Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggung Meja Makan
Lalu dia menoleh lagi pada Haryo Bagaskara.
“Pak, aku yakin kau tidak akan tega menelantarkan anak kandungmu sendiri, kan?”
Haryo Bagaskara, yang sangat menjaga harga diri dan kebetulan memang tidak kekurangan uang, akhirnya berkata,
“Begini saja. Aku kasih kau dua ratus juta dulu. Sisanya nanti ayah simpan sebagai uang mahar untukmu.”
Laraswati Bagaskara hampir pingsan mendengarnya.
Shinta Bagaskara masih SMA. Diberi uang sebanyak itu, bukannya dipakai dengan benar, pasti malah dihambur-hamburkan. Bukankah itu buang-buang uang?
Dengan dua ratus juta, Dira bisa dapat beberapa set pakaian bermerek!
Ia ingin mencegah Haryo Bagaskara, tapi tatapan tajam suaminya membuatnya terpaksa menelan kembali protesnya.
Hatinya semakin dipenuhi kebencian pada Shinta. Diam-diam ia bersyukur karena dulu bayi mereka tertukar. Kalau tidak, Dira tak mungkin jadi putrinya sekarang.
Shinta menerima kartu itu tanpa basa-basi, lalu menyimpannya ke dalam saku.
Dua ratus juta memang belum banyak. Tapi ia tahu Haryo Bagaskara tidak akan memberinya lebih lagi untuk saat ini.
Selesai sarapan sederhana, Shinta keluar rumah sambil membawa kartu bank itu. Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya ke depan sebuah vila mewah.
“Kakek Winarta, Mas Fajar…” Shinta menatap vila di balik pagar besi, matanya langsung memerah.
Mereka adalah satu-satunya orang di dunia ini yang benar-benar tulus padanya. Tapi justru dirinya yang mengecewakan mereka. Sampai ajal menjemput, telinganya masih terngiang teriakan penuh rasa sakit dari Fajar Pramudya—baru saat itu ia benar-benar tersadar.
Untungnya… kali ini ia diberi kesempatan untuk mengulang segalanya.
Shinta tidak mengetuk pintu masuk. Ia hanya berdiri di luar selama hampir satu jam, sebelum akhirnya beranjak pergi.
Saat ia melangkah meninggalkan tempat itu, sebuah mobil melintas di sisinya.
Sosok Shinta sekilas terpantul di kaca, membuat Fajar Pramudya yang sedang menyetir mendadak merasa seperti melihat bayangan yang amat familiar.
Refleks ia injak rem dalam-dalam, membuka pintu mobil, lalu buru-buru keluar.
Namun, meski sudah mencari cukup jauh, ia tetap tidak menemukan sosok yang tadi sempat ia lihat.
Fajar memijit pangkal hidung, sedikit kesal.
“Sepertinya cuma halusinasi…” pikirnya. “Dia hanyalah wanita yang pernah muncul dalam mimpiku. Di dunia nyata… dia tidak akan ada.”
Ia kembali ke mobil, menyalakan mesin, lalu melajukan kendaraan pulang ke vila.
Begitu sampai, Kakek Winarta langsung menyambutnya dengan wajah serius sambil meniup jenggotnya.
“Fajar, kau sudah menyuruh orang mencarinya, kan?”
Dengan tenang, Fajar menggulung lengan bajunya. Ia mengambil gunting dari tangan Kakek Winarta, lalu memangkas rumput yang tumbuh terlalu tinggi.
“Dalam dua hari ini pasti akan ada kabar,” jawabnya santai.
Kakek Winarta tampak puas, mengangguk-angguk.
“Gadis itu, sekali lihat saja aku langsung suka. Dari wajahnya saja sudah kelihatan kalau dia anak baik. Kalau bukan karena dia, tubuh tuaku ini pasti sudah masuk tanah. Fajar, kalau nanti bertemu dengannya, jangan pasang wajah dinginmu itu. Bisa-bisa kau malah menakuti anak gadis orang.”
Cucu ini memang bagus dalam segala hal. Hanya saja, terlalu cuek, tidak peduli dengan apa pun.
Sama sekali mirip dengan gadis itu—dingin di luar, tapi dalam hati penuh keteguhan.
Mengingat itu, mata Kakek Winarta sedikit berkilat. Ia meneliti Fajar dari atas sampai bawah, lalu mengelus jenggotnya dengan tatapan penuh arti.
Memang benar cucunya jauh lebih tua… tapi pria yang lebih tua biasanya justru bisa lebih mengerti dan melindungi.
Lagipula, cucunya tampan, gadis itu cantik—kalau disatukan, pasti serasi sekali.
Semakin dipikir, Kakek Winarta makin yakin, hingga ia pun mengangguk-angguk dengan semangat.
“Fajar, kalau nanti kau berhasil menemukannya, ingat, bawalah dia pulang ke rumah.”
Gerakan tangan Fajar sempat terhenti. Ia mengernyit, tapi dalam hatinya, anehnya, tidak merasa keberatan.
---
Sementara itu, Shinta yang sudah meninggalkan vila keluarga Bagaskara, memilih mampir membeli beberapa setelan baju baru. Setelah itu ia menuju pusat komputer untuk memilih laptop, lalu sekalian membeli sebuah ponsel.
Begitu kembali ke rumah keluarga Bagaskara, tidak ada seorang pun yang peduli padanya. Laraswati dan Haryo tetap berdiam di kamar, sementara Dira hanya meliriknya dengan tatapan merendahkan, tanpa berkata sepatah kata pun.
Shinta sama sekali tidak terganggu. Ia malah merasa lebih bebas.
Masuk ke kamar, ia segera menutup pintu, lalu menyalakan laptop barunya. Tangannya lincah mengetik, membuka sebuah situs yang pernah ia temukan di kehidupan sebelumnya—situs khusus hacker yang terkenal dengan nama Black Empire.
Black Empire adalah tempat berkumpulnya para hacker top dari seluruh dunia. Situs itu terbagi menjadi dua bagian: forum untuk ngobrol, dan arena pertarungan—semacam game, tapi bedanya, target serangan bisa berupa simulasi virtual atau langsung sistem nyata yang benar-benar ada di dunia.
Di kehidupan lalu, Shinta pernah menemukan situs ini secara kebetulan, tapi saat itu ia tidak terlalu menghiraukannya.
Kini, ia segera mendaftar akun baru. Setelah selesai, ia langsung membuat postingan tantangan.
【SB: Menantang. Sekali duel, harga sepuluh juta.】
Kata-katanya singkat, dingin, penuh percaya diri.
Sepuluh menit berlalu tanpa ada yang merespons. Shinta pun keluar dari situs itu, lalu membuka laman portal finansial untuk memantau pergerakan saham.
Scroll… scroll… layar penuh data pasar berganti cepat, matanya menyapu dengan kecepatan luar biasa. Dalam waktu singkat, semua saham yang sudah tercatat di bursa berhasil ia teliti.
Kening halusnya sedikit berkerut.
“Tidak ada yang cukup menjanjikan…” gumamnya.
Ia memang hanya mengincar keuntungan besar, dan saham-saham yang ada belum memenuhi syarat.
Jari-jarinya mengetuk mouse ringan, layar pun berganti ke daftar saham yang akan segera IPO. Shinta dengan sabar menelusuri satu per satu.
Hingga akhirnya, di baris terakhir, matanya mendadak berhenti.
Saham ini… Shinta pernah dengar di kehidupan sebelumnya.
Begitu baru melantai di bursa, berbeda dari saham baru lainnya, harganya langsung jatuh bebas, anjlok parah sampai nyaris tak berharga.
Para investor panik dan ramai-ramai menjual, membuat saham itu jadi seperti barang buangan—tak ada yang mau ambil.
Namun, tiga hari kemudian, perusahaan tiba-tiba mengumumkan kabar besar. Harga saham itu pun langsung meroket gila-gilaan. Dalam waktu seminggu saja, nilainya melonjak delapan belas kali lipat.
Shinta menopang dagu, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.
Masih ada waktu seminggu sebelum saham itu resmi masuk bursa. Waktu yang cukup baginya untuk mengumpulkan modal.
Dan Black Empire adalah cara tercepat untuk menghasilkan uang.
---
Keesokan harinya, Shinta dibawa ke SMA Hastinapura Global School.
Di ruang guru, suasana panas. Wali kelas 12A dan kepala bidang sedang berdebat sampai wajah memerah.
“Aku tidak setuju Shinta Bagaskara masuk kelas A! Jangan sampai satu tikus merusak seluruh panci sup.”