NovelToon NovelToon
Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Beda Usia / Kontras Takdir / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Sad ending / Janda
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27: Kemarahan Tanpa Alasan

Pukul 03.30 dini hari.

Dewanga bangun dengan tubuh masih pegal—sisa lelah kemarin yang belum hilang. Ia mengusap wajahnya, menarik napas panjang, lalu turun dari kasur dengan hati-hati agar tidak membangunkan Tini yang tidur membelakanginya.

Ia keluar kamar dengan langkah pelan—menuju dapur kecil yang gelap. Menyalakan lampu neon yang redup. Mengambil mangkuk besar, tepung terigu, garam, bawang putih yang sudah dihaluskan kemarin malam.

Suara adzan subuh mulai terdengar samar dari masjid kampung—membahana pelan di keheningan dini hari.

Dewanga mulai membuat adonan. Menuang tepung. Menuang air sedikit demi sedikit. Mengaduk dengan sendok kayu.

Tidak ada suara keras. Hanya suara sendok kayu yang bergesekan dengan mangkuk—lembut, pelan, hampir tidak terdengar.

Ia berusaha sepelan mungkin. Tidak ingin membangunkan siapa pun.

Tapi tiba-tiba—

BRAK!

Pintu kamar terbuka keras. Tini keluar dengan wajah merah, rambut acak-acakan, mata menyipit penuh amarah.

"LO BERISIK BANGET, ANJING!" bentaknya keras—suaranya memecah keheningan dini hari seperti petir.

Dewanga tersentak. Sendok kayu di tangannya hampir jatuh.

"Tini... aku... aku cuma bikin adonan—"

"GUA GAK PEDULI! LO BERISIK! GUA MAU TIDUR! LO PIKIR CUMA LO YANG CAPEK?! GUA JUGA CAPEK JAGAIN RUMAH INI!"

Dewanga menunduk. Tangannya gemetar. "Maaf... aku coba lebih pelan—"

"LEBIH PELAN?! LO UDAH BANGUNIN GUA! GUA GAK BISA TIDUR LAGI SEKARANG! LO EGOIS BANGET SIH! MIKIR DIRI SENDIRI DOANG!"

"Tini, ini udah masuk waktu subuh... aku harus siap-siap buat jualan pagi—"

"TERUS?! EMANGNYA GUA PEDULI?! LO MAU JUALAN, JUALAN AJA SONO! TAPI JANGAN BERISIK DI RUMAH GUA!"

Rumah gua.

Kata-kata itu menusuk seperti pisau.

Dewanga terdiam. Dadanya sesak. Ia tidak tahu harus bilang apa lagi.

Dari kamar sebelah—kamar di ujung rumah—terdengar suara keras memukul pintu dari dalam.

BRAK! BRAK! BRAK!

"LO BERISIK, ANJING!" teriak suara laki-laki dari dalam kamar—suara berat, penuh amarah, lebih keras dari Tini.

Dewanga terpaku.

Pintu kamar itu terbuka. Seorang pria keluar—tubuh tinggi, bahu lebar, wajah tegas dengan alis tebal dan rahang kotak. Kulitnya gelap, rambutnya pendek berantakan. Usianya sekitar dua puluh lima tahun—lebih tua dua tahun dari Dewanga.

Mata mereka bertemu.

Tidak ada senyum. Tidak ada sapa. Hanya tatapan dingin—tatapan yang seolah melihat sesuatu yang menjijikkan.

"Siapa lo?" Dewanga bertanya pelan—meski hatinya sudah tidak tenang.

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Dewanga dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan, lalu berbalik masuk kamar lagi.

BRAK!

Pintu ditutup keras—lebih keras dari sebelumnya.

Dewanga menatap pintu itu dengan dada sesak. Ia menoleh pada Tini—berharap penjelasan.

Tini berdiri dengan tangan dilipat di dada, wajahnya masih merah. "Itu Bimo. Adik gua. Baru pulang kerja tadi malam. Dia jarang pulang. Biasanya nginep di kontrakan deket pabrik."

"Kenapa... kenapa dia kayak gitu?" Dewanga berbisik pelan.

"Emangnya harus kayak gimana? Dia capek. Lo berisik. Wajar dia marah."

"Tapi aku cuma—"

"UDAH! GUA GAK MAU DENGER ALASAN! SEKARANG LO SELESAIN URUSAN LO, TERUS CEPET PERGI JUALAN! JANGAN BIKIN BERISIK LAGI!"

Tini berbalik, masuk kamar, membanting pintu keras.

Dewanga berdiri sendirian di dapur.

Mangkuk adonan di tangannya masih setengah jadi. Air matanya hampir keluar, tapi ia menahannya—menggigit bibir dalam-dalam.

Dari luar, suara adzan subuh masih bergema.

"Ash-hadu alla ilaha illallah..."

Dewanga menatap jendela kecil dapur—langit masih gelap. Lampu masjid menyala samar di kejauhan.

"Ya Allah..." bisiknya parau. "Apa yang salah dengan aku?"

Ia melanjutkan membuat adonan—kali ini dengan tangan gemetar, air mata yang menggenang tapi tidak jatuh, dan hati yang semakin hancur.

Pukul 05.00 pagi.

Dewanga sudah siap. Gorengan sudah dimasukkan ke dalam etalase gerobak. Kompor gas sudah dipasang. Semua peralatan sudah diikat rapi.

Ia mendorong gerobaknya keluar dari halaman dengan hati-hati—berusaha tidak membuat suara berderit terlalu keras.

Sebelum pergi, ia menoleh ke rumah sebentar.

Lampu kamar Tini mati. Lampu kamar Bimo juga mati. Hanya lampu teras yang menyala redup.

Tidak ada yang keluar untuk pamit. Tidak ada yang bilang "Hati-hati di jalan." Tidak ada yang menanyakan "Udah sarapan?"

Hanya dingin.

Dewanga menarik napas panjang, lalu mendorong gerobaknya keluar gang—melangkah sendirian di jalan yang masih sepi, di bawah langit yang mulai menyingsing.

Sore hari. Dewanga pulang.

Rejeki hari ini biasa saja—seratus lima puluh ribu. Tidak buruk, tapi tidak istimewa.

Ia memarkir gerobaknya di halaman, lalu masuk ke dalam rumah dengan tubuh lelah.

"Tini, aku pulang." Suaranya pelan—tidak berani keras.

Tini duduk di sofa, menonton TV. Tidak menoleh.

"Tadi laku seratus lima puluh ribu." Dewanga duduk di sebelahnya—jarak sedikit renggang, tidak berani terlalu dekat.

"Hmm." Tini hanya bergumam.

Dewanga menunduk. Tangannya meremas-remas ujung bajunya.

Dari kamar ujung, terdengar suara pintu dibuka. Bimo keluar—memakai kaos singlet hitam dan celana pendek. Wajahnya datar—tidak ada ekspresi.

Dewanga refleks berdiri, mencoba tersenyum. "Bimo... udah makan? Aku beli nasi padang tadi. Mau?"

Bimo menatapnya sekilas—tatapan kosong tanpa kehangatan. Lalu ia berjalan melewati Dewanga tanpa menjawab, menuju dapur, mengambil air minum dari dispenser, lalu kembali ke kamar.

BRAK!

Pintu ditutup keras—seperti tadi pagi.

Dewanga berdiri terpaku di sana. Tangannya masih menggenggam plastik berisi nasi padang yang ia beli khusus untuk Bimo.

"Tini..." Dewanga menatap istrinya. "Kenapa dia... kenapa dia kayak gitu sama aku?"

Tini tidak menjawab. Matanya tetap tertuju pada TV.

"Tini..."

"Dia emang kayak gitu. Biasa aja. Jangan lebay."

"Tapi... tapi aku kan kakak iparnya sekarang. Aku cuma mau—"

"LO MAU APA?! MAU DIA SENYUM-SENYUM KAYAK ORANG GILA?! DIA CAPEK, DEWA! DIA KERJA KERAS! BEDA SAMA LO YANG CUMA JUALAN GORENGAN!"

Dewanga terdiam. Kata-kata itu menusuk tepat di jantungnya.

Cuma jualan gorengan.

Ia menunduk dalam-dalam. Tidak berani menjawab.

Tini berdiri, merebut plastik berisi nasi padang dari tangan Dewanga. "Sini. Gua yang makan. Lo makan sisa kemarin aja di kulkas."

Lalu ia masuk kamar, menutup pintu—tidak dibanting, tapi ditutup dengan tenang. Lebih menyakitkan daripada dibanting.

Dewanga berdiri sendirian di ruang tamu.

Bapak Tini duduk di pojok—menyaksikan semua itu dengan wajah sedih. Ia ingin bicara, tapi tidak sanggup. Ia hanya bisa menatap menantu barunya dengan pandangan penuh belas kasihan.

Dewanga menoleh pada Bapak Tini—mencoba tersenyum, tapi senyum itu rapuh, hampa.

"Bapak... udah makan?"

Bapak Tini mengangguk pelan. "Sudah, Nak. Kamu... kamu makan ya. Jangan sampai sakit."

"Iya, Pak."

Dewanga berjalan gontai menuju dapur. Membuka kulkas. Di sana, hanya ada nasi sisa kemarin yang sudah agak keras, dan sayur lodeh yang sudah mulai basi.

Ia mengambilnya. Memanaskan sebentar di atas kompor. Lalu duduk sendirian di meja makan kecil—makan dengan perlahan, mengunyah tanpa rasa, menelan dengan susah payah.

Air matanya menetes jatuh ke atas nasi—membasahinya, membuat

nya semakin sulit ditelan.

Tapi ia tetap makan.

Karena besok ia harus bangun lagi. Kerja lagi. Bertahan lagi.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Dewanga merasa—ia bukan suami di rumah ini.

Ia hanya... tamu yang tidak diinginkan.

1
Chanikya Fathima Endrajat
umur adeknya 20, dewa 22, telah bekerja 5 th sejak umur 17. wkt dewa kls 9, adiknya msh SD. setidaknya selisih umur mereka 3 th.
Seroja_layu
Astagfirullah nyebut Bu Nyebut
Dri Andri: nyata nya gitu kak
total 1 replies
Chanikya Fathima Endrajat
umur dewangga membingungkan, ketika ingin melamar anis umurnya br 19th, ketika falshback 10th yll, dewa sdh kls 9 (SMP) tdk mungkin umurnya wkt itu 9th kan thor
Dri Andri: ya saya salah maaf yaa...
karena kisah nya kisah nyata jadi saking takut salah pada alur intinya
alur di minta sama
peran, tempat di minta di random
maaf ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!