Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Gagal Lagi
Sudah beberapa hari Eliana tinggal sendirian di apartemen nya. Nadia pulang ke kampung untuk menyelesaikan urusan keluarga sekaligus menjemput ibunya agar bisa menghadiri pernikahannya nanti.
Saat ini, Eliana tengah merapikan isi lemari, terdengar ponselnya berdering.
Eliana segera mengangkat panggilan. “Assalamu’alaikum,” ucap Eliana begitu panggilan tersambung.
“Wa’alaikumussalam, El.” Suara Revan terdengar lembut di seberang sana.
“Kamu lagi apa?” tanya Revan santai.
“Lagi beresin lemari. Tadi agak berantakan,” jawab Eliana sambil melipat pakaian.
Revan tersenyum mendengarnya. “Kamu baik-baik saja, kan?”
“Baik. Kenapa?” Eliana berhenti sejenak, seolah tahu alasan di balik pertanyaan itu.
“Tidak apa-apa. Aku cuma ingin memastikan.” Nada suara Revan merendah. “Kamu jangan terlalu capek. Kalau butuh apa-apa, bilang.”
“Iya, Re. Kamu jangan khawatir terus.”
“Hm.” Revan terdiam sebentar. “Oh iya, El… sebaiknya kamu jangan keluar apartemen dulu. Kalau butuh sesuatu, pesan saja. Lebih aman.”
Eliana mengangguk meski Revan tak bisa melihatnya. “Iya, aku mengerti.”
“Baik. Kalau begitu, aku tutup dulu. Jaga diri mu.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Panggilan pun berakhir.
Eliana menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Setelah itu, ia berniat melanjutkan menonton drama Cina favoritnya yang sempat tertunda.
Baru saja ia duduk dan menyalakan televisi, Eliana mendadak merasa tidak nyaman.
Ia segera berdiri dan bergegas ke kamar mandi. Benar saja.
“Ternyata…” gumamnya lirih. Tamu bulanannya datang lebih cepat dari perkiraannya.
Eliana membuka laci untuk mengambil pembalut, namun wajahnya langsung berubah panik.
“Habis?” desisnya. “Astaghfirullah… kenapa aku bisa lupa beli?”
Ia sempat berpikir untuk memesan, tetapi ia merasa tidak nyaman. Lagi pula ada market kecil di dekat apartemen dan cukup dekat.
“sebaiknya aku beli sendiri saja biar lebih cepat,” gumamnya.
Eliana mengenakan jaket dan keluar. Market itu memang tidak jauh, tak sampai sepuluh menit berjalan kaki.
Begitu sampai, Eliana langsung mengambil apa yang ia butuhkan. Ia juga mengambil beberapa camilan, sekadar menambah stok.
Namun saat berdiri di kasir, Eliana merasakan sesuatu yang aneh.
Seperti… ada yang memperhatikannya.
Ia menoleh sekilas, tetapi tak menemukan siapa pun yang mencurigakan. Meski begitu, rasa tidak nyaman itu tak juga hilang.
Selesai membayar, Eliana buru-buru keluar dan mempercepat langkah pulangnya.
Namun ketika melewati sebuah persimpangan yang cukup sepi, dua orang pria menghadangnya.
“Hai, cantik. Sendirian saja?” salah satu dari mereka bersiul kecil. “Sini, kita temani.”
Eliana tidak menjawab. Ia menunduk dan mencoba melewati mereka.
“Eh, sombong banget, sih,” ujar pria satunya sambil melangkah menghalangi jalan Eliana.
“Tidak perlu buru-buru,” ucap pria pertama, lalu menarik pergelangan tangan Eliana. “Ayo ikut kami dulu.”
“Lepaskan!” Eliana menarik tangannya dengan kuat. “Jangan macam-macam!”
“Heh… galak juga,” kata pria itu sambil tertawa. “Yang begini justru bikin penasaran.”
Keduanya tertawa bersamaan, sementara Eliana menahan napas.
Eliana menatap tajam dua pria yang masih tertawa lepas di hadapannya. Wajahnya tenang, tetapi sorot matanya dingin.
“Sebiknya kalian pergi sekarang,” ucap Eliana tegas. “Kalau tidak, kalian akan menyesal.”
Ucapan itu justru membuat kedua pria tersebut tertawa semakin keras.
“Kau dengar itu?” ujar salah satu dari mereka sambil menepuk bahu temannya. “Gadis cantik ini mengancam kita.”
“Iya,” sahut yang lain sambil menyeringai. “Menarik sekali.”
“Ayo, tunggu apa lagi,” lanjutnya. “Aku sudah tidak sabar.”
Keduanya maju bersamaan dan kembali menarik paksa Eliana.
“Cepat, kita harus menolong Nona Eliana. Dia dalam bahaya,” ucap Reno panik sambil melangkah maju.
“Tunggu,” ujar Erik cepat. Matanya tetap fokus memperhatikan kejadian di depan mereka.
“Tunggu katamu?” Reno menoleh tidak percaya. “Kamu tidak lihat mereka menarik paksa Nona El?”
“Kita ditugaskan untuk menjaganya. Kalau terjadi apa-apa, kita bisa habis,” lanjut Reno dengan nada cemas.
“Tenang saja,” jawab Erik datar. “Aku yakin Nona Eliana bisa mengatasinya.”
“Maksudmu?” Reno mengernyit.
“Perhatikan saja,” ujar Erik yakin. “Aku bisa melihat kalau Nona Eliana bukan wanita biasa.”
Reno terdiam, meski kegelisahannya belum hilang. “Kalau sampai terjadi sesuatu, kamu yang tanggung jawab,” gumamnya.
Ternyata Revan telah menyiapkan anak buahnya untuk menjaga Eliana.
Di sisi lain, Eliana berhasil melepaskan tangannya dari cengkeraman kedua pria itu. Ia mundur selangkah, menegakkan tubuhnya.
“Ternyata kuat juga,” ucap salah satu preman dengan nada kesal. “Aku mau lihat sekuat apa dirimu.”
Pria itu maju hendak menangkap Eliana, tetapi Eliana bergerak cepat. Ia menghindar, lalu memutar tubuhnya dan menghantam pergelangan tangan pria itu hingga terdengar suara erangan kesakitan.
“Aaargh!”
Belum sempat suara erangan itu hilang Eliana kembali mendaratkan tinjunya dengan kuat. Membuat pria itu tersungkur.
Preman kedua mencoba menyerang dari belakang, namun Eliana merunduk, menyapu kaki pria itu hingga terjatuh keras ke aspal.
Belum sempat bangkit, Eliana menghantam dada pria tersebut dengan tendangan telak. Membuat pria itu memegang dadanya yang terasa sesak.
“Pergi,” ucap Eliana dingin. “Atau aku tidak akan berhenti sampai kalian tidak bisa berdiri lagi.”
Kedua pria itu saling pandang. Dengan tubuh penuh nyeri dan wajah ketakutan, mereka bangkit tertatih-tatih lalu melarikan diri.
Reno dan Erik terpaku.
“Keren…” gumam Reno kagum. “Aku tidak menyangka calon istri Tuan Revan jago bela diri. Kalau begini, bisa-bisa kita makan gaji buta.”
Reno terkekeh kecil.
Erik menyikutnya pelan. “Jaga bicaramu.”
"Aku kan hanya bercanda rik, serius amat."
Sedangkan Eliana menarik napas panjang. “Sudah lama aku tidak olahraga,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada diri sendiri.
Tanpa menoleh ke arah mana pun, Eliana segera bergegas pulang menuju apartemennya.
Di tempat lain, dua preman itu kini bersandar di bawah sebuah pohon, menahan rasa sakit di tubuh mereka.
“Sial,” gerutu salah satu dari mereka. “Target kita bukan gadis sembarangan.”
“Kau benar,” sahut temannya. “ Kita sampai babak belur begini.”
“Ayo, kita temui wanita yang itu.”
Keduanya bangkit, menaiki motor yang mereka tinggalkan, lalu melaju menuju sebuah klub malam.
Di depan klub, tak jauh dari pintu masuk, seorang wanita berdiri dengan wajah tegang.
“Kalian kenapa?” tanya Celin terkejut saat melihat kondisi mereka. “Jangan bilang kalian gagal.”
“Kami ke sini untuk meminta sisa bayaran,” ucap salah satu pria, mengabaikan pertanyaan Celin.
“Bagaimana dengan tugas kalian?” tanya Celin, suaranya meninggi.
“Kau lihat sendiri keadaan kami,” jawab pria itu sinis.
“Kalian gagal,” tegas Celin. “Aku tidak akan membayar.”
Belum sempat Celin melangkah mundur, salah satu pria maju dan mencengkeram rahangnya dengan kuat.
“Dengar baik-baik,” ancamnya pelan namun mampu membuat Celin ketakutan. “Kalau kau tidak membayar sekarang, maka kau akan menyesal.”
Celin menahan napas. Wajahnya pucat. Dengan tangan gemetar, ia membuka tasnya dan menyerahkan uang yang dijanjikan.
“Ambil… dan pergi,” ucap Celin tertahan.
Setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, kedua pria itu langsung pergi tanpa menoleh lagi.
Celin mengepalkan tangan. “Sial… lagi-lagi rencanaku gagal,” gumamnya penuh amarah.
Dari kejauhan, seseorang memperhatikan Celin. Senyum tipis terukir di wajahnya, seolah menikmati kekesalan wanita itu.