"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
"Duduklah, Mbak Maya," Arya menunjuk sofa tunggal di sudut ruangan. "Saya akan ambilkan minum untuk Anda. Atau... Anda mau kopi agar lebih terjaga?"
"Tidak usah, Tuan," Maya cepat-cepat menolak. Ia tidak ingin lagi terlibat dalam alasan-alasan kecil ini.
Arya tersenyum tipis. "Baiklah. Kalau begitu, temani saja saya di sini. Saya hanya butuh seseorang untuk diajak bicara."
Maya mengangguk pelan, lalu duduk di sofa. Arya kembali duduk di mejanya, namun kini ia memutar kursinya menghadap Maya, tidak lagi berpura-pura sibuk dengan laptopnya. Mata mereka bertemu. Sebuah keheningan yang panjang menyelimuti ruangan, hanya diisi oleh detak jantung Maya yang berpacu kencang.
"Mbak Maya," Arya memulai, suaranya pelan dan rendah. "Saya ingin tahu... apakah Anda sudah memikirkan apa yang saya katakan semalam?"
Jantung Maya semakin berdebar. Ia tahu maksud Arya adalah tentang kebahagiaan dan godaannya. Ia menunduk, tidak berani menatap mata Arya. "Saya... saya tidak tahu harus bilang apa, Tuan."
"Jangan takut, Mbak Maya," Arya tersenyum lembut. "Di sini, hanya ada kita berdua. Anda bisa jujur. Saya janji, saya akan mendengarkan."
Maya menelan ludah. Ia mengangkat kepalanya, menatap Arya. "Saya... saya bingung, Tuan. Saya merasa... bersalah."
"Bersalah kenapa?" Arya bertanya, nadanya pengertian.
"Saya sudah bersuami," bisik Maya, air mata mulai menggenang di matanya. "Saya tidak seharusnya merasakan hal-hal ini."
Arya mengangguk. "Saya mengerti perasaan Anda, Mbak Maya. Itu normal. Tapi tanyakan pada diri Anda, mengapa perasaan ini muncul? Mengapa Anda merasa ada yang hilang?"
Kata-kata Arya menusuk tepat ke ulu hati Maya. Sebuah pertanyaan yang selama ini ia hindari. "Saya... saya tidak tahu, Tuan."
"Saya rasa Anda tahu," Arya tersenyum pahit. "Hanya saja Anda takut mengakuinya. Takut menghadapi kebenaran." Ia bangkit dari kursinya, melangkah mendekat ke arah sofa tempat Maya duduk. Ia duduk di samping Maya, sangat dekat. Aroma parfumnya yang kuat langsung menyergap indra penciuman Maya.
"Mbak Maya," Arya berbisik, suaranya rendah dan serak, membuat bulu kuduk Maya meremang. "Apa yang Anda inginkan dalam hidup ini? Apa yang Anda dambakan?"
Maya menatap Arya. Matanya memancarkan kehangatan, pengertian, namun juga g4irah yang membara. "Saya... saya ingin bahagia, Tuan."
"Dan apakah Anda bahagia sekarang?" tanya Arya, matanya menatap dalam, mencari jawaban di wajah Maya.
Maya menggeleng pelan, air mata menetes di pipinya. "Tidak, Tuan. Saya... saya merasa kosong."
Arya mengulurkan tangannya, mengusap air mata
Maya dengan ibu jarinya. Sentuhan itu lembut, menghibur, namun juga begitu sensu41. "Saya tahu, Mbak Maya. Saya bisa melihatnya di mata Anda. Kekosongan itu.
Saya juga pernah merasakannya. Dan saya tidak ingin Anda terus merasakannya."
Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Maya. Bibir mereka berjarak sangat tipis. Napas hangat Arya menerpa bibir Maya. Sebuah ketegangan yang tak tertahankan memenuhi ruangan.
"Saya bisa mengisi kekosongan itu, Mbak Maya," bisik Arya, suaranya begitu lembut, begitu mendesak. "Saya bisa memberikan Anda kebahagiaan yang sejati. Gair4h yang selama ini Anda dambakan."
Jantung Maya berdebar kencang. Otaknya berteriak untuk menolak, untuk lari. Tapi tubuhnya, hatinya, seolah tersihir oleh kata-kata Arya, oleh sentuhannya, oleh tatapannya.
"Tuan... saya tidak bisa," bisik Maya, mencoba menjaga jarak.
"Kenapa tidak bisa?" Arya tersenyum tipis. "Karena ikatan yang tidak lagi memberikan kebahagiaan? Karena janji yang tidak lagi terpenuhi?"
Kata-kata Arya menusuk tepat ke inti masalahnya. Ia benar. Tama tidak lagi memberikan kebahagiaan itu. Janji pernikahan mereka terasa hambar.
"Saya tahu Anda merindukan sentuhan, Mbak Maya," Arya berbisik, ia mendekatkan wajahnya lagi. "Sentuhan yang memabukkan. Yang membuat Anda merasa diinginkan. Sentuhan yang tidak hanya sebatas kewajiban."
Maya memejamkan mata. Bayangan sentuhan Tama yang monoton, keint!man yang hambar, muncul di benaknya. Lalu, bayangan sentuhan Arya yang penuh gair4h, yang membakar, yang membuatnya merasa hidup kembali. Sebuah perbandingan yang menyakitkan, namun tak terhindarkan.
"Saya bisa merasakannya, Mbak Maya," Arya berbisik lagi, napasnya menerpa bibir Maya. "Anda menginginkan ini. Anda menginginkan saya."
Maya membuka mata. Arya menatapnya dengan tatapan penuh hasr4t. Sebuah tatapan yang begitu menggoda, begitu menuntut.
"Tuan..." Maya mencoba bicara.
Arya tidak memberi kesempatan. Ia mencondongkan tubuhnya, bib!rnya meny3ntuh bib!r Maya. Sebuah c! uman yang dalam, menuntut, penuh gair4h. Maya tidak membalas, tapi ia juga tidak menolak. Tubuhnya terasa lumpuh dalam dekapan Arya. Tangannya meraih pinggang Maya, menariknya mendekat.
Cluman itu semakin intens, semakin panas. Maya merasakan seluruh tubuhnya diliputi api. Ia merasakan tangan Arya masuk ke dalam bajunya, mengusap punggungnya perlahan. Sebuah sentuhan yang membuat Maya mendes4h.
Tiba-tiba, suara ketukan pintu depan terdengar.
Tok tok!
Maya dan Arya tersentak. Arya segera melepaskan c! umannya, menarik tangannya dari dalam baju Maya. Wajahnya terlihat sedikit terkejut, namun ia segera menguasai diri.
"Siapa itu?" Arya bertanya, nadanya tegas.
"Tuan Arya?" suara Bi Sumi terdengar dari luar. "Ini saya, Bi Sumi. Saya lupa membawa dompet saya."
Jantung Maya mencelos. Bi Sumi. Lagi. Ia pasti akan melihat semuanya. Rasa malu dan bersalah menghantamnya begitu kuat.
Arya menghela napas panjang. Ia melirik Maya, sebuah senyum tipis, penuh arti, terukir di bibirnya. "Kita belum selesai, Mbak Maya."
Ia segera bangkit, merapikan kausnya yang sedikit kusut. Maya segera merapikan bajunya, mengusap air mata di pipinya. Ia merasa dirinya berantakan, terpukul oleh emosi.
Arya berjalan menuju pintu depan. Maya hanya bisa duduk di sofa, mematung, merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia mendengar Arya berbicara dengan Bi Sumi, suara mereka samar-samar.
Tak lama kemudian, Arya kembali ke ruang kerja. Ia menutup pintu rapat-rapat. "Dia sudah pergi," kata Arya, suaranya tenang. Ia kembali duduk di samping Maya.
Maya menunduk, tidak berani menatap Arya.
"Mbak Maya," Arya memanggil. Ia meraih dagu Maya, mengangkatnya perlahan, memaksanya untuk menatapnya. "Lihat saya."
Mata Maya bertemu dengan mata Arya. Pria itu menatapnya dalam.
"Anda tidak perlu merasa bersalah," bisik Arya, suaranya lembut. "Apa yang kita rasakan ini... nyata. Anda berhak merasakannya."
Ia mengusap pipi Maya dengan ibu jarinya. Sebuah sentuhan yang membuat Maya merasakan merinding di sekujur tubuhnya.
"Saya tahu Anda menginginkan ini," Arya berbisik lagi, suaranya begitu mendesak. "Saya bisa merasakannya. Dan saya tidak akan berhenti sampai Anda mengakui itu."
Maya memejamkan mata. Ia tidak bisa lagi menolak. Arya benar. Ia menginginkan ini. Ia menginginkan Arya. Sebuah pengakuan tanpa kata yang membuat hatinya berdesir.
Arya mendekatkan wajahnya ke wajah Maya. Ia mencium kening Maya, lalu turun ke pipinya, dan berhenti di bibirnya. Kali ini, cluman itu terasa lebih lembut, lebih menenangkan, namun tetap penuh gair4h.
Maya membuka mata. Ia menatap Arya. Sebuah perasaan aneh muncul di benaknya. Ia tidak tahu apakah ini cinta, atau hanya gair4h. Tapi ia tahu, ia ingin lebih. Ia ingin tahu, sejauh mana batas ini akan terlampaui. Sebuah keinginan yang terlarang, yang kini terasa begitu kuat, begitu sulit untuk ditolak.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya