku memutar musik dengan irama ceria, menandakan tekadku untuk tidak lagi berlarut dalam kesedihan.
Dalam setiap beat musik yang kuputar, aku merasa lebih ringan dan lebih siap untuk menyambut masa depan yang lebih cerah. Semangat ini, ku yakini, akan membawaku pada kebahagiaan yang selama ini kuimpikan.
Hari itu masih sore ketika aku memutuskan untuk pergi ke mal untuk membeli pakaian, mengingat pakaian yang ada di rumah Hans tidak semua aku bawa.
Sesampainya di mal, aku menikmati keramaian di sekitarku, serasa terhibur oleh suasana ramai itu.
Aku melangkah masuk ke dalam toko jas kantor yang mewah dan menawan. Semua pakaian di sana terlihat elegan dan berkualitas. Aku memilih beberapa jas yang menarik perhatianku, lalu berjalan mundur sambil melihat-lihat yang ada di atas rak.
Tiba-tiba, "Bruk!"
"Aauuw!" seruku kesakitan.
Aku menoleh ke orang yang baru saja menabrakku dan kaget ketika menyadari siapa dia.
"Delvin!" seruku terkejut.
Dia hanya memasang wajah datarnya, tanpa menunjukkan ekspresi apapun. "Besok telinga kamu ganti spion saja," ujarnya dengan nada sinis.
Hatiku berdebar kencang, tidak menyangka akan bertemu dengan Delvin di tempat seperti ini.
Aku merasa canggung dan bingung harus berkata apa. Sementara Delvin, ia tampak sama sekali tidak peduli dengan kehadiranku di depannya.
Perasaan campur aduk bergejolak di dalam diriku. Aku ingin marah karena ditabrak dan dihina oleh Delvin, tapi di sisi lain, aku juga merasa tidak enak karena dia sekarang rekan bisnisku.
Dalam situasi yang canggung ini, aku mencoba untuk tetap tenang dan menjaga sikapku. Aku berbicara dengan nada yang lembut,
"Maafkan aku, Delvin. Aku tidak sengaja menabrakmu."
Namun, Delvin masih tetap dengan wajah datarnya dan tidak memberikan respon apapun.
Dia sangat menyebalkan ! Kalo dia bukan anak dari pak Hartono udah aku batalkan saja kontrak kami.
**
tokoh² nya gak ada yg oke
si rea gak tau cara masak nasi , keterlaluan buat apa cantik gak bisa apa² diih memalukan