NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketakutan Menjadi Seperti Ibu

Malam itu hujan turun pelan, tidak deras, tapi cukup untuk membuat udara terasa dingin dan lembap. Aku berbaring miring di atas kasur tipis rumah kontrakan kami, membelakangi punggung suamiku yang sudah lebih dulu terlelap. Nafasnya teratur, menandakan ia benar-benar tertidur.

Sedangkan aku… mataku terbuka lebar.

Entah kenapa, akhir-akhir ini pikiranku sering berkelana ke masa lalu. Ke rumah besar yang kini sudah terbelah. Ke suara tangisan ibu. Ke punggung ayah yang menjauh perlahan.

Dan malam ini, semua itu kembali datang seperti mimpi buruk yang tidak bisa kuhentikan.

Aku takut... Takut suatu hari nanti aku akan menjadi seperti ibu.

Perempuan yang menikah dengan cinta dan harapan, lalu perlahan kehilangan senyumnya. Perempuan yang bertahan dalam sunyi, memendam kecewa bertahun-tahun, sampai akhirnya ia kehabisan tenaga untuk sekadar tersenyum.

Aku bergeser pelan, menatap wajah suamiku yang tertidur. Wajah itu begitu tenang saat ia memejamkan mata. Tak ada aura dingin seperti dulu. Tak ada jarak yang menusuk seperti di awal pernikahan kami.

Tapi justru di situlah ketakutanku tumbuh.

“Bagaimana kalau semua ini hanya sementara…?” batinku berbisik lirih.

Aku memejamkan mata, tapi bayangan itu tak mau pergi.

Bayangan ibu yang duduk di sudut dapur, menangis diam-diam agar anak-anaknya tak melihat. Bayangan ayah yang pergi pagi-pagi dan pulang larut, membawa pulang lelah tanpa menyisakan kata. Bayangan pertengkaran yang tak selalu keras, tapi terasa jauh lebih menyakitkan karena dibungkus dengan diam.

Aku takut mengulangnya.

Pagi harinya, aku bangun dengan kepala sedikit berat. Suamiku sudah lebih dulu pergi bekerja. Meja kecil di ruang makan menyisakan secarik kertas kecil.

“Aku berangkat dulu. Jangan lupa sarapan.”

Tulisan tangannya masih terlihat kaku, seolah ia menulis dengan ragu. Aku menatap kertas itu cukup lama. Senyum kecil tersungging tanpa kusadari.

Namun sesaat kemudian, dadaku kembali sesak.

Ibu juga dulu selalu menerima hal-hal kecil seperti ini dari ayah. Pesan singkat. Senyum singkat. Perhatian kecil. Sampai akhirnya, semua itu berhenti tanpa pernah memberi peringatan.

Aku menghela napas panjang.

Siang itu, aku pergi ke rumah ibu. Sudah lama aku tidak datang sendiri. Biasanya aku selalu datang bersama adik-adik. Kali ini aku datang dengan membawa galau yang tak bisa kueja sendiri.

Ibu sedang duduk di teras, menjemur pakaian kecil-kecil milik Raka. Wajahnya terlihat lebih tenang dari dulu, tapi ada kelelahan yang tidak pernah benar-benar pergi dari matanya.

“Kamu kelihatan pucat,” katanya saat melihatku mendekat.

Aku duduk di sampingnya.

“Bu…,” suaraku nyaris bergetar. “Waktu ibu menikah dulu… apakah ibu pernah takut akan jadi seperti ini?”

Tangannya berhenti sejenak menyematkan jemuran. Ia menoleh pelan padaku.

“Takut itu selalu ada,” jawabnya lirih. “Tapi dulu ibu terlalu percaya bahwa bertahan adalah satu-satunya cara.”

Dadaku terasa makin sesak.

“Bu… aku takut,” bisikku. “Aku takut suatu hari nanti aku akan lelah seperti ibu. Takut menangis dalam diam. Takut harus kuat sendirian.”

Ibu menatapku lama. Lalu tangannya meraih tanganku, menggenggamnya erat.

“Kamu berbeda,” katanya tegas tapi lembut. “Kamu tidak sendiri. Kamu sudah berani bicara sekarang. Itu sudah membuatmu berbeda dari ibu dulu.”

Aku menunduk. Air mataku menetes tanpa bisa kutahan.

“Tapi bagaimana kalau nantinya semua berubah, Bu? Bagaimana kalau aku juga akan kehilangan seperti ibu kehilangan ayah?”

Ibu menghela napas panjang.

“Perubahan itu selalu ada dalam rumah tangga. Tapi yang menentukan kamu akan hancur atau bertahan… adalah keberanianmu untuk tidak memendam luka sendirian.”

Aku memejamkan mata.

Untuk pertama kalinya, aku menyadari ketakutanku bukan hanya pada suamiku. Tapi pada diriku sendiri. Takut aku akan memilih diam. Takut aku akan memilih bertahan tanpa bicara. Takut aku akan mengulang pola yang sama.

Sore itu, saat aku kembali ke rumah kontrakan, pikiranku masih penuh. Ketika suamiku pulang, aku menyambutnya seperti biasa, menyiapkan minum, menanyakan pekerjaannya. Namun di dalam dada, ada badai kecil yang sedang mencari jalan untuk keluar.

Aku menatap punggungnya yang sedang mengganti baju.

“Kalau suatu hari nanti… aku berubah,” ucapku pelan, hampir seperti bisikan. “Kamu masih mau mendengarkanku nggak?”

Dia menoleh, bingung.

“Kamu kenapa ngomong gitu?”

Aku tak menjawab. Aku hanya menunduk, menahan getar di suaraku.

Dan malam itu, ketakutanku masih belum selesai. Ia baru saja dimulai.

Malam itu aku kembali terjaga. Kata-kataku sore tadi terus terngiang di kepala—pertanyaan bodoh yang keluar tanpa rencana, tentang perubahan, tentang apakah ia masih mau mendengarkanku nanti.

Ardi sudah berbaring di sampingku. Nafasnya belum teratur seperti orang tidur lelap. Ia masih terjaga. Dan entah mengapa, aku bisa merasakannya.

“Alya,” panggilnya pelan.

Aku menggigit bibir. “Iya.”

“Kamu kenapa akhir-akhir ini sering melamun?”

Pertanyaan itu sederhana. Tapi dadaku langsung terasa penuh.

Aku berbalik menghadapnya. Dalam gelap, samar-samar kulihat matanya menatapku. Tidak dingin. Tidak juga curiga. Lebih seperti… khawatir.

“Aku cuma lagi banyak mikir,” jawabku jujur.

“Mikir tentang apa?”

Tentang Ibu. Tentang Ayah. Tentang rumah yang runtuh pelan-pelan. Tentang diriku yang takut akan bernasib sama. Semua itu ingin keluar, tapi tidak semuanya sanggup kuucap.

“Takut,” jawabku akhirnya.

“Takut apa?”

Aku menarik napas dalam-dalam. “Takut suatu hari aku akan menjadi seperti Ibu.”

Ia terdiam....

Aku melanjutkan dengan suara gemetar, “Takut lelah sendirian. Takut memendam terlalu banyak. Takut bertahan tapi luka terus bertambah.”

Hening membentang cukup lama di antara kami. Aku bisa mendengar suara kipas angin yang berderit pelan di sudut kamar.

“Aku nggak pernah mau kamu seperti itu,” katanya akhirnya.

“Masalnya… Ibu juga dulu nggak pernah mau jadi seperti ini,” jawabku lirih.

Kalimat itu menggantung, berat.

Ardi duduk perlahan. Ia menatapku lebih jelas sekarang. Untuk pertama kalinya, aku melihat ada keraguan di wajahnya bukan karena ragu padaku, tapi karena mungkin ia mulai menyadari betapa dalam luka yang kubawa ke dalam pernikahan ini.

“Aku memang bukan suami yang sempurna,” katanya pelan. “Aku sering capek. Sering diam. Sering nggak peka. Tapi aku nggak pernah berniat membuat kamu merasa sendirian.”

Air mataku jatuh tanpa izin.

“Aku nggak minta Mas jadi sempurna,” isakku. “Aku cuma ingin… kalau suatu hari aku mulai berubah, Mas masih mau menggenggam aku. Jangan diam. Jangan pergi tanpa bicara.”

Tangannya bergerak pelan, menyentuh jemariku yang gemetar.

“Aku janji akan berusaha,” katanya lirih. “Tapi kamu juga harus janji satu hal.”

“Apa?”

“Jangan simpan semua ketakutanmu sendirian.”

Aku menutup mata. Genggamannya terasa hangat. Tidak erat, tapi cukup menenangkan.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku menangis dalam pelukan suamiku. Tangisku tidak pecah dalam suara keras. Hanya bahu yang naik turun, dan air mata yang mengalir tanpa bisa kutahan. Ia tidak banyak bicara. Hanya memeluk, membiarkan aku mengeluarkan semua yang selama ini kupendam terlalu lama.

 ~~~

Keesokan harinya, aku mengantar Raka ke sekolah. Ia kini makin jarang bicara sejak rumah kami pecah oleh perceraian. Di atas motor, ia memeluk pinggangku erat.

“Kak,” katanya pelan di sepanjang jalan. “Ayah beneran nggak bakal pulang lagi ya?”

Dadaku serasa diremas...

“Kita nggak pernah tahu masa depan, Rak,” jawabku lembut. “Tapi apa pun yang terjadi, Kakak bakal selalu ada buat kamu.”

Ia mengangguk kecil.

Kata-katanya semalam kembali terngiang dalam pikiranku. Tentang perubahan. Tentang kehilangan. Ternyata, bukan hanya aku yang memikul ketakutan itu. Raka juga. Laras juga. Bahkan mungkin Dimas, hanya saja ia terlalu diam untuk mengungkapkannya.

Saat pulang, aku singgah sebentar di rumah Ibu. Kulihat Ibu duduk menatap kosong ke halaman. Sejak menikah lagi, ia memang terlihat lebih tenang di luar, tapi aku tahu di dalam hatinya masih ada luka yang belum benar-benar sembuh.

“Ibu kelihatan capek,” kataku sambil duduk di sampingnya.

Ibu tersenyum tipis. “Capek itu pasti, Nak. Tapi sekarang capeknya beda.”

“Beda gimana?”

“Sekarang capek karena belajar hidup lagi, bukan karena menahan hidup.”

Kalimat itu menghunjam dadaku.

Aku pulang dengan pikiran yang penuh. Saat malam datang, Ardi pulang lebih awal dari biasanya. Ia bahkan sempat membantuku di dapur sesuatu yang jarang ia lakukan sebelumnya.

“Kamu hari ini ke mana saja?” tanyanya sambil mencuci piring.

“Antar Raka, lalu ke rumah Ibu sebentar.”

Ia mengangguk pelan.

“Aku kepikiran kata-katamu semalam,” katanya tiba-tiba. “Tentang ketakutanmu.”

Aku menoleh.

“Aku nggak janji akan selalu sempurna,” lanjutnya. “Tapi aku janji akan berusaha belajar jadi suami yang tidak membuat kamu merasa sendirian.”

Dadaku menghangat. Aku mengangguk pelan.

“Aku juga janji akan belajar bicara. Bukan memendam.”

Kami saling menatap beberapa detik. Tidak ada kata romantis. Tidak ada pelukan besar. Tapi ada kesepakatan kecil yang terasa jauh lebih berarti daripada ratusan janji palsu.

Malam itu, aku tidur dengan perasaan yang berbeda.

Ketakutanku belum sepenuhnya hilang. Bayangan Ibu masih ada. Luka masa lalu masih terasa. Tapi kini, aku tahu satu hal:

Aku tidak ingin menjadi seperti Ibu yang menahan segalanya sendirian.

Aku ingin menjadi perempuan yang berani bicara, walau suaraku gemetar.

Dan itu… adalah langkah pertamaku untuk tidak mengulang sejarah yang sama.

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!