Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11: Areum.
Udara pagi di wilayah Mapo masih segar, dengan sinar matahari yang baru saja menelusup dari celah tirai kamar seorang gadis muda. Min Areum membuka matanya perlahan, dan seperti biasa, hal pertama yang ia lakukan adalah meraih ponselnya di nakas samping tempat tidurnya.
06.14 a.m.
Areum mendesah pelan. Hari ini seperti hari-hari lainnya—tenang, sederhana, dan penuh rutinitas yang membuatnya merasa memiliki kendali atas hidupnya. Ia duduk di pinggir ranjang, membenarkan kuncir rambutnya yang sedikit longgar, lalu berdiri dan membuka tirai. Langit pagi Seoul tampak pucat biru, belum terlalu ramai. Ia menyukai jam-jam ini, ketika dunia belum sepenuhnya terjaga.
Setelah mencuci wajahnya, Areum langsung turun ke bawah untuk sarapan sebelum pergi bekerja. Di meja makan bawah, aroma miyeok-guk—sup rumput laut buatan ibunya, Nam Hyerin—sudah menyambut dari dapur.
“Bangun juga akhirnya,” gumam suara wanita dari balik kompor. Tanpa menoleh, sang ibu tetap sibuk mengaduk panci. Areum hanya tersenyum kecil dan duduk sambil menyeruput air hangat.
“Selamat pagi, Eomma,” ujarnya ringan. Namun hal itu malah membuat sang ibu mendesah, kali ini dengan suara yang terdengar seperti campuran kesal dan lelah.
“Kamu tahu Eomma masih tidak setuju kamu bekerja, kan?” ujarnya sembari membawa semangkuk sup untuk sang putri. Areum tak menjawab, hanya menunduk. Bukan karena menyesal, tapi karena sudah terlalu sering mendengar hal yang sama.
“Eomma hanya ingin kamu lanjut S2. Kamu pintar, Areum. Nilaimu cukup, dan kamu punya banyak peluang... tapi kamu memilih jadi kasir di café.” Nada sang ibu terdengar lembut, tapi jelas mengandung ketidaksetujuan yang belum padam sejak dulu.
“Aku tahu, Eomma...” Areum berbisik pelan, jemarinya menggenggam sendok yang mulai terasa dingin. “Aku hanya ingin hidup mandiri, belajar mencari uang sendiri. Bukan karena aku merasa kurang dari kalian, tapi karena aku merasa aku harus mulai mencari jalanku sendiri.” lanjut nya.
Suasana mendadak hening. Hanya terdengar suara detik jam di ruang tamu dan desis lembut dari panci yang masih di atas kompor. Lalu, suara berat, tenang, dan hangat masuk ke percakapan mereka.
“Kalau Areum sudah yakin, biarkan saja, Hyerin. Bukankah kita selalu bilang, anak bukan boneka? Dia harus hidup sebagai dirinya sendiri. Selama dia nyaman, kita harus mendukungnya,” ujar sang ayah, Min Taesik, yang datang dari ruang tengah sambil duduk dengan koran pagi di tangannya.
Taesik tersenyum ringan pada Areum, seakan mengatakan lewat matanya: Appa di pihakmu, anakku. Sang ibu hanya menggeleng pelan, lalu kembali ke dapur.
“Terserah kalian berdua. Tapi jangan lupa pakai sunscreen, Areum. Matahari makin jahat akhir-akhir ini,” ujarnya meski nada suaranya masih kesal. Namun, tak bisa dipungkiri—di balik keluhan kecilnya, ada kasih sayang yang begitu nyata. Hal itu membuat Areum terkekeh pelan.
“Iya, eomma. Gamsahamnida,” ujarnya lembut sambil tersenyum.
Sang ayah ikut tersenyum kecil, matanya menatap kedua wanita itu dengan penuh kehangatan.
Pagi mereka berakhir dengan canda ringan dan kehangatan sederhana, namun di hati Areum, ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan—sebuah rasa yang samar, seperti campuran antara rindu dan kekhawatiran yang belum sempat ia pahami.
Setelah selesai sarapan, ia naik ke lantai atas untuk berganti pakaian. Tidak butuh waktu lama; hanya celana bahan hitam, blus putih sederhana, dan cardigan abu-abu yang selalu jadi andalannya saat udara pagi masih menggigit. Rambutnya ia ikat rapi ke belakang, dan sedikit parfum beraroma citrus ia semprotkan ke pergelangan tangan.
Sebelum keluar kamar, Areum menatap pantulan dirinya di cermin besar di sudut ruangan.
“Kau bisa, Areum. Hari ini akan baik-baik saja…” bisiknya pada dirinya sendiri—kebiasaan kecil yang selalu ia lakukan setiap pagi.
Dia turun membawa tas kecil berisi dompet, ponsel, dan botol air. Sang ayah masih duduk di meja makan, membaca kolom opini di koran sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya. Sementara itu, sang ibu sibuk mencuci piring, tapi tetap sempat melirik Areum yang berpamitan sambil mengenakan sepatu di dekat pintu.
“Aku berangkat dulu, Eomma, Appa... jumpa nanti malam,” ujar Areum sambil tersenyum, tangannya sibuk mengencangkan tali sepatu.
“Hati-hati di jalan,” jawab sang ayah lembut.
“Jangan lupa makan siangmu, ya,” tambah sang ibu—setengah ketus, setengah penuh sayang. Areum hanya mengangguk cepat.
“Nae, arasseo,” jawabnya, lalu melangkah keluar dari rumah yang telah ia tinggali sejak kecil. Rumah dua lantai itu mungkin sederhana, tapi selalu terasa hangat—kontras dengan hiruk-pikuk kota Seoul di sekitarnya.
Sesekali Areum menoleh ke belakang, menatap rumahnya yang mulai tertelan cahaya pagi. Senyum kecil tersungging di wajahnya. Walau kadang ibunya menyebalkan, aku tetap beruntung punya mereka… pikirnya pelan sebelum akhirnya melangkah ke arah halte bus yang sudah menunggu di ujung jalan.
Udara luar langsung menyambut begitu Areum membuka pintu langit masih pucat, dan angin pagi mengusap pipinya dengan dingin yang tidak terlalu menusuk. Ia berjalan melewati gang kecil di perumahan Mapo, menuju stasiun subway terdekat. Langkahnya ringan, tapi pikirannya tidak sepenuhnya tenang.
Beberapa pelanggan tetap mungkin akan datang hari ini, dan ada shipment bahan baku yang biasanya telat. Ditambah, kemarin supervisor-nya bilang seseorang dari kantor pusat akan datang dalam waktu dekat untuk evaluasi layanan.
Setelah menempuh perjalanan cukup panjang dari rumah hingga ke café tempatnya bekerja, Areum akhirnya sampai. Udara pagi di kawasan Mapo sudah mulai ramai, aroma kopi dan roti panggang bercampur dengan suara langkah para pekerja yang berlalu-lalang. Seperti biasanya, saat ia datang, sudah ada beberapa pegawai yang datang lebih dulu—terutama San-ha dan juga Lisa, yang sedang duduk di bagian belakang café sambil sarapan.
“Pagi, Oppa, Eonni,” sapa Areum ceria sambil ikut duduk di depan pria dan wanita yang usianya tak jauh darinya itu.
“Pagi, Areum-ssi,” balas Lisa sambil tersenyum tipis, suaranya lembut tapi terdengar sedikit letih.
“Irene Eonni belum datang? Tumben,” tanya Areum sambil menatap keduanya bergantian.
“Irene... dia izin karena flu. Aku tidak tahu banyak, tapi aku dengar keadaan café ini sedang agak goyah di beberapa cabang,” ujar Lisa dengan nada khawatir.
“Jinjja?” San-ha langsung mendongak, alisnya bertaut.
“Aku tidak menyangka. Padahal aku baru masuk kerja... ini terlalu cepat,” gumamnya pelan. Areum menarik napas kecil, lalu mengaduk air putih di gelasnya dengan sendok kecil.
“Aku sudah baca semuanya. Itu hanya karena satu kesalahan di cabang pusat Café Seoul. Aku dengar baristanya sempat memarahi anak kecil, dan videonya viral,” ucapnya perlahan. San-ha dan Lisa sama-sama mengangguk, ekspresi mereka mencerminkan rasa cemas yang sama.
“Semalam Ji-sung-sajangnim sudah memberikan arahan pada seluruh karyawan untuk memulihkan rating di aplikasi,” ujar Lisa, suaranya terdengar datar, “tapi aku rasa itu tidak akan banyak membantu. Publik sudah terlanjur kecewa.” lanjut nya yang membuat San-ha mendengus pelan sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Ya… aku rasa begitu juga. Aigoo, satu kesalahan kecil bisa bikin efeknya sebesar ini. Kalau terus begini, kita bisa kehilangan pekerjaan.” ujar nya yang membuat Lisa ikut menghela napas.
“Aku dan Taeyoon-sajangnim juga sudah bicara soal itu. Kami benar-benar kecewa dengan staf di cabang pusat. Karena ulah satu orang, semua cabang kena imbasnya. Bahkan pelanggan tetap pun mulai berkurang.” ujar nya yang membuat Areum hanya menunduk pelan, matanya menatap gelas di depannya. Sendok kecil di tangannya terus berputar, menciptakan suara dentingan halus. Ada rasa getir yang muncul di dadanya—perasaan takut sekaligus sedih.
Café ini baru saja terasa seperti rumah kedua… tapi sekarang, semuanya bisa hilang begitu saja karena satu kesalahan yang bahkan bukan milikku, batinnya pelan. Udara pagi yang semula hangat kini terasa berat di dada Areum, seolah ikut menyerap kekhawatiran yang menggantung di udara.
“Kita bekerja keras setiap hari, tapi satu tindakan gegabah dari orang lain bisa menghancurkan semuanya...” gumam Areum lirih, lebih pada dirinya sendiri Lisa menatapnya, kali ini dengan ekspresi yang lebih lembut.
“Kau salah satu staf paling rajin di sini, Areum-ssi. Bahkan beberapa pelanggan tetap menyebutkan namamu dalam review di tengah guncangan review buruk. Aku pikir... kalau ada satu cabang yang bisa jadi ‘penyelamat’, itu cabang kita.” Ujar Lisa yang membuat San-Ha menyeringai kecil, mencoba mengusir awan gelap dari kepala mereka bertiga.
“Kalau begitu, kita harus bekerja dua kali lebih keras, ya? supaya nanti Ji-Sung-sajangnim datang sendiri dan bilang, ‘Terima kasih sudah menyelamatkan reputasi kami!" ucapnya sambil berpose dramatis hal itu jelas membuat Areum dan Lisa tertawa pelan, meski nada hatinya masih berat.
“Kau terlalu banyak nonton drama, Oppa.” ujar Areum sembari tersenyum tipis.
“Tapi aku serius,” lanjut San-Ha. “Kalau reputasi café ini pulih karena cabang kita, bukan tidak mungkin mereka akan... memperhatikan kita lebih. Promosi, bonus, siapa tahu... dipanggil ke kantor pusat.” ujar San-ha yang membuat Lisa mengangguk pelan.
“Atau… ke rumah pribadi pemiliknya. Aku dengar keluarga Park terkenal ramah pada karyawan yang royal,” ujar Lisa setengah berbisik. Nada suaranya terdengar seperti bercanda, tapi ada sesuatu di matanya saat melirik Areum—seperti rasa ingin tahu yang belum diucapkan.
“Itu benar. Aku dengar ada beberapa karyawan yang pernah diajak ke sana karena hasil kinerjanya benar-benar bagus dan berdampak besar untuk café ini,” timpal San-ha sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Karena kabarnya juga, Ji-sung sajangnim sendiri yang memantau data cabang setiap malam. Dan cabang kita—khususnya kamu, Areum-ssi—sedang naik daun akhir-akhir ini,” ujar Lisa, kali ini lebih serius. Areum sempat membeku. Tatapannya jatuh ke meja, dan jari-jarinya saling menggenggam tanpa sadar.
“Jangan bercanda seperti itu, Eonni…” ucapnya dengan senyum canggung, tapi rona merah sudah mulai merayap di pipinya tanpa bisa dicegah. Lisa menatapnya lebih dalam, bibirnya melengkung kecil.
“Ini bukan bercanda, jinjja. Kamu bisa lihat sendiri di forum-nya. Banyak karyawan yang berdedikasi tinggi diajak ke kediaman keluarga Park. Mereka memang terkenal sangat memperhatikan pekerja yang mereka anggap loyal,” jelasnya yang membuat San-ha ikut mengangguk, lalu membuka ponselnya.
“Iya, ini buktinya. Lihat, Areum-ah.” Ia menyodorkan layar ponselnya ke arah Areum. Gadis itu menatap layar beberapa detik. Tulisan di forum internal café itu jelas menyebutkan nama beberapa karyawan yang pernah mendapat undangan pribadi ke rumah keluarga Park. Areum menelan ludah pelan.
“Aigoo…” gumamnya lirih. Ia menunduk, berusaha menghindari tatapan kedua rekan kerjanya.
“Kalau rating café ini bisa cepat pulih, bisa jadi kita karyawan selanjutnya yang dipanggil ke sana,” ujar San-ha dengan nada penuh semangat.
Areum tidak menanggapi. Ada rasa aneh di dadanya—antara bangga, gugup, dan sedikit tidak nyaman. Ia hanya mengaduk air minumnya perlahan, seolah sedang menenangkan diri dari sesuatu yang bahkan ia tak tahu pasti apa.
Di tengah obrolan mereka, suara cling! dari lonceng pintu tiba-tiba terdengar. Mereka semua menoleh refleks.
Eh? pikir Areum, alisnya berkerut. Padahal café belum sepenuhnya buka. Tanpa menunggu lama, Areum yang paling sigap segera bangkit.
“Aku urus,” ucapnya singkat sambil melangkah cepat ke arah pintu depan.
Seorang wanita paruh baya berdiri di sana, mengenakan mantel krem dan membawa seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar lima tahun yang menggenggam tangan ibunya erat.
Areum belum sadar siapa wanita itu, begitu pun San-ha dan Lisa yang ikut menatap dari kejauhan. Mereka semua berpikir, itu hanya pelanggan biasa yang datang terlalu pagi—tanpa tahu bahwa wanita tersebut… adalah pelanggan yang dulu berhasil menurunkan rating café mereka.
Wanita itu menatap sekeliling dengan alis sedikit terangkat, seolah interior café yang hangat dan bersih pun belum cukup memuaskan matanya. Ia tidak membalas salam Areum, hanya mengangguk kecil—kalau itu bisa disebut anggukan. Anak laki-lakinya, yang tampaknya tidak mengerti apa-apa, justru tersenyum malu pada Areum dari balik kaki ibunya Areum tetap tersenyum ramah, posturnya tegak di balik meja kasir.
“Sonnim ingin memesan sesuatu? Kami baru akan membuka layanan penuh sepuluh menit lagi, tapi jika ingin menunggu, kami bisa siapkan minuman terlebih dahulu.” ujar Areum sopan tapi wanita itu mendengus pelan, nada suaranya berat dan penuh penilaian saat akhirnya berbicara.
“Seharusnya café yang katanya terkenal ini buka lebih awal. Di tempat lain, bahkan sebelum pukul tujuh, pelanggan sudah bisa duduk dan dilayani.” ujar nya terdengar cukup kasar dengan suara yang cukup tinggi bagi orang yang hanya sedang bicara santai, bahkan Lisa dan San-Ha yang masih duduk di belakang meja dapur saling melirik. San-Ha sudah bersiap berdiri, tapi Lisa menyentuh lengannya—membiarkan Areum yang menghadapi wanita itu Areum menunduk singkat, sopan, tapi matanya tetap tenang.
“Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, sonnim. Kami akan segera mempersiapkan semuanya. Jika berkenan, kami bisa siapkan duduk untuk Anda dan putra Anda terlebih dahulu.” ujar Areum yang membuat wanita itu menyipitkan mata.
“Kau kasir, ya? Hmm... lebih baik pelayananmu tidak seperti yang di cabang utama. Aku sudah cukup kecewa di sana pelayanan nya sangat buruk dan semua ulasan bagus itu seperti bayangan saja, tapi di sini cukup baik.” ujar nya yang membuat Areum sempat membeku sepersekian detik, dalam hati nya dia berpikir apakah wanita ini yang telah membuat ratting Cafe jadi jelek tapi ia cepat menguasai diri. Ini dia, batinnya. Sosok di balik ulasan yang beberapa Minggu ini mereka diskusikan.
“Saya mengerti, sonnim. Kami mendengar tentang insiden di cabang utama, dan sangat menyesal Anda harus mengalami hal seperti itu. Tapi kami akan berusaha memberikan pelayanan terbaik di sini.” ujar Areum sembari tersenyum lembut membuat wanita itu menatapnya lebih lama, seolah mencari celah dari ketulusan Areum.
“Kita lihat saja. Aku tahu mana yang benar-benar profesional, dan mana yang cuma bersikap manis di depan.” ujar nya dan Areum tetap tersenyum, kali ini lebih lembut—nyaris tak terbaca, tapi tidak kalah kuat.
“Tentu, sonnim. Silakan duduk. Kami akan segera menyusul dengan menu anak dan teh panas untuk Anda.” ujar Areum lagi sedangkan Lisa melirik ke arah Areum dari balik dapur, matanya terbelalak sedikit.
“Itu... dia?” bisiknya ke San-Ha, dan San-Ha hanya mengangguk pelan.
"Seperti nya iya... Ayo kembali bekerja... hari ini kita bekerja lebih keras, semoga saja semuanya segera membaik," ujar San-ha dan Lisa mengangguk mendengar itu lalu kembali ke posisi nya masing masing. Karena beberapa pelanggan lain sudah mulai datang dan karyawan karyawan lain juga sudah memenuhi kafe tersebut.
Areum kembali ke meja kasir dengan langkah cepat namun tetap tenang. Tangannya sigap membuka laci, menyiapkan nota, mengecek sistem POS. Beberapa pelanggan sudah mulai berdatangan, suara lonceng pintu terus berbunyi bersahutan. Udara pagi yang tadinya sunyi kini mulai berganti dengan suara campur aduk—alat pembuat kopi berdengung, gelas saling beradu, dan suara-suara pesanan yang diserukan dengan cepat.
San-Ha dengan celemeknya yang sudah sedikit berantakan mulai menangani daftar minuman yang makin panjang. Lisa sibuk melayani take-away dan menyiapkan bakery untuk display. Tapi dari balik kesibukan itu, mereka tetap sesekali melirik ke satu sudut—tempat wanita paruh baya itu duduk, memegang cangkir teh panas yang baru saja diantarkan Areum.
“Sonnim, ini teh hangatnya. Kami juga akan segera menyiapkan menu untuk anak-anak.” ujar Areum membungkuk kecil, senyumnya tetap sopan. Si ibu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, tapi tatapannya masih menusuk seperti detektor kesalahan. Areum tak mempermasalahkan. Dia melanjutkan pekerjaannya, menyapa pelanggan berikutnya yang sudah berdiri di depan kasir.
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” ujar Areum tetap ramah dan sopan.
“Saya mau dua iced vanilla latte, dan satu roti keju.” ujar si pelanggan dengan senyum tipis.
“Baik, mohon ditunggu sebentar. Pembayarannya bisa dilakukan di sini, ya.” Suara Areum ringan, efisien. Senyumnya tak hilang. Tapi di balik wajah tenang itu, pikirannya terus berputar. Ia sadar—setiap gerak-geriknya saat ini sedang diawasi. Bukan oleh atasan. Tapi oleh seorang pelanggan yang diam-diam bisa menentukan citra tempat ini hanya dengan satu kalimat di internet.
Waktu terus berjalan. Jam menunjukkan pukul 08.45, dan café sudah hampir penuh. Kesibukan meningkat, tapi suasana tetap terkendali—hangat, hidup, dan teratur. Di tengah hiruk-pikuk itu, satu pelanggan masih duduk diam di sudut ruangan, menatap sekeliling dengan sorot mata yang sulit dibaca.
Areum sempat berpikir, mungkinkah wanita itu benar-benar sengaja mendatangi setiap cabang hanya untuk menjatuhkan reputasi café milik atasannya? Ia masih mengingat jelas komentar wanita itu yang muncul di hampir semua forum dan ulasan cabang lain.
Sambil menghela napas, Areum keluar dari area kasir untuk membantu mengantar pesanan ke meja luar. Di café ini, sistem kerja mereka cukup fleksibel; meskipun ia kasir, kadang ia ikut membantu pelayan saat pelanggan sedang ramai.
“Silakan, selamat menikmati,” ujarnya ramah pada sepasang kekasih yang duduk di area luar. Namun sekejap kemudian, senyumnya lenyap.
Sorot matanya membesar saat melihat anak laki-laki berusia lima tahun—anak dari wanita paruh baya tadi—berjalan sendiri ke arah jalan raya. Wanita itu tampaknya tidak sadar jika putranya keluar tanpa pengawasan.
Areum nyaris tak sempat berpikir. Yang ia lihat hanyalah tubuh mungil itu melangkah menjauh, mendekati tepi trotoar, lalu keluar ke badan jalan.
“Anak itu...!” lirihnya panik.
“Aigoo, eotteoke!” serunya tanpa ragu.
Areum berlari dari area luar café, menyebrangi dua meja, lalu menuruni anak tangga kecil menuju pinggir jalan. Klakson mobil terdengar sayup—suara yang membuat jantungnya berdegup kencang.
Anak itu berdiri mematung, panik setelah menyadari dirinya sendirian di tengah aspal. Sebelum sesuatu yang buruk terjadi, Areum sudah memeluknya dari belakang dan menariknya ke sisi aman. Tubuhnya sendiri hampir jatuh terdorong oleh tenaganya yang berlebihan.
“Ya, gwaenchana?” bisiknya tergesa sambil memeluk tubuh kecil itu erat-erat. Anak itu menangis pelan, bahunya bergetar, wajahnya basah oleh ketakutan yang baru saja lewat begitu dekat.
“Jebal, jangan menangis... kamu sudah aman sekarang,” ujar Areum lembut, suaranya bergetar.
Suasana café sontak berubah. Semua pengunjung berhamburan keluar, sebagian berseru panik, sebagian lagi menatap dengan lega. Wanita paruh baya itu keluar dengan langkah cepat, wajahnya pucat pasi saat melihat anaknya dipeluk Areum di pinggir trotoar.
“Jiwon?! YA—APA YANG KAU LAKUKAN DI LUAR?!” teriaknya panik, hal itu Areum menoleh. Ia berdiri perlahan, masih mengapit tubuh kecil anak itu agar tidak lari lagi.
“Sonnim... mohon maaf, saya lihat Jiwon berjalan keluar sendirian. Sepertinya Anda belum menyadarinya. Tapi dia sudah aman sekarang.” Suaranya tetap lembut. Tidak ada tuduhan. Hanya laporan wanita itu terdiam sejenak, masih terengah. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menurunkan nada suaranya.
“Kau... terima kasih,” katanya akhirnya nadanya masih tinggi, tapi kali ini bukan karena marah—melainkan karena gugup dan malu Areum menyerahkan anak itu dengan lembut, menepuk punggungnya sekali sebelum mundur perlahan.
“Dia baik-baik saja. Tidak ada yang terluka.” ujar Areum yang membuat wanita itu memeluk putranya, matanya sempat menatap Areum lagi. Tatapan yang tadinya penuh penilaian kini mengendur, nyaris seperti... hormat.
"Mari kembali ke dalam," ujar Areum menunduk sopan lalu berjalan kembali ke Cafe, dengan perasaan sedikit lega karena berhasil menyelamatkan nyawa seorang anak yang bisa saja terluka jika dia terlambat.
Suasana cafe kembali kondusif semua orang menikmati waktu santai mereka di cafe tersebut dan areum serta yang lain nya bekerja melayani pelanggan seperti biasanya.
•••
Sementara itu, di tempat lain—sudah lebih dari seminggu sejak kejadian ketika Jihoon menampar Yoonjae. Hubungan kakak beradik itu semakin renggang. Jihoon yang dulu dikenal bijaksana kini memilih menjaga jarak, sementara Yoonjae tetap dengan sifat keras kepala yang sulit dikendalikan.
Sudah sembilan hari Jihoon tidak pulang ke rumah. Ia memilih tinggal di apartemennya sendiri. Rumah keluarga Kim kini tak lebih dari bangunan sepi yang kadang hanya dihuni oleh Minjoon dan beberapa pelayan. Yoonjae pun jarang pulang, tenggelam dalam kesibukannya sebagai dokter di rumah sakit.
“Aku benar-benar merasa seperti anak yatim piatu sekarang. Sudah tidak punya ibu, ayah... dan kini dua kakakku pun entah ke mana,” gumam Minjoon lirih, menatap ruang tamu kosong yang hanya diterangi cahaya lampu gantung. Suaranya serak, nyaris tenggelam oleh sunyi.
Bukan berarti ia tak pernah mencoba memperbaiki keadaan. Sudah berkali-kali ia berusaha mendamaikan Jihoon dan Yoonjae, tapi setiap kali ia menyinggung soal itu, Yoonjae hanya diam atau mengalihkan pembicaraan. Sedangkan Jihoon—dengan kebanggaannya yang tinggi—jelas tak akan menjadi orang pertama yang meminta maaf.
Dengan langkah berat, Minjoon menaiki tangga menuju kamarnya. Di dinding tangga, tergantung sebuah foto keluarga besar dalam bingkai kayu. Ada wajah kedua orang tua mereka, Jihoon, Yoonjae, dan dirinya—foto yang diambil saat ibu mereka sedang mengandung adik bungsu yang belum sempat lahir.
Minjoon berhenti di depan foto itu cukup lama. Matanya menatap dalam, seolah mencari sesuatu di balik senyum lama yang kini hanya tinggal kenangan.
“Ara... sebenarnya di mana kamu sekarang?” bisiknya lirih.
Keheningan menjawab, hanya suara jarum jam yang terdengar. Dan di rumah besar keluarga Kim itu, kesepian kembali menggema—pelan, tapi menusuk hingga ke dada.