Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PROLOG : Janji di Ujung Musim Dingin
Malam Natal seharusnya tentang cahaya dan kehangatan. Namun, di villa yang bertengger sendirian di puncak bukit ini, malam hanya menawarkan dingin yang menggigit hingga ke tulang.
Di luar, badai salju bukan sekadar cuaca buruk; itu adalah amarah alam yang mengisolasi dunia. Angin menderu seperti serigala lapar, menampar-nampar jendela kaca yang berembun tebal.
Di dalam ruang tengah yang temaram, hanya ada suara detak jam dinding tua. Tik... tok... tik... Setiap detiknya terasa lambat, seperti sedang menyeret beban penantian yang teramat berat.
Ada dua cangkir teh porselen di atas meja kayu bundar. Satu cangkir masih mengepulkan uap tipis, tanda baru saja diseduh dengan penuh harap. Cangkir lainnya sudah lama dingin, permukaannya nyaris membeku, tak tersentuh.
Sosok itu duduk di kursi goyang menghadap jendela besar. Punggungnya kaku. Dia tidak bergoyang. Dia hanya... menunggu. Jari-jarinya yang pucat mencengkeram sebuah kotak musik kecil berukir bunga edelweiss. Kuncinya sudah diputar habis sejak berjam-jam lalu, tetapi dia menahan tutupnya agar melodinya tidak berdenting.
Belum waktunya.
"Kamu bilang tidak akan terlambat," bisiknya lirih. Suaranya serak, seperti gesekan daun kering di musim dingin. "Kamu janji tidak akan membiarkanku sendirian di sini."
Matanya menatap kosong menembus kaca yang gelap, mencari sorot lampu mobil di jalan setapak yang kini telah terkubur salju.
Kemudian, jam besar di sudut ruangan mulai
berdentang.
Teng...
Satu.
Teng...
Dua.
Hingga dua belas kali. Lonceng tengah malam. Batas akhir sebuah janji.
Tidak ada ketukan di pintu. Tidak ada derap langkah kaki yang tergesa. Tidak ada pelukan hangat yang dijanjikan.
Harapan adalah hal terakhir yang mati malam itu. Dan ketika ia akhirnya padam, yang tersisa di ruangan itu hanyalah kehampaan yang membeku. Rasa sakit yang begitu dalam hingga mengubah udara di
sekitarnya menjadi es.
Krak.
Cangkir teh yang dingin di atas meja tiba-tiba retak, terbelah dua dengan rapi tanpa ada yang menyentuh.
Sosok di kursi itu berhenti berbisik. Dia perlahan mengangkat wajahnya, menatap pantulan dirinya sendiri di kaca jendela yang hitam pekat.
Di luar sana, badai semakin mengila. Di dalam kaca, pantulan wajahnya perlahan tersenyum.
Itu bukan senyum kesedihan. Itu adalah senyum dari sesuatu yang telah memutuskan untuk berhenti menunggu, dan mulai menagih.