Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berharap
Pramudya menatap ponselnya, hatinya berpacu. Ia tahu Nika dalam bahaya. Namun, posisinya yang jauh membuatnya tak bisa berbuat banyak. Pikirannya kalut.
Tiba-tiba, sebuah nama melintas di benaknya: Roy. Dia satu satunya orang yang bisa dimintai tolong oleh Pram, Pramudya tahu Roy tinggal di dekat apartemen Nika. Tanpa ragu, ia segera menghubungi Roy.
"Roy, ini Pramudya," suara Pramudya terdengar tergesa. "Nika... Nika butuh bantuan. . Dia bilang dia berdarah dan kesakitan, lalu pingsan. Gue jauh sedang tinjau proyek di luar kota tolong cek dia!"
Di ujung telepon, Roy terkejut mendengar kabar dari Pramudya. Sebagai bawahan sekaligus sahabatnya Pram, insting pertolongannya lebih kuat. "Apa?! Berdarah? Baik, aku segera ke sana!" Roy tidak menunggu penjelasan lebih lanjut. Ia tahu ini gawat.
Roy langsung bergegas ke apartemen Nika. Setibanya di sana, ia langsung menuju pos keamanan.
"Bapak sekalian saya minta tolong satu orang ikut saya ke unit 12A ,teman saya butuh pertolongan," kata Roy dengan napas terengah. "Saya barusan dihubungi oleh Pramudya, ada keadaan darurat. Nika pingsan dan butuh bantuan medis segera. Saya mohon bantuannya untuk segera membawanya ke rumah sakit ."
Petugas keamanan, melihat ekspresi panik Roy dan mendengar urgensi situasinya, segera bertindak. Mereka tidak bisa gegabah, tetapi keselamatan penghuni adalah prioritas.
Setelah melakukan verifikasi singkat dan memastikan Roy adalah salah satu pemilik unit dan memiliki hubungan dengan Nika, salah satu petugas keamanan, ditemani Roy, bergegas menuju unit 12A.
Mereka mengetuk pintu berkali-kali, namun tidak ada jawaban. Kekhawatiran Roy semakin menjadi. "Kita harus mendobraknya!" desaknya.
Dengan persetujuan dari petugas keamanan, yang juga khawatir, mereka membuka paksa pintu unit 12A.
Begitu pintu terbuka, pemandangan di dalam membuat Roy dan petugas keamanan terhenyak. Nika tergeletak di lantai ruang tamu, tak sadarkan diri, dengan noda darah gelap yang jelas terlihat di celananya. Wajahnya pucat pasi, dan keringat dingin membasahi pelipisnya.
Roy langsung berlutut di samping Nika. "Nika! Nika, bangun!" Ia menepuk pipi Nika perlahan, namun tidak ada respons.
Petugas keamanan segera menghubungi ambulans dan menginstruksikan staf medis darurat. Sementara menunggu, Roy dengan hati-hati mencoba memeriksa kondisi Nika, namun ia tahu ini bukan keahliannya. Rasa panik dan cemas memenuhi dirinya. Ia hanya bisa berdoa agar Nika baik-baik saja.
Tak lama kemudian, suara sirine ambulans terdengar mendekat, menandakan pertolongan medis sudah tiba. Roy menatap Nika, hatinya iba secara tidak langsung ia adalah orang yang membuat Nika ada di posisi ini sekarang. Ia tahu ini bukan saatnya memikirkan masalah masa lalu. Yang terpenting sekarang adalah keselamatan Nika.
Paramedis yang tiba segera memeriksa Nika dengan cepat. Raut wajah mereka tegang. Salah seorang paramedis berteriak tegas, "Pendarahan hebat! Pasien syok hipovolemik! Pasang dua jalur infus besar! Segera siapkan kristaloid dan hubungi UGD untuk permintaan darah cito O-Negatif! Kita harus mengganti volume darahnya segera!"
Seorang paramedis lain dengan sigap memasang infus di kedua lengan Nika. "Kita harus segera membawanya ke rumah sakit, kita butuh ruang operasi dan bank darah!"
Roy segera menjelaskan kronologi kejadian, termasuk fakta bahwa Nika sedang hamil, yang membuat tim medis semakin tegap. Mereka dengan hati-hati memindahkan Nika ke tandu.
"Saya ikut," kata Roy tegas. "Saya akan menemaninya."
Roy segera menjelaskan kronologi kejadian pada paramedis, termasuk fakta bahwa Nika sedang hamil. Informasi itu membuat paramedis semakin sigap. Mereka dengan hati-hati memindahkan Nika ke tandu. Roy, tanpa ragu, mengikuti mereka, hatinya berdegup kencang. Ia ingin memastikan Nika aman.
Di dalam ambulans, suasana terasa mendidih oleh urgensi. Roy menggenggam tangan Nika yang dingin. Ia melihat seorang paramedis dengan cekatan menyuntikkan cairan infus.
"Tekanan darahnya turun, detak jantungnya cepat!" lapor paramedis di depan.
"Jalur infus sudah berjalan, kita percepat aliran cairannya. Terus pantau syoknya!" balas yang lain, sambil terus menstabilkan leher Nika.
Roy tahu, setiap detik adalah pertarungan untuk mengisi kembali darah yang hilang. Roy menggenggam tangan Nika yang dingin. Wajah Nika begitu pucat, membuatnya teringat pada saat-saat awal mereka bertemu. Betapa rapuh Nika saat ini. Berbagai emosi bercampur aduk di dada Roy: cemas, takut, dan sedikit rasa bersalah. Ia merasa tidak berdaya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Nika? Dan bagaimana ini bisa terjadi ?
Di tempat lain, Pram tak bisa tenang. Ia terus-menerus menghubungi Roy, cemas menunggu kabar. Begitu teleponnya berdering dan melihat nama Roy di layar, ia langsung mengangkatnya.
"Bagaimana, Roy?! Bagaimana Nika?" suara Pramudya terdengar putus asa.
"Dia sudah di ambulans, Pram," jawab Roy, napasnya masih terengah. "Gue ikut ke rumah sakit. Pendarahannya cukup parah."
Pramudya terdiam sesaat, hatinya mencelos. Pendarahan parah. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya. Ia tahu betul risiko yang dihadapi Nika dan bayi dalam kandungannya. "Rumah sakit mana?" tanyanya, suaranya tercekat.
Roy menyebutkan nama rumah sakit terdekat. "Gue akan terus memberi kabar. Lo tidak perlu khawatir."
"Tidak khawatir bagaimana?!" Pramudya membentak, kemudian menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Gue akan segera menyusul, secepatnya, setelah pekerjaan gue selesai.Tolong jaga Nika, Roy."
Sesampainya di rumah sakit, Nika langsung dibawa ke UGD. Roy menunggu dengan gelisah di luar, mondar-mandir. Setiap menit terasa seperti jam. Ia mencoba menelepon keluarga Nika, tapi ia menyadari bahwa Nika tidak pernah memberikan informasi apapun tentang keluarganya. Nika tidak punya siapa-siapa, setidaknya yang ia tahu.
Beberapa waktu kemudian, seorang dokter keluar dari UGD. Roy segera menghampirinya.
"Bagaimana keadaan Nika, Dok?" tanyanya cemas.
Dokter melepas maskernya, wajahnya tampak serius. "Pasien mengalami pendarahan hebat. Kami sedang berupaya menghentikan pendarahannya dan menstabilkan kondisinya. Ini kondisi yang sangat kritis, terutama karena kehamilannya."
Roy merasakan lututnya lemas. Kritis. Kehamilannya. Ini adalah mimpi buruk yang menjadi nyata. "Bagaimana dengan bayinya, Dok?"
Dokter menghela napas. "Kami sedang melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan keduanya. Untuk saat ini, kami belum bisa memberikan kepastian. Mohon doanya."
Roy hanya bisa mengangguk, tenggorokannya tercekat. Ia kembali duduk di kursi tunggu, kepalanya tertunduk. Bayangan wajah Nika, suaranya yang lirih saat minta tolong, dan kini perkataan dokter... semua itu berputar di benaknya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Nika... jika mereka berdua tidak selamat.
Waktu terasa berjalan lambat bagi Pramudya. Perjalanan dari luar kota terasa sangat panjang. Ia terus-menerus memacu kendaraannya, melanggar batas kecepatan demi sampai lebih cepat. Pikirannya dipenuhi bayangan Nika, suaranya yang lirih di telepon, dan kabar dari Roy tentang pendarahan hebat.
Ketika akhirnya ia tiba di rumah sakit, ia langsung berlari menuju meja informasi. "Arunika! Pasien atas nama Arunika!" tanyanya terengah-engah.
Petugas mengarahkannya ke ruang tunggu UGD. Dari kejauhan, Pramudya melihat Roy duduk di kursi, wajahnya tegang dan murung. Hati Pramudya mencelos. Keadaan Nika pasti sangat buruk jika bahkan Roy, yang biasanya tenang, terlihat seputus asa ini.
"Roy!" Pramudya menghampiri. "Bagaimana keadaan Nika?
Roy mendongak, matanya yang lelah menatap Pramudya "Belum ada kabar, Pram. Dia langsung dibawa masuk ke UGD, dokter dan perawat semua berkumpul. Mereka sudah minta disiapkan kantong darah O-Negatif sejak di ambulans. Pendarahannya benar-benar mengancam nyawa."
Kata-kata 'darah O-Negatif' dan 'mengancam nyawa' menghantam Pramudya. Transfusi darurat. Itu berarti kondisinya sudah di ambang batas.
Kata-kata 'kritis' dan 'bayinya' menghantam Pramudya seperti palu. Ia tahu ini lebih dari sekadar sakit perut biasa. Ini adalah pertaruhan hidup dan mati. Pramudya duduk di samping Roy, menyandarkan kepalanya ke dinding. Penyesalan menggerogoti hatinya. Seandainya ia ada di sana.
Pram tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Arunika sampai bisa terjadi seperti ini. Sekarang Pram hanya bisa berharap semoga Nika dan bayinya baik baik saja. Walaupun Pram tidak menginginkan mereka tapi mendengar perkataan dokter membuat hati Pram terluka.