Neo terbiasa hidup dalam kekacauan.
Berantem, balapan liar, tawuran semuanya seperti rutinitas yang sulit ia hentikan. Bukan karena dia menikmatinya, tapi karena itu satu-satunya cara untuk melampiaskan amarah yang selalu membara di dalam dirinya. Dia tahu dirinya hancur, dan yang lebih parahnya lagi, dia tidak peduli.
Setidaknya, itulah yang dia pikirkan sebelum seorang gadis bernama Sienna Ivy masuk ke hidupnya.
Bagi Neo, Sienna adalah kekacauan yang berbeda. Sebuah kekacauan yang membuatnya ingin berubah.
Dan kini, dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya akan dikirim ke Swiss jauh dari Sienna, jauh dari satu-satunya alasan yang masih membuatnya merasa hidup.
Sienna tidak terima. "Biar aku yang atur strateginya. Kamu nggak boleh pergi, Neo!"
Neo hanya bisa tersenyum kecil melihat gadis itu begitu gigih memperjuangkannya.
Tapi, bisakah mereka benar-benar melawan takdir?
Yuk, kawal Neo-Siennaꉂ(ˊᗜˋ*)♡
Update tiap jam 14.59 WIB
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CYTT(Part 18) Raja Sekolah dan Aturan Tak Tertulis
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Di salah satu taman mini di Everest Academy, suasana yang seharusnya tenang justru dipenuhi dengan ketegangan. Sekelompok gadis berdiri melingkari seorang siswi yang terduduk di atas tanah, tatapan mereka penuh intimidasi.
"Lo makin berani, ya?" suara tajam seorang gadis terdengar jelas. Dialah Amara Evangeline, pacar Max, sekaligus salah satu siswi paling berpengaruh di sekolah. "Gue udah bilang, jangan coba-coba deketin Max!"
Gadis yang terduduk itu adalah Luna Elise. Dengan napas sedikit tersengal, dia menatap Amara, berusaha menjelaskan meskipun tahu itu percuma. "Aku nggak ada niat buat deketin Max, tapi aku memang ada keperluan sama dia," ucapnya dengan suara berusaha tegar.
Amara menyipitkan matanya, sinis. "Lo pikir gue bakal percaya omong kosong lo?"
Dia melirik sekilas ke arah teman-temannya, memberi isyarat halus. Dalam sekejap, salah satu dari mereka mengangkat ember berisi air dan mengguyurkannya ke tubuh Luna.
Byuur!
Luna tersentak, napasnya memburu saat air dingin menyelimuti tubuhnya. Namun, sebelum dia sempat bereaksi, segenggam tepung langsung ditaburkan ke arah kepalanya, membuatnya terlihat berantakan.
Tawa puas terdengar dari geng Amara.
Bagi Amara, Luna bukan sekadar gadis biasa. Dia adalah anak dari asisten pribadi orang tua Max, yang berarti sering berinteraksi dengan Max. Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima Amara.
Secara fisik, Luna memang cantik. Ditambah lagi, dia dikenal sebagai gadis terpintar di sekolah. Amara takut, takut jika Max pada akhirnya melihat Luna lebih dari sekadar anak asisten.
Apalagi kejadian tadi malam masih membakar hatinya. Max tiba-tiba membatalkan rencana kencan mereka dengan alasan ada urusan mendadak. Tapi setelah diselidiki, ternyata keluarga Max tengah mengadakan makan malam bersama keluarga Luna.
Sebagai pacar, mana mungkin Amara tidak cemburu?
Dan inilah cara dia menyalurkan rasa frustrasinya, dengan memastikan Luna tahu tempatnya.
"Ternyata di sekolah elit masih ada ya pembullyan," suara asing tiba-tiba memecah tawa Amara dan teman-temannya, membuat mereka semua refleks menoleh.
Amara menyipitkan matanya, menatap pemuda yang kini berdiri tak jauh dari mereka. Sosok asing dengan aura dingin dan tatapan tajam yang seketika membuat suasana berubah.
"Siapa lo?" tanyanya, bingung sekaligus terganggu. Dia yakin belum pernah melihat pemuda ini sebelumnya.
Yang ditanya hanya menatapnya datar, sama sekali tidak terpengaruh oleh sorot mata tajam Amara. "Nggak penting lo tahu siapa gue. Mending lo pada bubar."
Ucapan itu sukses membuat atmosfer semakin tegang.
Amara mengangkat dagunya, ekspresinya jelas menunjukkan ketidaksenangan. "Lo pikir lo siapa, berani-beraninya ngusir gue?"
Ada nada penekanan dalam suaranya, mencerminkan posisinya di sekolah ini. Namun, bukannya gentar, pemuda itu justru tersenyum tipis.
Dialah Neo.
Inilah alasan mengapa dia mengurungkan niatnya untuk langsung menuju kelas. Sejujurnya, Neo cukup terkejut dengan pemandangan di depannya, tetapi entah mengapa ada dorongan kuat dalam dirinya untuk menghentikan aksi bullying yang sedang berlangsung.
Tanpa ragu, dia mengangkat ponselnya, memperlihatkan layar yang menampilkan rekaman kejadian barusan. Dengan ekspresi santai namun penuh tekanan, dia berbicara, "Setahu gue, sekolah ini punya aturan yang jelas tentang bullying. Jadi kalau lo semua nggak mau ketahuan, lebih baik pergi sekarang sebelum video ini gue kirim ke pihak sekolah. Atau kalau perlu, gue viralin sekalian."
Ucapan Neo sukses membuat Amara menggeram pelan, rahangnya mengatup kuat. Dia menatap Neo tajam, seolah mencoba menilai seberapa serius ancaman itu. Sementara teman-temannya mulai saling bertukar pandang, jelas terlihat kebingungan dan kecemasan di wajah mereka.
Neo tetap berdiri di tempatnya, ekspresinya tenang namun tegas. Dia tidak main-main, dan Amara pun bisa melihatnya dengan jelas.
Amara pergi tanpa mengatakan apa pun, meninggalkan Neo dan Luna dalam keheningan. Setelah kepergiannya, Neo melirik ke arah Luna yang masih terduduk di tanah. Bahunya tampak bergetar pelan, jelas menunjukkan bahwa dia sedang menahan perasaannya.
Neo menghela napas, lalu tanpa banyak bicara, dia mengeluarkan hoodie dari dalam tasnya dan menyodorkannya pada Luna. "Kalau lo nggak mau terus-terusan diginiin, lawan. Jangan cuma diam aja," ucapnya dengan nada datar.
Luna menatap Neo dengan penuh keterkejutan. Selama ini, tidak ada seorang pun yang pernah membelanya, bahkan Max sekalipun.
Perlahan, dia menerima hoodie yang disodorkan Neo, jemarinya sedikit gemetar. Tatapannya yang semula dipenuhi keterkejutan kini berubah lembut, seolah ada secercah harapan yang baru saja muncul.
"Terima kasih," ucapnya pelan.
Tanpa menanggapi, Neo langsung berbalik dan melangkah pergi. Dia harus segera menuju kelasnya. Sementara itu, Luna tetap di tempatnya, memperhatikan punggung Neo yang semakin menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangannya.
Neo berjalan menyusuri koridor, melewati deretan kelas satu per satu hingga langkahnya tiba-tiba terhenti. Kali ini bukan karena rasa penasaran, melainkan karena tiga pemuda yang sengaja menghadang jalannya.
"Jadi lo," suara berat itu terdengar tajam.
Neo menatap sosok di depannya. Maxwell Vincent, dengan kedua sahabatnya, Liam Everett dan Miles Theodore, berdiri di kedua sisi, seakan memastikan bahwa Neo tidak bisa begitu saja melewati mereka.
Alih-alih menjawab, Neo hanya menaikkan sebelah alisnya, menunggu kelanjutan dari pemuda itu.
"Oke, hari ini gue maklumi, tapi besok tidak ada lagi yang namanya kompensasi," lanjut Max dengan nada datar, meski jelas terdengar penuh peringatan.
Neo mengerutkan kening. "Maksud lo?" tanyanya akhirnya.
Max melipat tangan di depan dada. "Tempat lo parkir tadi, itu tempat gue. Jadi besok, pastikan mobil lo tidak ada di sana," ucapnya tegas, sorot matanya tajam menusuk.
Suasana di sekitar mereka terasa menegang. Beberapa siswa yang lewat sengaja memperlambat langkah, penasaran dengan apa yang terjadi. Namun, Neo tetap tenang, menatap Max tanpa sedikit pun gentar.
Neo menatap Max tanpa ekspresi, seolah peringatan itu tidak berarti apa-apa baginya. Bibirnya sedikit tertarik ke samping, membentuk senyum tipis yang sulit diartikan.
"Gue baru tahu kalau di sekolah ini ada aturan nggak tertulis soal parkiran," ucap Neo santai, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Liam dan Theo saling bertukar pandang, lalu kembali menatap Neo dengan sorot penuh kewaspadaan. Mereka jelas tidak menyukai sikap acuh tak acuh Neo terhadap peringatan Max.
Max, di sisi lain, masih berdiri tegak, matanya mengunci tajam ke arah Neo. Dia sudah terbiasa dengan orang-orang yang tunduk pada otoritasnya di Everest Academy. Namun, Neo berbeda. Pemuda ini sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda takut atau terintimidasi.
"Di sekolah ini, semua orang tahu mana yang boleh dan mana yang nggak," lanjut Max, suaranya tetap tenang, namun ada ketegasan yang tidak bisa diabaikan. "Kalau lo paham, besok lo bakal parkir di tempat lain."
Neo tertawa kecil, nada meremehkan jelas terdengar. "Kita lihat aja besok," katanya singkat.
Lalu, dengan santai, dia menambahkan, "Kalau lo mau tempat itu, datang lebih pagi." Tanpa menunggu reaksi, Neo melangkah melewati Max dan kedua sahabatnya.
Liam dan Theo refleks bergerak, seolah hendak menghadang Neo lagi, tetapi Max mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka tidak bertindak gegabah.
"Hari ini kita biarin," ucap Max pelan, matanya tetap mengikuti punggung Neo yang semakin menjauh. "Tapi besok, kalau dia masih bandel, kita ajarin dia cara main di Everest Academy."
Liam menyeringai kecil. "Gue suka ide itu."
Sementara itu, Neo melanjutkan langkahnya menuju kelas. Dia bisa merasakan tatapan banyak siswa yang diam-diam mengamati konfrontasinya dengan Max. Namun, dia tidak peduli.
Satu hal yang dia tahu, Everest Academy mungkin punya raja. Tapi itu tidak berarti dia harus tunduk.
Dan jika Max ingin bermain api, Neo siap menyalakan apinya lebih besar.
»»——⍟——««
Hallo semua✨
Sebelum makasih udh mampir🐾
Buat yg suka cerita aku mohon dukungannya ya, biar aku semangat updatenya💐
Dan jangan lupa follow akun ig aku @nuna.leo_ atau akun tiktok aku @im.bambigirls. Karena disana aku bakal post visual dan beberapa cuplikan.
Oke see you semua!(◠‿◕)