NovelToon NovelToon
MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mata-mata/Agen / Trauma masa lalu / Action / Romantis / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:10.3k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Mereka memanggilnya Reaper.

Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.

Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.

Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.

Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.

Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.

Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:

“Itu adalah misi terakhirmu.”

Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BROOKS?

Ruang tamu terasa hangat, cahaya lembut dari lampu memantulkan bayangan panjang di dinding. Si kembar sedang terkikik sambil bermain papan di atas karpet, sementara Sophie melipat pakaian di atas sofa.

James melangkah masuk, sudah berpakaian rapi—celana hitam, jaket gelap yang pas, sepatu bot bersih.

"Ma, aku tidak makan malam di rumah malam ini."

Sophie menoleh, sempat terkejut sejenak. "Kau mau ke mana?"

"Aku pergi dengan teman-teman dari kampus," jawab James.

Kejutan Sophie berubah menjadi senyum lembut. "Pergi dengan teman, hmm? Bagus itu."

Ia mendekat dan merapikan kerah jaket James lalu berkata. "Mama senang kau mulai menata hidupmu... memberi ruang untuk kehidupan yang normal."

James memberi senyum tipis.

"Baiklah, Nak. Nikmati waktumu. Jangan pulang terlalu malam," katanya hangat.

James melambaikan tangan kecil, lalu melangkah kearah pintu. "Tidak. Kunci pintunya setelah aku keluar."

"Selalu," jawab Sophie.

Saat pintu tertutup di belakangnya, Sophie menoleh lagi ke si kembar dengan senyuman.

Malam ini, Aethel Club kedatangan tamu yang tidak mereka duga. James berjalan cepat ke depan, menyusuri jalan yang temaram. Sebuah van taktis hitam matte melaju tanpa suara dan berhenti beberapa meter di depannya.

Pintu sampingnya terbuka, seorang pria tinggi dan kekar turun, mengenakan perlengkapan taktis, earpiece terpasang, pistol di pinggang.

"Selamat malam, Boss," sapanya sambil mengangguk singkat. "Aku wakilmu malam ini. Kita bergerak."

Tanpa sepatah kata, James masuk.

---

Di dalam Van

Bagian dalam van gelap, diterangi cahaya biru redup. Dindingnya dipenuhi rak senjata—pisau, tongkat setrum, senapan mesin kompak, dan pistol bersuara senyap, semuanya tertata rapi di pemegang magnetik.

Layar terpasang di dinding depan menampilkan siaran langsung eksterior Aethel Club dari berbagai sudut—termal, penglihatan malam, dan intersepsi keamanan. Monitor kecil menampilkan peta kota dengan titik-titik berkedip: anggota tim yang sudah berada di posisi.

James duduk di bangku dan membuka loker berlabel: "Reaper."

Di dalamnya—perlengkapan khusus miliknya.

Ia mengenakan rompi antipeluru ramping. Dari satu kompartemen, dia mengambil sepasang pisau karambit dan memasukkannya ke sarung di punggungnya.

Pistol hitam matte berperedam. Dicek, diisi, disarungkan.

Earpiece-nya menyala.

"Mission control ke lapangan... sebentar waktu hampir habis. Semua orang, di posisi. Aku ulangi—semua di posisi." Suara Paula terdengar jelas.

James menekan mikrofon yang terpasang di kerahnya.

"Penembak jitu, konfirmasikan posisi kalian."

Satu per satu suara tegas menjawab:

"Falcon, di posisi."

"Viper, di posisi."

"Specter, di posisi."

James mengangguk.

"Cadangan?"

"Jalan kecil arah barat laut. Dua blok dari lokasi. Unit van siap mengevakuasi. Tim anti huru-hara siaga," jawab suara tenang dan pendek.

James mencondongkan badannya kedepan, matanya terpaku pada monitor.

"Tidak boleh ada korban sipil. Dimengerti?"

"Copy."

"Dimengerti."

"Siap, Reaper."

"Jelas, Boss."

Van melambat dan berhenti di belakang Aethel Club, dekat gang sempit di bawah gelapnya malam. Dentuman bass terdengar samar dari balik tembok bata.

James (Reaper): "Falcon, status warga sipil?"

Ada jeda pendek sebelum suara Falcon terdengar.

Falcon: "Ada yang aneh, Boss."

Tatapan James menajam. "Apa?"

Falcon: "Tiga puluh tiga warga sipil masuk kedalam klub malam ini. Tapi hanya tiga puluh yang keluar. Sudah lewat jam tutup… dan pintu keluar depan bersih."

James mengepal rahang. "Specter, apakah kau melihat warga sipil yang tersisa?”

Specter: "Negatif. Tidak ada tanda panas di aula utama. Kalau mereka masih di dalam, berarti di ruang pribadi—mungkin bawah tanah atau terhalang sensor."

Viper: "Sama. Sudut atap tertutup beton. Tidak ada pergerakan di lantai atas."

James menarik napas. Jari-jarinya bergerak ringan dekat pistolnya. "Falcon, apakah kita memiliki nama-nama mereka?"

Falcon: "Ada, Boss. Semua tamu yang masuk sudah terekam dari pemindaian ID wajah di pintu masuk. Sedang memproses datanya..."

Hening sejenak.

Falcon: "Orang-orang yang belum keluar... Ini, Bos: Alicia Remington, Jenny Brown, dan Grace Walker."

Nama-nama itu langsung menghantam James setelah mendengarnya.

"Aku sudah mengatakan pada mereka untuk tidak pergi ke sana." Cengkeramannya mengeras pada alat komunikasi. "Gadis-gadis itu—"

"Kita akan masuk."

"Aku ulangi—kita akan masuk."

Perintah itu langsung bergema melalui saluran komunikasi:

Specter: "Siap. Dukungan sniper aktif."

Viper: "Berpindah ke sudut alternatif. Bersiap menekan apabila diperlukan."

Falcon: "Pengawasan visual aktif. Akan memberikan pembaruan gerakan secara real-time.”

Tim Alpha: "Regu pembobol siap di pintu belakang."

Tim Bravo: "Sudah di posisi pintu samping. Menunggu aba-aba."

James mengencangkan sarung tangan hitam dan keluar dari van, lalu bergumam, "Mari kita bawa mereka pulang."

James, kini menekan nomor lagi.

Alicia.

Tidak dijawab.

Dia mencoba Jenny.

Lalu Grace.

Tidak ada balasan.

Matanya menyipit. Ia memasukkan ponsel ke dalam rompinya. "Waktu kita habis."

---

Di dalam ruang VIP bawah tanah — Aethel Club

Udara tebal oleh asap basi dan bau alkohol yang menyengat. Lampu merah redup berkedip dari langit-langit. Sebuah ruangan pribadi jauh di bawah lantai dansa.

Tiga pria berdiri dengan mata mereka karena mabuk, kemeja terlepas setengah. Gelas kosong dan botol berserakan di meja.

Jenny dan Grace tergeletak di sofa, tak sadar—jelas dibius atau terlalu mabuk. Alicia duduk terpaku, dirantai pada sandaran kursi. Rahangnya bergetar, tetapi matanya penuh amarah, lalu suaranya pecah, "Berani sekali kalian menahan kami di sini? Kalian tahu siapa ayahku?"

Salah satu pria yang sangat mabuk berjalan goyah mendekat dan menyeringai.

"Ayahmu?" Ia tertawa pendek. "Dia tidak menguasai kota ini lagi, Sayang."

Dua lainnya ikut tertawa.

Amarah Alicia perlahan berubah menjadi ketakutan.

"Tinggallah malam ini saja," salah satu dari mereka mendecak. "Kau akan menikmati kebersamaan kami... kalian bertiga."

Alicia bangkit sedikit, berusaha melindungi teman-temannya meski dalam keadaan seperti itu. "Kau sentuh mereka, dan aku bersumpah—"

Ponselnya tiba-tiba bergetar di meja. Salah satu pria mengambilnya, melihat nama penelepon, dia langsung membeku. "James Brooks...?"

Yang lain mencondongkan badan mereka. Alisnya bertaut. "Brooks? Maksudmu... keluarga Brooks?"

Pria pertama berbisik cepat. "Anak Simon Brooks. Yang diculik bertahun-tahun lalu. Usia enam tahun. Mereka mengatakan dia sudah mati..."

Pria ketiga melebar matanya dan menjawab "Tidak. Dia tidak mati. Hari itu—"

Ia mengetatkan rahang. "Pria yang menggagalkan operasi itu. Itu dia. Itu James."

Alicia, masih berjuang dengan rantainya dengan tercengang.

"Diculik...?" bisiknya.

Para pria menoleh padanya lagi.

"Oh... jadi kalian dekat, ya?"

"Ya ampun... kita mendapatkan jackpot."

Ponsel itu kembali bergetar, bama James Brooks kembali muncul di layar, tapi tak satupun dari mereka yang berani mengangkatnya.

Pintu belakang klub terbuka. Seseorang masuk, diikuti tiga lainnya. James memimpin, sebagian wajah tertutup tudung hitam. Di belakangnya, dua operator menyisir tiap belokan.

Seorang penjaga muncul di tikungan dekat gudang—Thump. Pria itu tumbang tanpa suara. Operator menangkapnya dan menyeretnya ke balik tumpukan peti.

James mengangkat tangan—telapak terbuka—dan menunjuk ke depan.

Falcon (Sniper): "Koridor timur laut bersih."

Specter (Sniper): "Pintu selatan bersih. Tidak ada pergerakan."

Viper (Sniper): "Kubah kaca bagian atap aman. Overwatch siap."

Di dalam, koridor berbelok rumit seperti labirin. Lampu merah berkedip samar. Mereka tiba di persimpangan. James memberi gestur cepat. Dua jari maju. Satu ketukan ke kanan. Tim berpencar.

Seorang penjaga lain berpatroli di depan. Saat dia membalikkan badan—

Whpff! Sebuah anak panah dari senapan kompak mengenai lehernya lalu dia goyah dan jatuh ke tanah.

James berlutut, mengambil kartu akses.

Dia mengetuk tombol komunikasi sekali—sinyal tanpa kata-kata.

Mereka bergerak turun lantai demi lantai, menuju ruang pribadi di bawah. Di setiap persimpangan, punggung mereka menempel dinding, senjata memindai kiri kanan,

Dari luar, sniper melaporkan—

Falcon: "Masih tidak ada tanda panas didekat jalur masuk. Kemungkinan besar terkonsentrasi di bawah tanah."

Specter: "Termal mendeteksi gerakan samar di dekat basement bawah. Terlalu jauh untuk di identifikasi."

James mengepalkan tangan. Semua diam. Di depan—sebuah pintu baja. Dijaga.

Ia memberi isyarat memotong leher.

Thap.

Crack.

Kedua penjaga jatuh—satu dari cekikan, yang satunya lagi dari serangan cepat yang melumpuhkan sendi di kaki dan leher. Mayat-mayat ditarik ke samping dan disembunyikan.

James menempelkan kartu.

Hijau.

Pintu pun terbuka.

Dia mengangkat tiga jari. Hitungan mundur—3... 2... 1...

1
Zandri Saekoko
author
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
Rocky
Ternyata ini misi terakhir secara tersirat yang dimaksudkan Sang Komandan..
Zandri Saekoko
mantap author
lanjutkan
Zandri Saekoko
mantap author
king polo
up
king polo
update Thor
king polo
up
king polo
update
july
up
july
update
Afifah Ghaliyati
up
Afifah Ghaliyati
lanjutt thorr semakin penasaran nihh
eva
lanjut thor
eva
up
2IB02_Octavianus wisang widagdo
upp lagi broo💪
Zandri Saekoko
lanjut thor
Wulan Sari
lanjut Thor semangat 💪👍❤️🙂🙏
Coffemilk
up
Coffemilk
seruu
sarjanahukum
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!