Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 1.
Beberapa bulan setelah kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia, udara di dusun Akar wangi terasa lain.
Bukan lagi dentuman perang yang mengguncang bumi, melainkan langkah langkah baru. Para pemuda berseragam lusuh dengan pita merah putih di lengan, berjalan dari dusun ke dusun membawa surat surat bertanda stempel baru. Lambang negara baru.
Suara mereka bukan lagi suara perang, melainkan suara zaman yang sedang tumbuh dengan semangat baru.
Suatu pagi, tiga orang datang ke loji Tuan Menir. Mereka memperkenalkan diri sebagai Komite Rakyat untuk Pembebasan Tanah Kolonial.
Langkah mereka menimbulkan debu di halaman yang kini ditumbuhi rumput liar.
Yang tertua di antara mereka, seorang guru dari kota kecil. Berbicara dengan nada sopan, dan di balik suaranya tersimpan keyakinan zaman baru.
“Nyi Kodasih,” katanya, “menurut keputusan pemerintah republik, semua peninggalan Belanda .. loji, kebun kopi, juga tanah sekitarnya. Akan diambil alih negara untuk rakyat. Termasuk yang panjenengan rawat selama ini.”
Kodasih, perempuan muda dengan wajah penuh bekas luka, akibat amarah arwah Tuan Menir, menatap mereka agak lama. Seolah waktu berhenti di matanya.
Angin dari arah kebun kopi membawa wangi daun muda dan sisa embun tanah. Menerpa selendang tipis kerudung kepalanya. Ia masih mengenakan kebaya hitam sederhana, rambut disanggul rapi.
“Aku tahu, Pak Guru,” ucapnya pelan. “Tapi loji ini bukan sekadar peninggalan kolonial. Di sini orang bekerja, makan, berdoa. Kebun kopi itu menghidupi banyak mulut. Kalian mau ambil semuanya begitu saja?”
Orang yang paling muda menunduk. Suaranya pelan, seperti orang yang sedang menegur dirinya sendiri.
“Loji dan tanah tanah peninggalan kolonial akan menjadi milik rakyat, Nyi. Tidak bisa dimiliki oleh pribadi lagi. Maaf..”
Kodasih tersenyum samar. Mata nya masih masih menatap tajam.
“Rakyat, ya... rakyat. Tapi rakyat yang mana? Yang menanam dan memetik kopi setiap hari, atau yang datang membawa stempel dan surat?”
Hening.
Hanya terdengar suara Warastri di halaman, tertawa kecil sambil mengumpulkan bunga kantil yang gugur.
Tawa itu seperti mengingatkan bahwa sesuatu dari masa lalu masih hidup, meski sebentar lagi akan lenyap.
Guru itu menarik napas, lalu berkata:
“Kami tidak bermaksud jahat, Nyi. Tapi zaman sudah berganti. Loji harus jadi lambang merdeka, bukan kenangan.”
Kodasih diam sejenak, menatap dinding loji. Dinding yang menyimpan cinta, derita dan rindu menanti Tuan Menir, kini menjadi tempat pengobatan, tempat ritual, tempat hidup.
Ia menunduk, lalu berkata dengan nada tenang tapi tegas. “Kalau begitu, beri aku waktu, Pak Guru..”
Kodasih mendongak menatap lagi ke arah dinding loji.. lalu ke arah kebun kopi..
Pak Guru menunduk dan masih menunggu kalimat dari bibir Kodasih..
“Aku perlu waktu untuk berpamitan dengan loji ini, dengan kebun, dengan pegawai, dengan tanah yang sudah kutebus dari sepi.
Kalian boleh datang lagi setelah panen kopi terakhir. Biar aku yang menutup pintu loji ini sendiri.” Lanjut Kodasih sambil menatap ketiga orang itu satu per satu.
Ketiga nya saling pandang. Tak ada yang berani menolak secara terang. Hanya angin yang menjawab dengan desir panjang, seperti tanda setuju yang tak diucapkan.
Guru itu akhir nya berucap, “Baiklah, Nyi. Kami akan kembali setelah panen. Semoga semua berjalan lancar.”
Kodasih membalas dengan senyum kecil. Senyum yang bukan tanda menyerah, tapi cara perempuan menjaga kehormatannya di tengah arus sejarah.
Setelah ketiga orang itu meninggalkan loji. Kodasih memejamkan mata, teringat akan pesan dari Mbah Jati:
“Jaga awakmu. Nanging yen dina kuwi teka, kunci loji iki kudu mbok pasrahke kanthi legawa. Sebab wiwit dina kuwi, loji iki bakal dadi omah negara.”
Kodasih menarik nafas panjang, lalu membuka mata perlahan..
“Aku harus ikhlas…” gumamnya.
Di saat ia membalikkan tubuhnya, tampak Mbok Piyah berdiri di belakangnya. Air mata berurai di pipi perempuan gemuk separuh baya itu.
“Nyi... apa benar kita semua akhirnya harus pergi dari loji ini?” tanya Mbok Piyah dengan suara gemetar.
“Iya, Mbok. Aku juga sudah mendengar siaran dari radio transistor. Semua peninggalan kolonial akan diambil alih oleh pemerintah RI. Cepat atau lambat.”
“Aku tidak mau dituduh membangkang dan akhirnya dipenjara di negeri sendiri,” ucap Kodasih lagi, lalu ia melangkah masuk ke dalam loji.
“Iya, Nyi... kita ikhlaskan. Semoga setelah merdeka keadaan menjadi baik, Nyi... tidak ada lagi rakyat yang kekurangan dan kelaparan,” gumam Mbok Piyah sambil menutup pintu loji.
✨✨✨
Menjelang senja, Mbok Piyah menyalakan lampu gantung di teras. Di atas meja, kendi berisi air dan daun kelor terakhir dari kebun belakang.
Kodasih duduk memandangi pantulan wajahnya di air kendi. Kali ini tak ada lagi dua bayangan. Hanya dirinya sendiri, tenang dan lelah.
“Nyi,” suara Mbok Piyah lirih, “kalau Nyi belum punya tempat baru... ikut saja ke rumah saya. Tak besar, tapi cukup hangat.”
Mbok Piyah tahu banyak tentang masa lalu Kodasih. Tentang orang tuanya yang tak pernah punya rumah, tentang semua saudaranya yang meninggal saat kecil karena kelaparan.
Kodasih mengangguk tanda setuju. Lalu menatap lampu gantung yang bergoyang ditiup angin. Api kecil itu bergetar, seolah meniru nasib loji: sebentar lagi padam, tapi meninggalkan cahaya di mata yang pernah menyaksikannya.
Waktu pun terus berlalu. Musim panen tiba perlahan, bersama kabut yang menggantung di dusun Akar wangi.
Hujan sudah jarang turun, tapi embun masih setia menempel di pucuk daun kopi. Seolah bumi belum rela melepaskan sisa kesuburannya.
Setiap pagi, Kodasih berjalan ke kebun ditemani Mbok Piyah. Kadang Warastri dan Sumilir ikut serta. Kedua anak itu berlari lari dengan telanjang kaki, tangan tangan mungil mereka sibuk mengumpulkan bunga bunga rumput liar.
Dua bocah itu tertawa riang tidak memahami jika kini saat panen kopi terakhir kali bagi Nyi Kodasih..
Beberapa pekerja yang masih bertahan. Tangan tangan mereka sibuk memetik buah kopi yang ranum, memisahkan yang merah tua dari yang pucat. Tak banyak bicara, hanya suara gemerisik ranting dan keranjang bambu yang bergesekan.
Bagi mereka, panen kali ini bukan sekadar pekerjaan, tapi perpisahan.
Di bawah pohon kopi tua, Kodasih berhenti. Ia menyentuh batangnya; kulitnya hitam dan kasar, karena dimakan waktu.
“Mbok,” katanya pelan, “dulu Tuan Menir selalu mengajakku duduk di bawah pohon kopi ini, dan dia berkata semua kebun kopi ini akan menjadi milikku…”
Mbok Piyah menunduk, air mata mengalir membasahi pipinya..
“Sekarang pohon ini berbuah untuk terakhir kalinya, Nyi.” Ucap Mbok Piyah sambil menghapus air matanya.
“Tidak,” sahut Kodasih, matanya menerawang. “Ia akan terus berbuah, hanya bukan untukku lagi. Tapi aku ingin ia tahu... aku telah menjaga tanah ini tanpa dendam.”
Kodasih memejamkan kedua matanya.. air mata kini tak mau lagi dibendung. Perlahan tangan Kodasih menghapus air matanya. Ia tak ingin Warastri dan Sumilir melihatnya. Ia ingin dua bocah itu masih terus tertawa.
“Aku harus memulai hidup baru lagi Mbok..” ucapnya pelan..
“Iya Nyi.. sabar .. Gusti pasti akan memberi rezeki...” nasihat Mbok Piyah sambil menatap Kodasih penuh rasa iba, haru dan sedih menjadi satu.
Saat sore hari, Kodasih menyiapkan kendi, air dari sumber dan seikat daun kelor. Simbol penyucian dan perpisahan.
Di ruang tengah, di bawah foto Tuan Menir, ia menyalakan kemenyan di atas anglo kecil, menghadap ke arah barat tempat matahari perlahan tenggelam.
“Untuk tanah dan loji yang telah memberiku tempat dan hidup,” bisiknya, “untuk tangan tangan yang pernah menindas dan juga yang bekerja. Semoga semua dimaafkan.”
Ketika malam tiba , tiga orang pemuda itu kembali datang. Kini tanpa seragam, hanya dengan wajah lelah dan langkah ragu. Kodasih membukakan pintu lebar lebar..
“Panennya sudah selesai, Nyi?” tanya salah satu dari ketiga orang itu dengan lembut..
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣