Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Nilai ?
Lift megah di lantai eksekutif itu terbuka dengan bunyi denting halus. Liam, Presdir muda yang identik dengan sikap dingin dan standar kerja tinggi, melangkah keluar bersama aura kewibawaan yang membuat para pegawai yang melihatnya secara spontan merapat ke dinding koridor. Dua asisten eksekutifnya tak terlihat hari ini; Liam sedang turun sendiri untuk alasan yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya.
Hanya untuk melihat seorang anak magang.
Kedengarannya terlalu remeh untuk posisi sekelas dirinya. Namun laporan Gema—asistennya yang dikenal paling jujur dan paling tidak dramatis—cukup membuat Liam penasaran. Bukan sekadar rumor tentang anak magang rajin; tapi tentang seseorang yang dikatakan punya “ketenangan kerja yang jarang ditemukan di usia belia.”
“Dia sering membantu tim bahkan di luar jobdesc-nya,” Gema berkata santai di pantry beberapa hari lalu. “Selalu masuk lebih pagi, hasil kerjanya rapih, dan tanggap terhadap revisi. Bahkan ada dua supervisor berebut mau pakai dia di project kuartal depan.”
Liam, yang biasanya tidak mempedulikan gosip internal, justru menanggapinya serius kali itu. Laporan sumber yang dapat dipercaya, ditambah fakta bahwa semua itu dilakukan seorang mahasiswa semester enam yang hampir tidak punya pengalaman sebelumnya, membuatnya memutuskan untuk melihat sendiri seperti apa anak magang bernama Anna itu.
“Minimal aku tahu apakah reputasinya masuk akal,” gumam Liam saat menekan tombol lift turun ke lantai 35. “Kalau memang setengahnya benar, aku tidak mau bakat seperti itu lewat tanpa perhatian.”
Namun semua rasa penasaran itu menguap begitu saja hanya beberapa detik setelah ia keluar dari lift.
⸻
Langkah Liam baru menyentuh karpet koridor ketika sebuah suara kaleng kecil berjatuhan terdengar dari salah satu sudut. Seorang perempuan tampak berlari kecil tanpa menengok ke depan—membawa map tebal, pulpen terselip di telinga, serta segelas teh panas di tangan kanan. Terlalu banyak untuk dipegang bersamaan.
Liam sudah melihat skenarionya sebelum itu benar-benar terjadi.
Ini akan menjadi bencana.
“Hey—” Liam baru membuka mulut ketika—
BRUK!
Tubuh mungil itu menabrak dadanya, map jatuh, pulpen melesat seperti rudal mini, dan teh panas muncrat langsung ke kemeja putih Liam—yang seharusnya menjadi kemeja meeting dengan board investor sore nanti.
Suasana koridor hening. Sangat hening. Sampai-sampai bunyi air menetes dari cangkir itu terdengar jelas.
Perempuan itu terperangah. “A—astaga! Ma—maaf, saya nggak lihat—saya—saya—ya Tuhan—”
Liam mengangkat kedua alisnya, tatapan dingin khasnya turun dari wajah perempuan itu ke noda besar teh hangat yang membekas di kemejanya.
“Apakah kamu selalu berlari tanpa melihat ke depan?” suaranya datar, menekan.
Perempuan itu membeku. Napasnya naik turun gelisah. “Sumpah, Pak, saya tidak bermaksud—saya… saya buru-buru ke ruangan supervisor karena—”
“Tentu saja kamu buru-buru.” Liam menyeka sisa teh dari dadanya dengan jari telunjuk. “Orang ceroboh selalu punya alasan.”
Komentar itu menusuk lebih dalam daripada nada suaranya.
Gema, yang kebetulan memutar arah dari pantry, berhenti di tempat ketika melihat bosnya dengan kemeja basah dan Anna yang pucat pasi berdiri seperti patung.
“Ya Tuhan, Anna… apa yang terjadi?” Gema mendekat dengan panik.
Anna langsung menunduk. “Aku… aku nggak sengaja, Kak. Aku tabrak Pak Liam…”
Ketika nama itu keluar dari mulutnya, Anna terlihat makin pucat. Bahkan bibirnya bergetar.
Liam memperhatikan ekspresi itu. Jadi ini anak magang yang katanya cemerlang? Komentar dalam hatinya terdengar sarkastik. Yang ia lihat sekarang hanyalah gadis kikuk dengan rambut sedikit berantakan dan tangan gemetaran memunguti mapnya satu per satu.
“Saya tidak menyangka,” Liam berkata tenang, tapi setiap kata diucapkan dengan ketepatan yang mematikan, “bahwa anak magang yang reputasinya heboh itu ternyata tidak bisa berjalan lurus di koridor.”
Anna langsung menunduk lebih dalam, seolah ingin menghilang ke lantai.
“Saya… saya sungguh minta maaf, Pak… saya akan ganti kemejanya atau apa pun yang Anda minta.”
“Tidak perlu.” Liam mengibaskan tangannya. “Kamu sudah cukup membuat kekacauan hari ini.”
Gema menelan ludah. “Pak Liam… mungkin ini cuma kecelakaan. Anna biasanya—”
“Biasanya apa, Gem?” Liam menoleh cepat. “Sangat hati-hati? Disiplin? Profesional?” Nada suaranya bukan marah. Hanya dingin. Dingin dan kecewa. “Kalau ini definisi kalian tentang ‘berprestasi’, mungkin standar kita perlu dibahas ulang.”
Anna merasakan udara seperti menghilang dari paru-parunya.
Ia ingin menjelaskan bahwa ia berlari karena harus menyerahkan laporan urgent, bahwa ia sedang membantu divisi lain yang kekurangan orang, bahwa ia tidak tidur cukup semalam karena menyiapkan materi presentasi.
Tapi apa pun yang ingin ia jelaskan tidak berarti apa-apa saat berhadapan dengan tatapan dingin Liam.
⸻
Liam melepaskan jasnya, menyerahkannya ke Gema tanpa melihat. “Saya akan kembali ke lantai 52. Tolong sampaikan ke laundry untuk segera datang ke ruang saya.”
Gema mengangguk pelan. “Baik, Pak.”
Sebelum melangkah pergi, Liam menatap Anna sekali lagi. Tatapannya tidak sinis, hanya… menilai. Namun penilaiannya tidak jatuh ke arah yang Anna harapkan.
“Saranku,” katanya, “jangan membuat masalah lagi. Reputasi baik bisa runtuh hanya karena satu hari ceroboh.”
Kemudian Liam berjalan pergi tanpa menoleh lagi.
⸻
Anna berdiri kaku. Tangannya masih menggenggam map yang ujungnya basah terkena teh. Jordan mendekatinya perlahan, meletakkan tangan di bahunya.
“Anna… kamu nggak apa-apa?”
Anna tidak langsung menjawab. Ia menunduk, menatap lantai, lalu menghembuskan napas tremor.
“Aku baru lihat dia secara langsung dan… aku langsung bikin masalah sebesar ini.” Suaranya pelan, hampir berbisik. “Kayaknya semua orang terlalu melebih-lebihkan aku, Kak.”
“Tidak,” Jordan menggeleng cepat. “Kamu memang hebat. Ini cuma kecelakaan.”
“Tapi di hadapan orang paling penting di perusahaan ini…” Anna menutup wajahnya, malu setengah mati. “Ya Tuhan, Kak… dia pasti pikir aku cuma gadis kampung ceroboh yang nggak pantes dipuji.”
Jordan menghela napas panjang. “Pak Liam memang punya standar tinggi. Dia bukan tipe yang tersenyum ramah ke semua orang. Tapi percaya sama aku—dia bukan orang yang akan menilai seseorang hanya dari satu kejadian.”
Anna menatap Jordan, ragu. “Tapi tadi dia… jelas kecewa.”
“Kaget mungkin,” Jordan mencoba tersenyum kecil. “Tapi aku yakin dia masih penasaran sama kamu. Kamu cuma butuh satu kesempatan untuk menunjukkan versi dirimu yang sebenarnya.”
Anna ingin percaya. Tapi rasa malu menenggelamkan semuanya.
⸻
Sementara itu di lift, Liam berdiri menatap bayangannya di pintu logam. Bekas noda teh di kemejanya membuatnya tampak kacau—bahkan sedikit konyol.
Ia menghela napas pendek, jengkel bukan pada Anna, tapi pada situasinya yang terasa ironis.
“Anak magang berprestasi,” gumamnya. “Hasilnya? Menumpahkan teh ke Presdirnya.”
Lift berdenting. Pintu terbuka.
Hari itu, penilaian Liam terhadap Anna berubah drastis.
Namun ia belum menyadari bahwa insiden kecil itu akan menjadi awal dari hubungan yang lebih rumit dan tak terduga.