"Meski kau adalah satu-satunya lelaki di dunia ini, aku tetap tidak akan mau denganmu!" Britney menolak tegas cowok yang menyatakan cinta padanya.
Tapi bagaimana kalau di hari Britney mengatakan itu, terjadi invasi virus zombie? Seketika satu per satu manusia berubah menjadi zombie. Keadaan Zayden High School jadi kacau balau. Pertumpahan darah terjadi dimana-mana.
Untungnya Britney mampu bertahan hidup dengan bersembunyi. Setelah keadaan aman, dia mulai mencari teman. Dari semua orang, satu-satunya orang yang berhasil ditemukan Britney hanyalah Clay. Lelaki yang sudah dirinya tolak cintanya.
Bagaimana perjalanan survival Britney dan Clay di hari kiamat? Apakah ada orang lain yang masih hidup selain mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter ¹⁰ - britney house
“Astaga... Kau berlebihan. Kita bahkan belum menjelajahi separuh kota. Jelas kita masih belum bisa menemukan orang lain selain kita,” ucap Britney datar sambil mengunyah lasagna terakhirnya. Suara garpu beradu piring terdengar agak tercekat, nyaris tidak sinkron dengan kesunyian rumah yang begitu pekat. Ia kemudian meneguk sedikit cola, minuman itu menurunkan sedikit rasa getir di tenggorokannya, memberi jeda singkat dari tekanan yang terus menekan dada.
“Kau benar. Aku harap keluarga kita selamat,” kata Clay, lalu menatap Britney dengan sorot mata setitik harap. Ia terkekeh kecil saat melihat bagaimana gadis itu makan dengan lahap, pemandangan yang tampak aneh dan hampir tak terduga, mengingat kebiasaan napasnya yang selalu terkendali dan berhati-hati soal makanan sebelum kiamat ini datang.
“Kenapa tertawa? Apa ada yang lucu?” sahut Britney, menyeka sedikit saus di bibirnya dengan punggung tangan, menatap Clay setengah menantang.
Clay mengangkat bahu santai, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Ya. Hanya lucu melihatmu sangat berbeda. Aku tahu kau sebelumnya sangat berhati-hati dalam hal makanan. Kau selalu makan salad sayuran atau buah saat makan siang,” jawabnya, suaranya mengandung nada akrab yang sedikit mengusik.
“Ternyata kau sesuka itu padaku,” balas Britney, suaranya bercampur antara godaan dan ejekan, sekali lagi menegaskan bahwa ia masih memiliki harga diri, walau kini segala hal tampak runtuh di luar sana.
Clay langsung membuang muka, rona merah samar menyentuh pipinya. Ia tentu menyimpan banyak hal tentang Britney, karena ia memperhatikan. Ia menoleh seakan menutupi rasa kikuknya. “Sejak kapan kau suka padaku? Dan kenapa?” cecar Britney, setengah bercanda, setengah ingin memastikan bahwa ejekan kecil itu bukanlah pengakuan serius.
Namun Clay memilih jalan lain. Ia menunduk sejenak, lalu berdiri. “Hari sudah siang. Rumahmu cukup jauh. Lebih baik kita sampai di sana sebelum malam tiba.” Kalimatnya praktis dan datar, tanda bahwa ia enggan membuka ranah perasaan saat ancaman nyata masih menunggu di luar. Ia berjalan menuju pintu, menyulap topik pembicaraan ke hal yang lebih penting. Membicarakan hari ini, rute, dan logistik bertahan hidup.
Britney mendengus kasar. Di dalam dadanya, ada sensasi hangat yang muncul, bukan karena makanan, melainkan karena mengerti bahwa Clay memilih untuk tidak mengungkapkan perasaan demi fokus pada keselamatan. “Dia pasti malu,” gumamnya pelan pada dirinya sendiri, dan sedikit tersenyum sinis sambil mengusap noda saus di piringnya.
Tak lama, Britney menghabiskan piringnya dan menyusul Clay keluar. Di halaman, Clay tampak sibuk mengutak-atik sebuah mobil tua, bukan mobil yang mereka pakai tadi, tetapi kendaraan lain yang masih terlihat layak untuk perjalanan jauh. Dia memeriksa kabel, menepuk ban, dan membuka kap mesin dengan gerakan yang sudah terasah.
Britney naik ke tempat duduk pengemudi sebelah Clay kali ini, ia memilih berada di depan, tepat di sampingnya, untuk menjaga jarak namun tetap siaga. Udara di dalam mobil hangat, berbau minyak dan debu, tetapi terasa aman. Mesin mobil yang Clay pilih itu menggerung, kemudian menyala setelah beberapa kali percobaan. Vibration halus terasa di bawah kaki mereka, seperti jantung yang akhirnya berdetak lagi.
“Sekarang kita lanjutkan perjalanan,” kata Clay tanpa banyak basa-basi. Ia mulai melajukan mobil perlahan keluar dari jalan menuju jalan utama, menembus komplek perumahan yang masih tampak seperti kota mati, gerbang roboh, pagar yang terlipat, dan dedaunan berserakan di aspal yang retak.
“Aku minta cokelat yang ada di kulkas. Ada banyak sekali cokelat. Kau dan keluargamu sepertinya penggemar cokelat,” ujar Britney tiba-tiba dari samping, seolah ingin mengusir kecemasan dengan membicarakan hal ringan yang memantul dari memori rumahnya.
Clay menoleh singkat, setengah tersenyum, setengah fokus pada jalan. “Ya, ambil saja. Tapi sebenarnya itu milik adikku. Dia sangat suka cokelat,” jawabnya sambil menekan pedal gas sedikit lebih dalam ketika jalanan agak sepi.
“Kalau begitu, aku akan meminta izin saat bertemu dengannya nanti,” balas Britney ringan, suaranya membawa nada yang lebih lembut kini, ada sedikit perhatian yang muncul dari bibirnya terhadap adik Clay yang tak pernah mereka temui.
Keheningan kembali turun, tetapi kali ini bukan keheningan penuh kecemasan, melainkan jeda yang memungkinkan pikiran mereka mengatur strategi. Mobil melaju memasuki komplek perumahan Britney. Pagar-pagar megah yang dulu menjulang kini terlihat seperti sisa-sisa kemewahan yang runtuh. Pohon-pohon tinggi memberi siluet gelap terhadap langit yang mendung. Hanya beberapa zombie terlihat berkeliaran, memantulkan cahaya yang meredup dari sela-sela awan.
Sesaat kemudian, mereka tiba di rumah Britney. Bangunannya besar, dua lantai, menonjolkan kemewahan yang kontras yang kini kehilangan makna, kaca-kaca yang retak, pagar setengah roboh, namun struktur bangunan masih berdiri tegak. Britney melompat keluar dari mobil dengan langkah yang hampir lari, tangannya menggenggam tas kecil di punggung. Clay mengekor di belakangnya, siaga, pedangnya tergenggam siap seandainya ada yang menunggu di ambang rumah.
Rumah itu, lebih besar dua kali lipat dari rumah Clay. Kekayaan terlihat jelas di setiap sudut, meski kini tertutup debu dan keheningan. Britney dahulu tinggal dengan ayah dan ibu tirinya, ditambah dua pelayan yang selama ini membantu mengurus rumah itu, ingatan yang sekarang bergelayut getir di tenggorokan.
Begitu memasuki foyer yang mewah, Britney langsung memanggil, suaranya pecah karena ketegangan. “Ayah! Ibu!”, ia menelusuri koridor, membuka pintu kamar satu per satu. Semua kamar tampak seperti ditinggalkan terburu-buru, tempat tidur acak, koran di meja, secangkir teh yang sudah mendingin.
Clay berada beberapa langkah di belakang, menahan napas. Ia berjalan dengan hati-hati, memeriksa sudut-sudut rumah. Di ruang makan, ia menahan pintu dengan badan, matanya menatap ke dalam ruangan dengan raut yang berubah. “Britney!” panggilnya, suaranya berbeda, ada nada tangis yang tersembunyi.
Britney segera berlari menghampiri Clay, harapannya terpancar di wajah terburu-burunya. “Ada apa?” tanyanya, suaranya nyaris putus.
Clay menelan ludah, menatap lurus ke arah ruang makan. “Ada zombie di dalam,” jawabnya dengan suara datar namun berat. Kalimat itu seperti palu yang menghantam harapan Britney.
Wajah Britney seketika pucat. Matanya memerah, napasnya tersengal. “Apa mereka...” ia tak sanggup menyelesaikan kata-katanya, bayangan terburuk langsung menyerbu pikirannya.
“Ada tiga zombie. Maaf, tapi dua di antara mereka adalah kedua orang tuamu,” ungkap Clay dengan tenang, namun suaranya memelan sedikit di akhir. Kata-kata itu terucap sebagai fakta, mengerikan, tak dapat ditarik kembali.
Britney merasa seolah lantai lenyap di bawahnya. Dunia yang selama ini dia anggap aman di rumah itu kini berubah menjadi teater kematian. Ia menatap pintu ruang makan dengan pandangan kosong, lalu menoleh ke Clay dengan mata yang berkaca-kaca. Suara tangannya menyesakkan. “Buka pintunya! Aku ingin melihat,” pinta Britney dengan putus asa, suaranya bergetar, menuntut jawaban dari kenyataan.
Clay menatapnya dengan cepat, wajahnya gamang. “Tidak! Ini bahaya! Mereka akan menyerangmu. Apalagi mereka adalah orang yang kau kenal. Kau akan kesulitan melawan mereka,” jawabnya tegas, karena ia tahu kelemahan paling besar ketika menghadapi yang sudah berubah, pengakuan wajah. Cinta, ingatan, kebiasaan, semua akan membuat serangan jadi sulit, dan itu berbahaya.
Tapi Britney tak berhenti. Air mata mengalir deras, menelisik di pipinya. “Kalau begitu bunuhlah mereka! Lakukan itu untukku...” seru Britney, suaranya memecah di akhir, penuh dengan permintaan yang tak bisa ditunda.
Di ruangan itu, dua orang muda berdiri berhadapan, salah satu meminta pengorbanan tak terbayangkan, satunya lagi menahan diri di antara moral dan kewajiban untuk menyelamatkan.
SELAMAT DATANG peradaban baru.
Itulah kalimat yang layak diucapkan saat ini.
Manusia ditakdirkan menjadi khalifah, pembawa perubahan dan pembentuk peradaban di muka bumi.
Mengubahnya dan memicu lahirnya peradaban baru bagi umat manusia.
Virus zombie yang mewabah di hampir semua daerah ini telah mengubah hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat bahkan sangat tidak siap dengan kehadiran wabah yang mematikan ini.
Manusia hadir untuk bertindak melakukan perubahan dan membangun peradaban yang diamanatkan oleh Allah SWT.
Dimana semua orang bisa hidup damai, membuat sebuah daerah mampu bangkit dan berkontribusi dalam peta peradaban...🤩🥰