NovelToon NovelToon
Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Cinta Beda Dunia / Cinta Terlarang / Mata Batin / Romansa / Reinkarnasi
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27: Kabar Bahagia & Beban Berat

BAB 27: Kabar Bahagia & Beban Berat (REVISI)

Arsyan masih peluk Wulan.

Peluk erat. Terlalu erat mungkin—sampai Wulan susah napas dikit—tapi dia nggak protes. Dia biarkan aja. Karena pelukan ini... entah kenapa terasa kayak... terakhir. Atau bukan terakhir tapi—ah, Wulan nggak tau—pokoknya dia pengen moment ini nggak usah selesai.

"Kita punya anak..." Arsyan bisiknya di telinga Wulan—napasnya hangat, gemetar. "Kita... kita beneran punya anak, Wulan..."

Tangannya turun—ragu-ragu—nyentuh perut Wulan yang masih rata banget. Datar. Nggak ada apa-apa di sana kalau dilihat mata biasa. Tapi Arsyan tau—tau—ada calon manusia kecil di sana. Calon anak mereka.

"Di sini..." bisiknya lagi, suaranya retak. "Ada... ada bayi kita di sini..."

Dia dongak—mata basah, merah—senyumnya aneh. Senyum yang terlalu lebar buat wajah orang yang lagi sakit. Senyum yang... desperate tapi genuine.

"Wulan—dengerin—kita bakal jadi ortu! Aku... gue... gue bakal jadi bapak! Lo jadi ibu!"

Ketawanya keluar—ketawa yang campur sama tangis—suaranya naik turun nggak jelas—peluk Wulan lagi, kali ini lebih kenceng, kayak takut istrinya bakal ilang kalau dia lepas sedetik aja.

"Ya Allah... Alhamdulillah... ini... gila sih ini... gue... gue nggak nyangka..."

Tapi Wulan?

Wulan cuma diem.

Dipeluk gitu. Kaku. Napasnya pendek-pendek—nggak karena dipeluk kenceng—tapi karena dadanya sesak. Sesak banget. Kayak ada yang nindih.

Air matanya jatuh. Nggak cuma netes—tapi ngalir. Deras. Basahin bahu baju Arsyan yang tipis.

Dan ini bukan air mata bahagia.

Ini air mata takut.

Takut yang—gimana ya—takut yang bikin perut mules, bikin tangan dingin, bikin kepala pusing.

Karena Wulan tau.

Tau sesuatu yang Arsyan nggak tau.

Sesuatu yang... yang bikin dia pengen lari sekarang juga, tapi kakinya kayak beton.

Anak ini... anak ini bukan anak biasa.

Anak ini... Jembatan Dua Alam.

Takdirnya berat. Berat banget. Nggak adil.

"Mas..." suaranya keluar—parau, nyaris nggak kedengeran.

"Iya?" Arsyan masih senyum—masih ngelus perut Wulan pelan-pelan, kayak takut ngerusak sesuatu di dalem sana.

"Aku... aku takut, Mas."

Senyumnya ilang dikit. "Takut? Kenapa takut? Ini kan... ini kabar bagus—"

"Tapi Mas lagi sakit!" Wulan suaranya naik—nggak sengaja—dia langsung kaget sendiri karena teriak. Napasnya buru-buru. "Mas... Mas dikutuk. Mas bisa... bisa mati. Terus gimana... gimana kita bisa... besarkan anak kalau Mas..."

Suaranya putus. Nggak bisa lanjut. Kerongkongannya kayak dicekik.

Arsyan diem. Lama.

Terus dia pegang wajah Wulan—dua tangan—agak kasar sebenernya karena tangannya gemetar—tapi dia megang erat. Maksa Wulan natap matanya.

"Dengerin. Aku... aku nggak bakal mati."

"Tapi—"

"Nggak. Denger dulu." Arsyan napasnya berat. "Aku... gue janji. Gue bakal bertahan. Demi lo. Demi... demi anak kita. Gue... gue nggak peduli harus gimana. Gue akan... akan tetep hidup."

"Kutukan itu—"

"GUE NGGAK PEDULI KUTUKAN!" Arsyan tiba-tiba teriak—nggak marah ke Wulan—tapi marah ke... entah siapa. Ke dunia mungkin. Ke takdir. "Gue nggak peduli siapapun yang mau ngejatuhin gue! Yang gue tau—gue punya istri. Gue punya anak. Dan gue... gue nggak akan nyerah kayak orang bego!"

Matanya merah. Rahangnya kenceng. Napasnya berantakan.

Wulan natap mata itu—mata yang penuh tekad meskipun tubuhnya kurus, pucat, lemah—mata yang masih nyala meskipun seharusnya udah padam.

Dan hatinya... remuk.

Kenapa? Kenapa Mas harus sebaik ini? Kenapa Mas masih... masih punya harapan?

Padahal aku tau... harapan itu sia-sia.

Dalam kepalanya—tiba-tiba muncul suara. Suara dari dulu. Suara Ibunda—Ratu Kirana—waktu Wulan masih kecil, masih duduk di pangkuan, masih polos.

"Wulan, ada ramalan. Ramalan kuno. Tentang anak dari jin dan manusia. Anak itu... Jembatan Dua Alam. Bisa satuin dunia. Atau hancurkan. Takdirnya... berat sekali."

Waktu itu Wulan cuma ngangguk-ngangguk—nggak ngerti—mikir itu cuma dongeng sebelum tidur.

Tapi sekarang?

Sekarang dia hamil.

Hamil anak Arsyan.

Dan kalau ramalan itu bener...

Ya Allah... anakku... takdirmu...

Wulan nutup mata—air matanya makin deres.

Maafin Ibu. Ibu nggak siap. Ibu... Ibu lemah. Ibu nggak bisa lindungin kamu.

"Wulan, kenapa lo nangis terus sih?" Arsyan ngusap pipi Wulan—tangannya kasar, lecet-lecet karena kerjaan. "Ini... harusnya kita seneng. Kita... kita dapet anak."

"Aku tau, Mas. Aku... aku cuma..." Wulan ngusap matanya kasar—napas berantakan. "Terlalu banyak mikir."

"Ya udah jangan mikir. Pusing nanti." Arsyan senyum lagi—senyum yang maksa tapi manis. "Yang penting sekarang—lo istirahat. Lo jaga perut lo. Jaga... jaga anak kita. Oke?"

Wulan ngangguk lemah.

Arsyan cium keningnya—lama—lembut.

"Aku cinta lo. Dan aku... gue bakal jadi bapak terbaik. Gue janji. Meskipun gue miskin, meskipun gue... gue sakit, tapi gue... gue akan usaha."

Wulan peluknya balik—erat—pengen waktu berhenti sekarang.

Kumohon... berhenti di sini aja. Jangan lanjut. Jangan...

Malamnya—Arsyan tidur nyenyak. Senyum tipis masih nempel di bibirnya. Mimpi indah mungkin. Mimpi tentang anak mereka.

Tapi Wulan?

Wulan melek. Sepanjang malam.

Natap langit-langit kamar yang retak—cat mengelupas di sana-sini—lembab.

Tangannya ngelus perut. Pelan. Takut-takut.

"Maafin Ibu..." bisiknya—sangat pelan—nyaris nggak bersuara. "Maafin Ayah... kami... kami nggak tau takdirmu bakal... bakal kayak gini..."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!