Ongoing
Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.
Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Malam itu Jam di dinding kamar Ji Chen menunjukkan 01.17 ketika suara tangis kecil memecah keheningan rumah. Bukan tangis keras lebih seperti rengekan tercekik, patah-patah, seolah si pemilik suara itu sendiri takut pada tangisnya.
Ji Chen terbangun seketika. Ia duduk, jantungnya berdetak cepat. Tangannya langsung meraih sisi ranjang. Kosong. “Xiao Fan…” gumamnya. Tangis itu datang dari kamar sebelah.
Ji Chen bangkit, bahkan tidak sempat mengenakan sandal. Ia membuka pintu kamar Xiao Fan dengan gerakan cepat terlalu cepat untuk rumah yang seharusnya tenang. Anak itu menggeliat di ranjang kecilnya, tubuhnya melengkung, kening berkerut. Selimut terlempar setengah, kaus tidurnya basah oleh keringat. “Jangan… jangan…” lirih Xiao Fan, matanya tertutup rapat.
Ji Chen langsung duduk di tepi ranjang. “Xiao Fan. Ayah di sini.” Ia mengusap rambut anak itu dengan lembut.
Tangis Xiao Fan membesar. “Ma… Mama marah…” suaranya pecah. “Aku tumpahin susu… sakit…” Tubuh Ji Chen menegang. Tangannya berhenti sejenak di udara, lalu memeluk Xiao Fan erat. Anak itu tersentak, matanya terbuka kacau, basah, penuh ketakutan yang belum sepenuhnya pergi. “Ayah?” suaranya gemetar.
“Iya. Ayah. Sudah tidak apa-apa.” Xiao Fan langsung mencengkeram baju Ji Chen dengan kedua tangan kecilnya, seolah takut ayahnya menghilang jika dilepas. “Jangan tinggalin aku…”
Kata-kata itu terlalu berat untuk anak sekecil itu. Ji Chen menutup mata. Dadanya terasa diremas. “Ayah di sini,” ulangnya. “Ayah tidak pergi.” Xiao Fan mengangguk kecil, tapi tangannya tidak mengendur. Butuh hampir dua puluh menit sampai napas anak itu benar-benar tenang. Ji Chen tetap duduk di sana, tidak bergerak, bahkan ketika kakinya mulai pegal. Ia membiarkan Xiao Fan tertidur kembali dengan wajah menempel di dadanya.
Di luar kamar, lampu koridor menyala redup. Feng Niu berdiri di sana. Ia sudah terbangun sejak tangis pertama. Bukan karena khawatir melainkan karena terganggu. Ia menyandarkan bahu ke dinding, menyilangkan tangan. Wajahnya datar, tapi sorot matanya gelisah.
Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat punggung Ji Chen. Melihat anak itu tertidur dalam pelukan ayahnya. Ada sesuatu yang menusuk dadanya. Bukan rasa bersalah. Lebih seperti… ketidaknyamanan. Ia memalingkan wajah. Tidak masuk. Tidak bertanya. Ia kembali ke kamar, menutup pintu pelan seolah takut suara itu akan membuatnya harus menghadapi sesuatu yang tidak ingin ia hadapi.
Pagi hari nya Xiao Fan terbangun lebih lambat dari biasanya. Matanya sembab, lingkar gelap samar terlihat di bawahnya. Ji Chen sudah bangun lebih dulu. Ia membawakan sarapan ke meja kecil di kamar: roti panggang, telur rebus, susu hangat.
Xiao Fan duduk, tapi tidak langsung makan. Ia menatap gelas susu itu lama. Tangannya bergetar kecil. “Tidak mau?” tanya Ji Chen lembut. Xiao Fan menggeleng cepat. “Takut tumpah.”
Ji Chen terdiam sejenak. Lalu ia mengambil gelas itu, menuangkan sedikit susu ke dalam cangkir kecil yang lebih ringan. “Kalau tumpah, tidak apa-apa,” katanya pelan. “Ayah bersihkan.” Xiao Fan menatap ayahnya ragu. “Tidak dimarahi?”
Ji Chen menelan ludah. “Tidak.” Setelah beberapa detik, Xiao Fan mengangguk. Ia memegang cangkir itu dengan dua tangan. Gerakannya sangat hati-hati—terlalu hati-hati untuk anak seusianya.
Ji Chen memperhatikan. Dan lagi-lagi, ada sesuatu di dalam dadanya yang runtuh perlahan.
Siang nya Ji Chen kembali ke kantor, tapi pikirannya tertinggal di rumah. Chen Li memperhatikan wajah bosnya yang muram. “Tuan, Anda ingin saya pulang lebih awal hari ini?” tanya Chen Li hati-hati. Ji Chen mengangguk. “Tolong. Aku akan pulang jam enam.” Chen Li mencatat. Ia tidak bertanya kenapa. Ia sudah cukup lama bekerja dengan Ji Chen untuk tahu ini bukan soal pekerjaan.
Sementara itu, di rumah. Xiao Fan duduk di lantai ruang tamu, menggambar dengan krayon. Pengasuh duduk di sampingnya. Feng Niu turun dari tangga, mengenakan pakaian rapi, siap pergi. Xiao Fan mendongak sekilas lalu kembali menunduk.
Biasanya ia akan memanggil. Hari ini tidak. Feng Niu berhenti. “Kau tidak sekolah?” tanyanya. Xiao Fan menggeleng. “Libur.”
“Kenapa tidak menyapa?” suara Feng Niu terdengar tajam. Xiao Fan terkejut. Ia berdiri cepat. “Pagi, Mama.” Nada suaranya kaku. Feng Niu menatapnya beberapa detik. “Kenapa wajahmu seperti itu?” Xiao Fan tidak menjawab.
Pengasuh buru-buru menyela, “Dia kurang tidur, Nyonya.” Feng Niu mendengus. “Anak kecil terlalu manja.” Ia melangkah pergi. Pintu kembali tertutup. Xiao Fan berdiri mematung. Tangannya meremas krayon sampai patah. Ia tidak menangis. Ia hanya duduk kembali. Lebih diam dari kemarin.
Malam hari tiba Ji Chen pulang tepat waktu. Xiao Fan langsung berlari menghampiri tapi berhenti dua langkah sebelum menyentuh. Ji Chen berlutut. “Boleh peluk?” Xiao Fan mengangguk cepat. Pelukan itu berlangsung lama. Terlalu lama untuk sekadar rindu sehari.
Feng Niu memperhatikan dari kejauhan, wajahnya datar. “Ayah,” Xiao Fan berbisik, “aku mimpi lagi nanti gimana?” Ji Chen mengelus punggungnya. “Kalau mimpi, Ayah bangun.”
“Kalau Ayah kerja?”
“Ayah pulang.”
Kata-kata itu diucapkan Ji Chen dengan tekad tapi juga ketakutan. Karena ia tahu, ia tidak selalu bisa menepatinya. Malam semakin larut. Xiao Fan tertidur lebih cepat, tapi tubuhnya masih sering bergerak, seolah dunia tidurnya tidak aman.
Ji Chen duduk di samping ranjang, tidak langsung pergi. Feng Niu berdiri di ambang pintu. “Dia mimpi buruk lagi?” tanyanya, akhirnya. Ji Chen mengangguk. “Dia menyebut namamu.” Feng Niu menegang. “Jangan berlebihan,” katanya dingin. “Anak kecil suka membesar-besarkan.”
Ji Chen menatapnya. “Tidak,” jawabnya pelan. “Anak kecil tidak tahu cara berbohong tentang rasa takut.” Keheningan jatuh di antara mereka. Jam berdetak. Feng Niu memalingkan wajah. “Aku capek.” Ia pergi. Ji Chen tetap di sana. Mengusap rambut anaknya. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia berpikir Bukan hanya Feng Niu yang perlu berubah. Tapi ia juga. Karena setiap malam seperti ini….Setiap mimpi buruk yang dibiarkan… Akan tumbuh menjadi luka yang jauh lebih sulit disembuhkan.