“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 26
Rasmi baru saja menambatkan dokarnya, sejak perdebatannya dengan Kasman beberapa bulan yang lalu, juga diusirnya Dasim dari joglo punjer, wanita itu memilih mengemudikan dokarnya sendiri tiap pergi ke pasar atau melihat panenan di lapak miliknya.
Langkahnya memelan saat menyentuh gagang pintu utama. Suara cekikikan seorang wanita, disusul lenguhan keenak'an, terdengar samar dari dalam rumah. Rasmi menghela napas lelah, tangannya perlahan mendorong pegangan pintu berukir salur daun sirih.
Di dipan kayu, Sasmitro tengkurap dengan bertelanjang dada. Di sampingnya, seorang wanita paruh baya duduk bersimpuh, sambil memelurut punggung Sasmitro dengan minyak kelapa bercampur bawang merah dan jahe.
Laki-laki itu memang tak jauh beda dengan sang putra—penggila selangkang. Rasmi masuk rumah dengan langkah patah-patah, ekor matanya melirik sang suami yang perlahan menutup mata. Namun, seketika terbuka saat mendengar langkah kakinya.
“Kau sudah pulang, Nimas?” sambut Sasmitro dengan suara berat.
Rasmi menyeringai halus. “Tumben sekali memanggil tukang urut kerumah,” sahutnya seraya meletakkan bakul bambu di meja.
“Dia bukan tukang urut, dia Maesaroh—ibunya Amina.”
Rasmi seketika menoleh, seringai di wajahnya berganti raut curiga. “Untuk apa dia datang? Kalau hanya untuk menjenguk cucunya, suruh cepat pulang, aku akan menyiapkan barang bawaan.”
Maesaroh menatap Rasmi sekilas, kepalanya menunduk pelan, bibirnya mengulas senyum yang sulit diartikan.
Sasmitro masih melenguh keenak'an, tangan lembut Maesaroh tetap memelurutnya tanpa memperdulikan tatapan penuh curiga sang ratu rumah.
“Dia akan tinggal di sini,” ucap Sasmitro, wajahnya meringis sembari mendesis. “Nah … nah di situ, Wong ayu, plurut lebih kuat di titik itu.”
Rasmi kembali menyeringai sinis. “Sejak kapan ada orang baru masuk tanpa seizinku?!”
Sasmitro menarik kolornya hingga sebatas pinggul, kulitnya yang keling berkilat licin—keringat bercampur minyak urut.
“Jeng Maesaroh ini ‘kan bukan orang lain, Nimas. Dia ibunya Amina, bukankah sama saja dia keluarga kita?”
“Keluargamu, bukan keluarga kita. Kartijo itu ‘kan anakmu!” sahut Rasmi, suaranya bergumam ketus.
Maesaroh menepuk pelan punggung Sasmitro. “Sampun, Juragan,” ucapnya, wanita itu kemudian membereskan peralatan urutnya.
Dengan sedikit melenggok Maesaroh berjalan mendekati Rasmi yang sedang menyeduh kopi. “Juragan putri mau sekalian saya urut?” tawarnya.
Rasmi melirik tajam, ujung alisnya bergerak samar. “Tidak perlu, cepat keluar dari rumah utama. Kau kesini untuk merawat cucumu ‘kan? Maka tetaplah berada di joglo utara, jangan sekali-kali masuk ke rumah utama tanpa seizinku.”
Maesaroh menunduk patuh, wanita itu buru-buru keluar, sembari bergumal dalam hati. ‘Dasar wanita sombong. Lihat saja, sebentar lagi posisimu akan jadi milikku.’
Sasmitro beranjak dari tidurnya, ia lalu menyahut sarungnya yang menyampir di pinggiran dipan.
“Kau ini kenapa, Nimas? Sejak kepergian Sulastri, semua orang kau larang masuk ke rumah utama,” ujar Sasmitro sembari menyeruput kopi yang diseduh sang istri.
“Aku tidak melarang, aku hanya mencegah tikus-tikus liar menggrogoti panenan.”
“Jadi maksud Biyung aku ini tikus?” Kartijo menyahut dengan suara datar.
Rasmi menyunggingkan senyum miring, satu tangannya menyulut kretek lalu mulai menghisapnya.
“Biyung, aku butuh uang. Tidak banyak, hanya beberapa ribu saja,” ucap Kartijo, tangannya turut mengambil satu batang rokok kretek di meja.
“Untuk apa?!” tanya Rasmi, dingin.
Kartijo menghisap rokoknya, asap tipis menyelusup dari bibir tipisnya. “Lastri mengajukan perceraian resmi, aku butuh pengacara dan beberapa kolega untuk menggagalkan rencananya.”
Rasmi berdecak pelan. “Ck, kau sendiri yang mengusirnya, sekarang kau pula yang kelimpungan menahannya.”
Kartijo menekannya ujung rokoknya ke asbak kayu berukir daun teratai. Satu tangannya mengepal di balik baju safari yang lusuh oleh keringat.
“Hanya beberapa ribu, tidak akan menghabiskan satu kali panenan dari puluhan kedok sawah milik Romo,” sahut Kartijo.
“Hanya ... katamu?!” Rasmi menyeringai seram.
“Apa Biyung lebih rela aku dipermalukan karena dceraikan wanita? Bukankah lebih baik jika aku beristri dua?!”
“Jauh lebih baik jika kau sungguh-sungguh bekerja, kau lupa sudah berapa kedok sawah yang kau habiskan di kedai tuak!” ucap Rasmi, nada suaranya meninggi.
Kartijo mendengus pelan, tatapannya belingsutan ke kanan-kiri. “Aku ini anak juragan, Biyung. Sawah dan ladang—”
“Apakah sampai bongkok kau tetap akan bersembunyi di balik nama Romomu?!” sela Rasmi. Wanita paruh baya itu menatap muak, jari telunjuknya mengacung tajam.
“Bukankah pada akhirnya semua juga akan di wariskan untukku!” Kartijo menjawab tak kalah sengit, matanya menyala, urat-urat di pelipisnya menonjol— menahan amarah.
Rasmi terbahak seketika, tawanya menggelegar hingga seisi ruangan. Ia menggeleng pelan, menatap sinis, lalu beranjak dari duduknya.
Wanita itu berdiri di hadapan Kartijo, kedua tangannya bertopang di sandaran kursi, matanya menajam, tawanya berganti seringai kejam.
“Apa kau pikir semua harta ini milik Romomu?!”
Sasmitro yang baru kembali dari kamar mandi, buru-buru menghampiri. “Sudahlah, Nimas. Kasih saja, dari pada teriak-teriak malu dengan tetangga.”
“Tetangga mana? Tetangga yang numpang hidup di joglo utara?” sindir Rasmi, tajam.
“Biy—”
“Sudah. Sana pergi!” sela Sasmitro sembari melemparkan beberapa lembar uang ke hadapan Kartijo.
Laki-laki bangkotan yang masih mengandalkan harta warisan itu pun tertawa senang, wajahnya menggaris senyum tipis, tangannya mengipaskan lembaran uang di depan dada.
“Urusan dengan Romo memang jauh lebih mudah ketimbang Biyung yang pelitnya seperti tikus menyimpan biji.”
Kartijo berjalan pergi sembari bersiul kecil, kaki kanannya menendang pintu hingga terbuka lebar. Tidak lama suara mobilnya meraung meninggalkan pelataran rumah yang mulai di terkam gelap malam.
“Sampai kapan kau akan memanjakan anakmu itu?!” sentak Rasmi, dadanya bergemuruh, tatapanya tercekat—malu.
“Aku tidak memanjakannya, Nimas? Aku—”
“Kau dan anakmu itu sama saja.”
Wanita itu kemudian keluar dari rumah utama, ia memilih berdiam di gudang penyimpanan, menghisap kretek srinti dan tuak aren.
Pikirannya menerawang, mengingat-ingat wajah Londo yang dilihatnya di pasar pagi tadi.
“Kenapa wajah itu bisa begitu mirip?” gumamnya lirih.
Kenangan berpuluh-puluh tahun silam menari di pelupuk mata. Bayangan wanita dengan gaun glamor dan hiasan topi kecil di kepala seolah menertawakannya.
Rasmi tertawa sumbang, suaranya tertahan getir. “Aku ini hanya budak … budak pemuas nafsu.”
Wanita dengan sorot mata tajam itu kemudian membaringkan tubuhnya di tumpukan gabah, telinganya masih cukup awas untuk mendengar suara seseorang yang melenguh nikmat di pelataran belakang.
Rasmi menghela napas panjang, giginya bergemeretak tegang. “Rumah ini semakin menjijikkan,” bisiknya sebelum terlelap dalam.
Bersambung.
Yang mau membully Kartijo ... waktu dan kolom komentar disediakan 🤣
Sebelum jadi tim hore di bab berikutnya ... #Eh🤧