Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebebasan Arwah Tumbal
Api hijau yang membumbung tinggi dari pertemuan Lilin Hitam dan Liontin Tumbal yang asli di atas batu nisan Sari menyelimuti Gua Bunga Abadi. Udara dipenuhi suara desisan dan raungan Mbah Pawiro yang terperangkap di dalam api.
Bian dan Tiara terlempar ke sudut gua, terlindungi oleh dinding batu. Pak Rahmat, yang kini dikuasai Mbah Pawiro, menjerit kesakitan karena api kutukan itu sendiri membakar dirinya.
"Tidak! Aku tidak bisa dihancurkan!" raung Mbah Pawiro dari api hijau. "Aku adalah sumpah! Aku abadi!"
Arwah Sari, yang sebelumnya muram, kini berdiri tepat di atas batu nisan, dikelilingi oleh api. Ia tidak terbakar. Sebaliknya, api itu menembus dirinya, membuatnya terlihat semakin padat dan utuh. Ekspresi wajah Sari berubah dari duka menjadi pemahaman yang dalam.
"Kau! Kau yang mengikatku!" teriak Sari, suaranya kembali sedih, tetapi kini kuat dan jelas, ditujukan pada Lilin Hitam.
Pak Rahmat yang terbakar, berjuang melawan kendali Mbah Pawiro di tubuhnya. "Dia milikku! Sumpah itu milikku! Aku yang akan mengikatnya, bukan Pranoto!"
Bian dan Tiara tahu ini adalah momen krusial. Lilin Hitam dan Liontin Tumbal yang asli kini telah bersatu, menciptakan pusat energi yang menarik kekuatan Kutukan.
"Kita harus membebaskan Sari dari sumpah itu!" teriak Bian.
"Api Suci!" balas Tiara. "Kakek bilang Api Suci! Air yang disucikan Liontin hanya memadamkan Mbah Pawiro sementara, tapi Liontin asli ini harus bekerja dengan api!"
Tiara teringat pada bunga kering yang diawetkan di atas kotak kayu satu-satunya benda yang masih utuh di gua itu.
"Bunga itu, Bian! Bunga Abadi! Kakek pasti menyembunyikan Api Suci di dalamnya!"
Bian merangkak cepat ke altar batu, meraih kotak kayu, dan mengambil setangkai bunga kering yang diawetkan. Bunga itu terasa hangat dan memancarkan aroma manis yang sangat kontras dengan bau belerang di gua.
Saat Bian memegang bunga itu, suara Arwah Sari terdengar lagi, namun kali ini lembut, penuh kerinduan.
"Bunga itu... kenangan kita... Bunga Candra. Bunga kebahagiaan sejati."
Bian menatap Arwah Sari, lalu ke bunga itu, dan kemudian ke api hijau yang membakar batu nisan. Bian mengerti. Penebusan Sari bukan hanya tentang Liontin atau surat. Penebusan adalah tentang menggenapi janji cinta sejati di tempat pengkhianatan terjadi.
Bian melompat ke arah Api Hijau, menghindari reruntuhan batu.
"Jangan! Kau akan terbakar!" teriak Pak Rahmat yang berjuang.
Bian tidak gentar. Ia mencengkeram Bunga Abadi itu dan melemparkannya tepat ke dalam pusat api hijau, tempat Lilin dan Liontin menyatu.
Begitu Bunga Abadi menyentuh api hijau, terjadi perubahan yang luar biasa.
Api hijau yang jahat itu segera meredup. Bunga itu tidak terbakar. Sebaliknya, Bunga Abadi itu mekar seketika, dan api yang tadinya hijau gelap kini berubah menjadi api keemasan murni yang lembut.
Api Keemasan itu adalah Api Suci.
Mbah Pawiro menjerit, kali ini bukan karena amarah, melainkan karena rasa sakit yang mematikan.
"Tidak! Ini adalah api cinta! Ini mematahkan sumpahku!" raung suara Mbah Pawiro yang kini terdengar lemah, semakin menciut.
Api keemasan itu mulai melilit Lilin Hitam. Lilin itu tidak terbakar menjadi abu, melainkan meleleh menjadi cairan putih bersih, seolah Kutukan yang kotor telah dimurnikan.
Di saat yang sama, Liontin Tumbal yang asli di tengah api itu, bersinar terang, dan melayang ke udara.
Arwah Sari, yang diselimuti cahaya keemasan itu, menutup matanya. Semua duka dan kemarahan menghilang dari wajahnya. Ia kini terlihat seperti pengantin wanita yang seharusnya ia nikahi.
Bian melihat surat Pranoto yang dipegang Tiara. Surat itu adalah janji yang dikhianati.
"Penebusan! Sumpah harus dipenuhi!" teriak Bian.
Tiara, mengerti, maju ke depan. Ia melempar surat Pranoto ke dalam api keemasan.
Surat itu terbakar seketika. Tetapi saat terbakar, kata-kata di dalamnya tidak lenyap menjadi abu. Sebaliknya, kata-kata itu berubah menjadi untaian cahaya yang melilit Liontin Tumbal yang melayang di udara.
Janji Cinta Sejati dan Liontin lambang pernikahan mereka)kini telah bersatu.
Arwah Sari membuka matanya. Ia tersenyum—senyum yang penuh damai dan syukur.
"Terima kasih, cucuku... Akhirnya, aku bebas dari sumpah dendamku..." bisik Sari, suaranya tenang dan lega.
Arwah Sari menoleh ke arah Pak Rahmat yang terbakar. Pak Rahmat menjerit, karena api keemasan itu tidak hanya membakar Kutukan, tetapi juga membakar kejahatan di dalam dirinya.
Dari tubuh Pak Rahmat, sosok bayangan hitam yang menyerupai Mbah Pawiro ditarik paksa keluar oleh Api Suci. Bayangan Mbah Pawiro menjerit kesakitan, berusaha melarikan diri, tetapi Api Suci terlalu kuat.
Bayangan Mbah Pawiro lenyap menjadi debu, dan Lilin Hitam yang meleleh menjadi cairan putih suci, menguap sepenuhnya.
Kutukan telah hancur.
Pak Rahmat ambruk ke tanah. Ia tidak mati, tetapi ia tampak sangat tua, lemah, dan bebas dari kendali Mbah Pawiro.
Arwah Sari, yang kini benar-benar bebas, menatap Bian dan Tiara untuk terakhir kalinya. Ia melayang ke arah Liontin Tumbal yang diselimuti cahaya keemasan. Ia menyentuh liontin itu.
Liontin itu hancur menjadi debu emas yang lembut, dan debu itu berputar, lalu menghilang.
Arwah Sari tersenyum damai. Wujudnya menjadi transparan dan, seperti kabut yang diangkat oleh matahari pagi, ia pun menghilang sepenuhnya dari Gua Bunga Abadi.
Cahaya keemasan di gua meredup, meninggalkan keheningan yang luar biasa.
Bian dan Tiara berdiri, kelelahan tetapi selamat. Kutukan Arwah Tumbal Desa telah berakhir.
Mereka keluar dari Gua Bunga Abadi. Di luar, di antara rumpun bambu, para pengikut Mbah Pawiro yang tadinya bersenjata kini terduduk di tanah, bingung dan lemah. Mereka hanya orang desa biasa yang terkena pengaruh kuat Kutukan.
Bian dan Tiara menyadari bahwa meskipun mereka selamat, mereka telah kehilangan Jaga, dan mereka harus menghadapi konsekuensi dari kekacauan ini.
Mereka melihat ke arah jalan setapak yang menuju ke hutan lebat. Di sana, berdiri sesosok bayangan yang tidak bergerak.
Bayangan itu adalah Jaga.
Jaga tidak mati. Meskipun Bian dan Tiara melihatnya ambruk, Jaga ternyata hanya pingsan dan berhasil merangkak keluar dari jurang, didorong oleh tekadnya yang besar.
Jaga menatap mereka dengan mata yang jernih, bebas dari rasa sakit. Ia tidak lagi bisu.
"Kalian berhasil," ujar Jaga, suaranya serak tetapi stabil. "Kalian mengakhiri janji kakekmu."
Bian dan Tiara tersenyum lega. Mereka bisa kembali ke peradaban.
Jaga kemudian menunjuk ke arah Timur, ke arah Desa Raga Pati.
"Desa itu kini bebas. Tapi... ada hal lain yang menanti kalian di sana."
Jaga berjalan ke arah timur, menuju desa, untuk memulihkan ketenangan.
Bian dan Tiara mengikutinya, meninggalkan hutan.
Namun, saat mereka berdua melihat ke arah Gua Bunga Abadi untuk terakhir kalinya, mereka melihat sepotong batu basal tergeletak di tepi sungai, tempat Lilin Hitam sempat aktif kembali.
Di permukaan batu basal itu, terdapat ukiran kecil yang baru, yang belum pernah ada sebelumnya.
Ukiran itu adalah lambang mata tunggal yang familiar, tetapi di bawahnya, ada tulisan tangan yang sangat kecil, ditulis dengan goresan yang terlihat seperti darah kering.
Tulisan itu berbunyi:
"PAWANG BARU TELAH LAHIR. SELAMAT DATANG DI RAGA PATI."
Bian dan Tiara tersentak. Kutukan itu mungkin telah berakhir, tetapi perang melawan kegelapan baru saja dimulai. Mereka telah membebaskan Arwah Sari, tetapi apakah mereka kini terikat pada Desa Raga Pati sebagai 'Pawang Baru'-nya?
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"