"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BANYAK JALAN MENUJU SURGA
POV Maira
Aku mengerjap, kepalaku terasa berat, tubuhku pun terasa remuk. Pelan, aku membuka mata. Meski sulit aku harus tetap memaksanya.
"Sial ...," gerutuku ketika mataku terbuka lebar dan menyadari masih ada di tempat sialan ini. Aku terkulai lemas di atas tempat tidur berukuran besar dan sangat empuk ini. Tempat tidur yang membuatku jijik walau hanya melihatnya karena sudah barang tentu tempat ini adalah tempat di mana mereka merajut cinta setiap kali menghabiskan waktu bersama. Entah siapa yang membawaku ke atas sini, seharusnya aku masih ada di depan pintu. Apa mungkin Mas Pandu? Ah, sial, dia masih berani menyentuhku.
"Pandu... keluarkan aku, Pandu!" teriakku namun tak begitu keras. Karena tenagaku rasanya sudah habis terkuras.
Terdengar suara perut berbunyi beberapa kali. Aku meremasnya. Ya, sebutir nasi atau bahkan setetes air pun belum masuk ke kerongkongan sejak tadi siang. Sedangkan tenaga yang kuhabiskan sudah maksimal. Menangis, berduel dengan ibu, hingga berteriak marah
Pada Mas Pandu, sudah cukup membuatku lemas.
"Pandu...," ulangku sembari turun dari ranjang.
Pelan, aku melangkah seraya memegangi perut yang terasa begitu perih dan sudah tak kuat menahan lapar.
"Apa dia ingin aku mati kelaparan?!" gerutuku dalam hati sembari terus berjalan menuju pintu.
Cekrek.
Terdengar suara pintu di buka bahkan sebelum aku memegang handlenya. Meski lapar, tentu bukanlah makanan yang ada di otak begitu pintu terbuka, melainkan hanya berpikir bagaimana caranya melarikan diri dari tempat ini.
"Malam, Nya." Seorang wanita cukup berumur terlihat memasuki kamar. Seharusnya aku bisa mendorongnya lalu pergi. Tapi sial, rupanya wanita itu tak sendiri. Dua orang yang kulihat di depan siang tadi turut serta, lalu berdiri dan berjaga di depan pintu kamar. Ini sungguh di luar dugaan. Mereka bahkan menjaga kamar ini dengan penjagaan ketat.
"Viona! Apa maunya? Harusnya dia mendukungku untuk menggugat cerai Mas Pandu!" lirihku mengepalkan tangan, geram.
"Saya bukan Nyonya kamu, jangan panggil saya Nyonya. Bilang pada majikan kamu, saya ingin bertemu." ujarku masih dengan nada ketus pada wanita tua yang tengah meletakkan nampan berisi menu makanan dan minuman di atas nakas dekat tempat tidur. Terlihat juga sebuah paper bag warna hitam ia letakkan di sampingnya.
"Makan dulu, Nya."
Aku berdecak kesal. Sebab, ia seolah tak mendengar ucapanku. "Bu, saya bilang mau ketemu majikan ibu." ulangku dengan nada yang kuperhalus. Kurasa dia enggan menjawab karena kata-kataku terdengar kaku sekaligus kurang sopan.
"Iya, Nya, tapi makan dulu. Besok juga Bapak pulang langsung nemuin, Nyonya."
Aku semakin tak sabar mendengar jawaban yang tak sesuai harapan. Tapi, saat kondisi genting seperti ini, perutku justru tak bisa diajak kompromi. Ia berbunyi bahkan keras sekali. Cepat aku menutupnya dengan kedua tangan.
"Duduk sini, Nya," Wanita itu tersenyum seraya melihat ke arah perut. Sial apa dia sedang menertawakan aku? Tak lama, ia pun bergegas mendudukkan diri di ranjang dan menepuk sisi lain di sebelahnya. Aku masih bergeming dengan rasa malu setengah mati.
"Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam bersabda: Barang siapa datang kepadanya suatu pemberian tanpa ia memintanya atau menunjukkan keinginan untuk memperolehnya, lalu ia menolaknya, sesungguhnya ia menolak pemberian Allah Subhanahu wa ta'ala.'" Ia berujar seraya mengambil nampan berisi menu entah apa.
Rasa sungkan sekaligus malu merajaiku. Terpaksa,
aku melangkah ragu. Kelemahan terbesarku adalah saat seseorang mengeluarkan dalil agama di hadapan dan aku tahu itu semua adalah benar.
"Mari." Ia kembali menepuk sisi sebelahnya saat aku tak segera duduk dan hanya berdiri di samping wanita berwajah teduh itu.
"Baiknya makan dan minum itu sambil duduk, Nya."
Lagi, ia menyindirku dengan agama. Membuatku seolah tak mengerti adab.
Dengan perasaan sedikit kesal aku pun mengikuti dan duduk di sebelahnya. Ia terlihat piawai menyiapkan bubur sumsum biji salah yang kuah dan buburnya disajikan secara terpisah. Lalu ia menuang kuah santan tersebut ke dalam mangkuk yang sudah berisi bubur.
"Baru matang, masih panas. Sengaja dipisah, Nya. Biar nggak benyek. Takutnya Nyonya masih tidur tadi."
"Bapak menyuruh saya menyiapkan ini untuk Ibu," lanjutnya memberikan bubur yang sudah siap untuk disantap ke arahku. Namun, mendengar kata Bapak seketika membuat bubur yang sebelumnya terlihat begitu menggoda berubah hambar, selera makanku pun hilang.
"Ayo, apa mau saya suapin?" Ia kembali bersuara saat aku tak kunjung menerima mangkuk berisi bubur kegemaran.
"Saya, bisa," ujarku ketika ia mengarahkan sesendok bubur ke mulutku. Sigap aku mengambilnya. Ia pun tersenyum lega.
Kumasukkan satu sendok ke dalam mulut sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras wanita di sebelahku ini, menyiapkan makanan yang jarang banyak orang tahu dan piawai membuatnya dengan rasa yang pas dan seenak ini.
"Sebelum Bapak berangkat, tadi menyuruh saya untuk menyiapkan makanan itu untuk, Nyonya. Enak tidak, Nya?" tanyanya terlihat sungkan. Lagi dan lagi orang ini membuat selera makanku hilang. Bapak yang dimaksud sudah barang tentu adalah Mas Pandu. Siapa lagi? Suami Miranti Sanjaya tidak mungkin karena setahuku dia adalah seorang janda.
Sampai detik ini, aku masih tak percaya, Mas Pandu melakukan semua ini padaku. Ya, makanan yang paling aku sukai terutama saat nafsu makanku menurun adalah bubur sumsum biji salak. Mas Pandu tahu benar akan itu. Jadi ini sebuah rayuan atau ketulusan? Entah. Dia terlalu lihai dalam bersandiwara sehingga aku tak bisa merabanya.
Kuletakkan mangkuk di pangkuan, tak sepatah kata pun aku keluarkan. Sebab, tak akan ada gunanya. Semua yang ada di sini sepertinya sudah bekerja sama dengan Mas Pandu. Meminta bantuan tampaknya hanya akan sia-sia saja.
"Kenapa? Nggak enak, Nya?"
"Jangan panggil saya Nya, Bu...."
"Darsih, panggil saya Mbok Darsih," selanya
melanjutkan ucapanku yang menggantung, sebab, tak tahu harus memanggilnya dengan sebutan apa.
"Mbok Darsih, jangan panggil saya Nyonya. Saya bukan Nyonya kamu."
"Bukannya Nyonya juga istri Pak Pandu. Saya ini asisten rumah tangganya Pak Pandu, jadi wajar kalau saya panggil Nyonya kepada majikan saya. Karena saya juga memanggil Nyonya Viona dengan Nyonya."
"Kan, Mbok, memang bekerja sama Viona. Ini rumah Mas Pandu untuk Viona, seharusnya, Mbok bisa membedakannya." Aku tersenyum hambar. Sejak kapan laki-laki yang bahkan makan saja numpang padaku mempunyai asisten rumah tangga?
"Saya kerja sama Pak Pandu, Nya."
Kuhela napas dalam, lalu membuangnya perlahan untuk menambah kesabaran. Mbok Darsih cukup keras kepala.
"Mbok paham agama? Dalam agama ada dua pilihan yang diperbolehkan saat suami kita menikah lagi. Memaafkan atau menggugat. Saya bukan Nyonya kamu karena saya memilih yang ke dua." Akhirnya, aku tak mau lagi berbasa-basi.
Ia tampak diam.
"Jika, Mbok paham, bisakah Mbok mengeluarkan saya dari sini?" Tanpa pikir panjang, aku pun memanfaatkan kesempatan.
"Maaf, Nya, saya digaji sama Bapak dan saya tidak bisa mengabaikan tugas saya. Dan, Nya, kenapa tidak menerima surga yang jelas-jelas ada di depan mata Nyonya. Bapak juga sangat menyayangi Nyonya. Bahkan, Bapak tidak pernah menyuruh saya dengan sangat hati-hati seperti hari ini," ujarnya tanpa menatapku seraya memilin-milin ujung hijabnya.
"Jalan ke surga itu banyak, Mbok. Jika menerima justru mendorong kita untuk berbuat kurang baik karena rasa iri, cemburu, dan akan sering ada perselisihan, saya nggak yakin ada surga di sana."
"Tapi, menolaknya bukan kah sama dengan mengharamkan? Padahal poligami dihalalkan."
"O ... ya?"
Aku tertawa sumbang.
"Saya tidak pernah mengharamkan poligami. Mbok, kalau saya tidak menyukai durian karena baunya lalu saya tidak mau memakannya apakah dengan begitu saya mengharamkan durian?!" Aku balik bertanya.
Ia terdiam dan terlihat berpikir keras. Semoga apa yang aku sampaikan bisa merubah pikiran Mbok Darsih dan bisa mengeluarkan aku dari tempat ini.
"Saat kita mati, kita tidak akan ditanya perbuatan orang lain, tapi yang ditanya hanya seputar apa yang kita lakukan. Jika Mbok hanya diam saat kedzaliman ada di depan mata Mbok Darsih. Apa yang akan Mbok Darsih pertanggung jawabkan pada Tuhan nanti?!" tandaskumencoba meyakinkan Mbok Darsih. Dari penampilan dan pembawaan Mbok Darsih, aku yakin dia orang baik dan beragama. Bahkan, sejak tadi aku menangkap mulut itu terus menyerukan asma Allah ketika mendengar kalimat-kalimat menohok yang aku ucapkan.
Hening menjeda cukup lama.
"Ikut saya, Nya." Akhirnya ia bersuara. Lalu tangannya meraih pergelangan tanganku dan mengajakku untuk bergegas menuju pintu. Aku menyeringai. Tampaknya aku berhasil mengubah pikiran Mbok Darsih. Alhamdulillah.
"Mau ke mana, Mbok?!" Pintu tiba-tiba terbuka ketika Mbok Darsih hendak membukanya dan Viona muncul dari balik pintu tersebut.
Seketika langkah kami pun terhenti.
"Sial." Dalam hati aku mengumpat.
"Mbok mau bawa Maira ke mana?!" Viona mempertajam pandangannya pada Mbok Darsih, curiga.
"Em, anu, Nya...." Dengan gugup Mbok Darsih mencoba mencari jawaban namun sepertinya belum menemukan jawaban yang tepat untuk disampaikan.
"Mau mengajakku bertemu denganmu, bagus kalau kamu sudah ke mari," sergahku tak tega melihat Mbok Darsih yang mulai gemetar bahkan aku bisa merasakan tangan yang saat ini masih memegangi tanganku, basah oleh keringat.
Kini, Mbok Darsih mulai berani mengangkat kepala
menatapku dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Lalu beralih menatap Viona.
"Nyonya, nggak boleh masuk ke sini, Nya. Nanti Bapak marah." Mbok Darsih berujar pada Viona dengan raut ketakutan.
"Kalau Mbok nggak ngomong, Mas Pandu nggak akan tau, kan, Mbok. Tadi saya sudah kasih tau semua yang ada di depan. Jadi, asal Mbok juga diam, Mas Pandu juga nggak mungkin tau. Saya hanya mau minta maaf sama Maira kok, Mbok. Nggak lebih," Viona berujar dengan begitu lemah lembut bak majikan baik hati tapi nyatanya adalah majikan tak tahu diri dan tak tahu malu. Majikan yang tak bisa senang jika tidak merampas milik orang.
"Tapi, Nya, Bapak sudah wanti-wanti sama saya untuk tidak ada yang boleh masuk ke sini selain saya."
"Mbok, kami sama-sama
"Mas Pandu nggak akan marah pada Mbok Darsih selama saya ada di sini. Percayalah, Mbok. Sekarang tinggalkan saya dan Viona," pintaku pada Mbok Darsih.
"Tapi, Bapak kalau marah gimana? Saya takut."
"Enggak, Mbok. Tenang saja. Bukankah, Mbok tadi mengatakan kalau Mas Pandu begitu menyayangi saya? Nanti kalau Mas Pandu marah. Saya yang tanggung jawab."
Viona tersenyum remeh mendengar ucapanku yang memang sengaja kubuat berlebihan. Meski sesungguhnya aku sendiri jijik mengatakannya. Sayang dan cinta bagiku hanya bulan belaka.
"Baiklah, Nya. Saya tunggu di depan kamar. Kalau ada apa-apa panggil saya, ya, Nya," ujar Mbok Darsih, tak mau membuang waktu, aku segera mengangguk dan tersenyum. Namun, tidak dengan Viona. Ia justru memandang Mbok Darsih dengan tatapan tak suka.
"Mbok bilang apa tadi? Kalau ada apa-apa? Harusnya kalimat itu untuk saya, Mbok. Saya yang hamil. Lagi pula saya bukan penjahat...."
"Bukan penjahat, tapi maling, wajar kalau Mbok Darsih ngomong gitu. Nggak sadar juga kamu." Aku menyela, ia mendengkus kesal lalu langsung membuang muka.
Meski terlihat ragu akhirnya, Mbok Darsih meninggalkan kamar setelah Viona diam.
Sekarang, hanya ada aku dan wanita berbulu domba ini di dalam kamar. Sebenarnya, melihat muka dan perut itu aku ingin muntah. Tapi, sebisa mungkin aku menahan. Ingin aku menampar hingga merobek mulut yang selalu berkata manis itu kalau saja dia tidak hamil.
"Jadi, ini tujuanmu menghubungiku waktu itu?
Membuat cerita palsu tentang pencairan tabungan Mas Pandu? Agar aku tahu kebusukan kalian?" tanyaku to the poin.
Ia menatapku namun tak lantas menjawab.
"Bagaimana rasanya menikah dengan suamiku?
Viona? Bahagia atau hanya menjadi bayang-bayangku saja?" ujarku dengan nada menghina. Untuk apa bermanis-manis. Bagiku, tanpa dihina pun ia sudah hina.
"Maira!" Ia mengangkat tangan, tak terima, dengan cepat aku mencekal tangan yang sudah mendekat ke arah pipi.
"Jangan berani menyentuhku, Viona." Aku berkata seraya menghempaskan tangannya kasar. Rasanya, semua kata-kata keji ingin keluar. Namun, saat netraku kembali menangkap perut buncit itu rasanya tenggorokan ini tercekat seketika.
"Maira, maaf, Maira. Aku mencintai Mas Pandu."
Dengan nada yang begitu memilukan ia berujar, diiringi derai air mata ia beringsut dan berlutut memeluk kakiku.
"Jangan basa-basi. Berdiri!"
Aku menggerakkan kakiku pelan, agar dia melepaskan diri, karena tak mungkin juga menendang perutnya yang besar.
Ia mengikuti apa kataku. Bangkit dan berdiri di hadapanku.
"Hapus air mata palsumu itu. Sekarang, hanya ada aku dan kamu. Nggak perlu bersandiwara."
Ia pun menghapus air matanya lalu tersenyum entah.
"Baiklah, Maira. Sebenarnya aku juga mau membebaskanmu dari sini. Tapi, kamu tau bagaimana kalau Mas Pandu murka. Dia bisa melakukan apa saja...."
"Termasuk menceraikanmu?" ujarku tersenyum hina.
Kembali, ia menatapku tak terima. Namun, sepertinya dia terus mencoba untuk menekan amarahnya.
"Aku punya anak Maira, aku bisa melakukan apa saja.
Kamu? Apa senjata kamu untuk tetap berada di sisi Mas Pandu?!"
Aku tertawa mendengar ucapan Viona.
"Jadi, kamu membutuhkan senjata hanya untuk mempertahankan suamiku?!" Aku semakin terbahak.
"Maira, Mas Pandu bisa melakukan semuanya untukku. Kau tau rumah dan semua fasilitas ini, Mas Pandu yang memberikannya sebagai hadiah atas kehamilanku. Lihatlah dirimu, dia membiarkanmu tinggal di tempat sederhana bahkan usang.
Membiarkanmu tanpa mobil sedangkan aku diberinya mobil mewah."
Dengan penuh percaya diri ia berujar seraya memainkan jemarinya. Sok berharga.
Tanganku mengepal kuat, apa yang Viona sampaikan membuatku merasa terhina. Aku yang pertama, tapi Viona yang utama.
"Viona... Viona, nyatanya rumah yang kamu katakan usang itu lebih nyaman bagi Mas Pandu dibanding rumah mewahmu ini. Berapa hari kamu bersama Mas Pandu? Satu atau dua Minggu sekali? Aku kira kamu bisa menghitungnya sendiri," ujarku dengan senyuman sinis, tapi hatiku meronta dan menangis.
"Maira, Maira. Itu dia lakukan karena dia melakukan kesalahan. Semua orang yang merasa bersalah tentu akan semakin baik." Viona terbahak. Inilah salah satu bagian yang tak aku sukai dalam poligami. Saling menunjukkan siapa yang paling dicintai. Memuakkan.
"Pelakor kok bangga. Ingat karma."
"Jika karma itu untukku, aku tak akan seberuntung ini. Mengandung anak Mas Pandu yang jelas sangat dia harap-harapkan."
"O ya? Tuhan hanya mengasihanimu, memberi kesempatan padamu untuk bersama orang yang kamu gilai dengan memberimu anak. Buka matamu Viona, jika tanpa anak saja hingga detik ini Mas Pandu masih menangis dan memohon padaku untuk tetap bersamanya lalu bagaimana jika aku mempunyai anak darinya? Mungkin dia akan meninggalkanmu seketika. Meskipun anakmu itu ada."
"Maira!"
"Kamu bukan siapa-siapa bagi Mas Pandu. Siapa yang menjadi orang pertama yang memberi selamat atas pencapaian Mas Pandu hingga diangkat menjadi kepala cabang? Kamu? Siapa yang diutamakan tempat tinggalnya dan semua fasilitasnya. Kamu?" Ia berujar dengan nada yang menggebu.
Kepala cabang. Ini bagian yang paling menyakitkan. Kenyataan ini membuat seluruh tubuhku seolah terbakar. Bagaimana mungkin Mas Pandu menyembunyikan hal sebesar ini dan justru membaginya dengan Viona.
Benarkah aku bukan siapa-siapa dibanding Viona? Tidak, akan aku buka lebar-lebar matamu Viona di mana posisimu yang seharusnya.