Nama Ethan Cross dikenal di seluruh dunia sihir sebagai legenda hidup.
Profesor pelatihan taktis di Hogwarts, mantan juara Duel Sihir Internasional, dan penerima Medali Ksatria Merlin Kelas Satu — penyihir yang mampu mengendalikan petir hanya dengan satu gerakan tongkatnya.
Bagi para murid, ia bukan sekadar guru. Ethan adalah sosok yang menakutkan dan menginspirasi sekaligus, pria yang setiap tahun memimpin latihan perang di lapangan Hogwarts, mengajarkan arti kekuatan dan pengendalian diri.
Namun jauh sebelum menjadi legenda, Ethan hanyalah penyihir muda dari Godric’s Hollow yang ingin hidup damai di tengah dunia yang diliputi ketakutan. Hingga suatu malam, petir menjawab panggilannya — dan takdir pun mulai berputar.
“Aku tidak mencari pertempuran,” katanya menatap langit yang bergemuruh.
“Tapi jika harus bertarung… aku tidak akan kalah dari siapa pun.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zikisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 — Charms
Ethan berjalan mengitari seluruh kastil sebelum akhirnya kembali ke Aula Utama. Aroma roti panggang dan teh hangat memenuhi udara pagi, sementara matahari menembus jendela besar dan memantul di piring perak panjang meja Slytherin. Beberapa siswa sudah sarapan, jadi Ethan pun ikut duduk, merasa perutnya mulai kosong.
Belum sempat ia meneguk jus labu, suara familiar terdengar dari arah pintu.
“Ethan! Kukira kau belum bangun. Aku menunggumu di ruang bersama!” seru Agnes dengan wajah setengah kesal, setengah lega. Ia duduk di sampingnya dengan gerutuan kecil. “Kau bangun sepagi apa, sih?”
“Maaf,” jawab Ethan dengan nada menyesal. “Aku bangun lebih cepat dari biasanya. Jadi jangan khawatir lagi soal itu. Aku sudah terbiasa bangun pagi.”
Agnes mendengus, menyilangkan tangan. “Kalau kau tersesat, aku tak mau repot mencarimu. Untung ruang bawah tanah kita masih satu lantai di atas Aula Utama. Kalau tidak, aku pasti kebingungan.”
Ethan tersenyum kecil. “Tenang saja. Aku sudah hafal sebagian besar lorong dan tangganya. Bahkan sudah tahu di mana kelas pertama kita nanti. Ikut aku setelah sarapan, ya.”
Baru saja ia meneguk suapan kedua, kawanan burung hantu pos meluncur masuk dari langit-langit tinggi. Surat-surat beterbangan seperti hujan kertas, jatuh ke meja-meja panjang di seluruh Aula Utama. Seekor burung hantu cokelat menjatuhkan tiga surat di depan Ethan—dari Lily, Sirius, dan Tom.
Ia membuka satu per satu.
Surat dari Lily berisi ucapan selamat dan nasihat lembut agar tetap berhati-hati.
Sirius menulis dengan gaya khasnya—penuh tanya dan antusiasme: "Kau di Gryffindor, kan? Jangan bilang selain itu!"
Sementara Tom, seperti biasa, hanya menulis pendek tapi padat, seolah menguji kesabaran pembacanya.
Ethan tersenyum miring.
Maaf, Sir… kau pasti kecewa kalau tahu aku ada di Slytherin.
Seketika ia merasa aneh—campuran antara bangga dan canggung. Ia tahu bagaimana sebagian orang memandang Slytherin. Tapi baginya, pilihan topi seleksi bukan hal yang perlu disesali. Ia hanya perlu membuktikan sesuatu—dengan caranya sendiri.
Setelah menyimpan surat-surat itu di tas, Ethan dan Agnes bergegas menuju kelas pertama mereka: Mantra.
Kelas Mantra diadakan bersama siswa Gryffindor, yang langsung membuat suasana agak tegang. Bendera merah dan hijau berkibar berdampingan di dinding, seolah menantang satu sama lain.
Ethan sempat melihat Charles duduk di deretan depan. Temannya itu menoleh dan tersenyum kecil, mengangguk sebagai sapaan. Ethan membalasnya singkat sebelum memilih tempat duduk di sisi lain ruangan.
Bel berbunyi.
Pintu terbuka, dan Profesor Filius Flitwick melompat naik ke podium. Tubuhnya kecil—tak lebih tinggi dari meja—namun matanya berkilau penuh energi. Ia harus berdiri di atas tumpukan buku agar semua murid bisa melihatnya dengan jelas.
“Selamat pagi, semuanya!” katanya riang. “Hari ini kita akan mulai dengan dasar-dasar mantra levitasi, tapi sebelum itu… mari kita pelajari prinsip dasarnya terlebih dahulu.”
Sepanjang satu jam pertama, Flitwick menjelaskan teori sihir dasar dengan antusias. Namun bagi Ethan, semua itu terasa terlalu mudah. Ia sudah menguasai mantra-mantra dasar bahkan sebelum masuk sekolah. Sambil sesekali berpura-pura mencatat, ia menulis balasan surat di perkamen kecil di bawah meja.
Untuk Tom, ia menulis singkat: Aku baik-baik saja. Slytherin menarik, tapi agak… rumit.”
Untuk Lily dan Sirius, ia menceritakan sedikit tentang asrama, tentang Vanessa Greengrass, dan bagaimana sebagian orang masih menilai berdasarkan darah keturunan. Ia menutup surat dengan kalimat: “Mungkin, kehormatan tak selalu ditentukan warna syal yang kita pakai.”
Begitu ia selesai, Profesor Flitwick memulai sesi praktik.
“Sekarang, semua ambil bulu di depan kalian,” katanya sambil tersenyum. “Kita akan belajar Wingardium Leviosa—mantra untuk membuat benda melayang. Gerakannya sederhana, tapi presisi dan pengucapan menentukan keberhasilannya.”
Para siswa mulai mengayunkan tongkat masing-masing.
Agnes tampak berjuang keras, wajahnya memerah saat mencoba mengucapkan, “Wingardium Levio-sa!” dengan nada yang salah. Bulu di mejanya hanya bergeser sedikit, lalu jatuh diam.
Ethan menahan tawa kecil. “Bukan begitu nadanya,” gumamnya pelan. Tapi Agnes sudah keburu frustrasi.
Di sisi lain, Travers — yang duduk di barisan depan—berhasil membuat bulunya melayang setinggi bahu. Ia tersenyum puas, menerima tepuk tangan kecil dari teman satu asramanya.
Ethan melirik Profesor Flitwick yang mulai berkeliling. Ia tidak ingin terlihat malas, jadi mengangkat tongkat dan menatap bulu di depannya. Sambil menarik napas pelan, ia berbisik tanpa suara dan menggerakkan tongkat sedikit.
Bulu itu melayang dengan stabil, berputar perlahan di udara.
Seketika suara langkah kecil mendekat.
“Luar biasa, Tuan Cross!” seru Profesor Flitwick dengan mata berbinar. “Mantra levitasi yang nyaris sempurna! Slytherin mendapat dua poin!”
Seluruh kelas menoleh.
Beberapa siswa tampak kagum, tapi sebagian lain menatap dengan iri. Ethan bisa merasakan tatapan-tatapan itu, dan mendadak merasa canggung. Ia sebenarnya tidak mengucapkan mantranya dengan keras—Flitwick tampaknya tidak menyadari.
Agnes mencondongkan tubuh, berbisik cepat. “Kau bahkan tidak mengucapkan apa pun tadi, kan?”
Ethan menaruh jarinya di depan bibir. “Ssst. Jangan bilang siapa-siapa.”
Ia tahu lebih baik tidak menonjol terlalu cepat. Dalam dunia seperti ini, perhatian bisa berarti bahaya.
Ketika Flitwick melanjutkan berkeliling, Ethan justru sibuk membantu Agnes memperbaiki gerakannya. Setelah beberapa kali percobaan, bulu Agnes akhirnya melayang sempurna beberapa detik di udara. Ia bersorak pelan, nyaris tak percaya.
Bel pelajaran pun berbunyi.
“Baiklah, anak-anak. Untuk tugas, tulis esai enam inci tentang prinsip mantra levitasi,” ujar Flitwick. Ia menutup bukunya, lalu menatap Ethan dengan ekspresi lembut. “Tuan Ethan Cross, silakan tinggal sebentar.”
Agnes menatapnya heran, tapi Ethan hanya mengangguk pelan.
Ia tahu panggilan seperti itu tak bisa dihindari. Dan entah kenapa, hatinya merasa… sesuatu menarik sedang menunggu.