" Aku akan membiayai sekolahmu sampai kamu lulus dan jadi sarjana. Tapi kamu harus mau menikah denganku. Dan mengasuh anak-anak ku. Bagaimana?
Aqila menggigit bibir bawahnya. Memikirkan tawaran yang akan diajukan kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ai_va, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Badai
Abizam mengantar Aqila bertemu dengan keluarganya. Ibunya sudah terlelap. Sedangkan ayah dan kakaknya masih berbincang-bincang. Saat itu waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
" Yah ..."
" Sudah malam kenapa kamu kesini Qila? Kan kasihan Nak Abi kecapekan kerja harus mengantar kamu kesini."
" Nggak apa-apa ayah. Abi nggak keberatan."
" Qila cuma mau lihat ibu sebentar habis ini pulang."
" Yaudah kamu lihat ibu kamu dulu. Habis ini pulang istirahat ya. Jangan sampai kamu sakit."
" Iya Yah."
Aqila melihat ibunya yang sudah terlelap. Diciumnya tangan ibunya dan kemudian Aqila menemui ayah dan kakaknya.
" Sudah?"
" Sudah Yah."
" Yaudah. Kamu pulang aja. Sepertinya mau hujan deras. Kasihan Nak Abi kalau harus mengendarai mobil dalam keadaan hujan deras."
" Apa Alvi pulang sama Qila aja ya Yah? Mau hujan gini. Kilat nya menyambar-nyambar seperti itu."
" Nggak usah kak. Qila bisa sendiri di rumah. Kasihan ayah kalau harus sendirian di sini."
" Kamu yakin? Mau hujan loh."
" Ita kak."
" Ya udah cepat pulang ya."
" Iya yah."
" Pak Abi bisa kita bicara sebentar? Lima menit saja."
Abizam mengikuti Alvino. Dan tidak berapa lama kemudian mereka kembali. Aqila dan Abizam pun berpamitan dan kemudian meninggalkan rumah sakit. Kilatan petir dan guntur sudah mulai menyambar. Setiap kali ada kilat, Aqila menutup wajahnya. Tubuhnya bergetar ketakutan.
" Qila..."
" Ya .."
Aqila berteriak dengan sedikit nyaring.
" Sudah sampai."
" I...iya.."
Aqila sedikit keheranan saat melihat mobil Abizam masuk ke halaman rumahnya. Abizam pun turun mengikuti Aqila.
" Ka....kakak... Kenapa turun?"
" Kakak mau menemani kamu."
" Tapi ...."
" Kakak hanya menemani nggak akan ngapa-ngapain kamu. Kakak di depan sini. Kamu masuk kamar dan tidur. Kakak akan pergi kalau sudah nggak hujan."
" I...iya..."
Aqila masuk ke dalam kamar dan berganti dengan baju tidur. Setelah itu Aqila merebahkan diri di atas tempat tidur. Hujan deras mulai mengguyur. Angin kencang terdengar menggoyangkan tanaman-tanaman yang ada di sekitar jendela kamar Aqila.
" Ibuuuuuu....."
Aqila ketakutan saat guntur terdengar seperti bersahut-sahutan.
" Ibuuuu..... Hiks.."
Abizam menempel kan telinganya di pintu kamar Aqila. Di dengarnya suara tangisan Aqila. Abizam sedikit khawatir dengan keadaan Aqila. Abizam teringat percakapannya dengan Alvino.
* Flashback On *
" Tolong pak Abi temani Aqila. Aqila trauma dengan cuaca seperti ini. Dulu saat berada di sekolah menengah pertama, ayah dan ibu memiliki usaha kost-kostan di rumah. Karena waktu itu memang kamar di rumah kami cukup banyak. Saat itu ada seorang laki-laki yang menyewa kamar di rumah kami. Pada waktu Aqila sedang di rumah sendirian, dan dalam keadaan sedang hujan badai di malam hari seperti ini. Dia hampir melakukan pelecehan seksual terhadap Aqila. Beruntung saya dan ayah datang tepat waktu saat itu. Saat itu.... Aqila sudah tidak mengenakkan pakaian sehelai benangpun dan lelaki itu sudah melepaskan pakaian dalamnya."
Tangan Abizam mengepal saat mendengar cerita Alvino.
" Sejak saat itu Aqila jadi gadis pendiam. Setiap hujan seperti ini kami tahu Aqila ketakutan, tetapi kami tidak menunjukkan kekhawatiran kami terhadap nya. Setiap hujan ibu yang akan masuk ke kamar Qila dan akan bilang ibu takut badai."
* Flashback Off *
" Ibuu ...."
Terdengar suara Aqila yang ketakutan lagi.
" Qila...."
Tidak ada sahutan dari dalam. Abizam bernafas lega. Baru saja dia akan beranjak dari depan kamar Aqila, sebuah kilatan petir menyambar disertai dengan suara yang keras. Aqila terdengar berteriak di dalam.
" Ibuuuuuuu ......"
Abizam bergegas masuk ke dalam kamar Aqila. Dilihatnya wajah Aqila yang tidak beraturan dan menangis tersedu-sedu.
" Ibu... Qila takut.... Hiks...hiks...."
" Qila....."
Abizam mendekati Aqila, Aqila memundurkan tubuhnya.
" Ini kakak..... Qila ..... Qila aman sama kakak."
Abizam duduk di pinggiran tempat tidur. Aqila menatap dengan tatapan ketakutan.
" Qila tidur disitu ya. Kakak kasih guling disini. Qila tidur disebelah situ. Kakak hanya menemani saja. Kakak janji nggak ngapa-ngapain oke."
Abizam merebahkan dirinya diatas tempat tidur. Guling sebagai pembatas berada di tengah-tengah. Aqila menatap Abizam lekat-lekat. Meyakinkan dirinya kalau Abizam tidak akan menyakiti nya. Pelan-pelan Aqila merebahkan diri di samping Abizam dan Aqila menaikkan selimut sampai sebatas dagunya. Petir masih menyambar di luar sana. Abizam tidak mendengar lagi deru nafas Aqila yang memburu seperti tadi.
" Qila sudah tidur?"
" Belum ."
" Boleh kakak tidur miring? Supaya kakak bisa lihat kamu?"
" I..iya ..."
Abizam memiringkan tubuhnya dan melihat Aqila yang tidur terlentang. Dilihatnya keringat yang bercucuran dari dahi Aqila.
" Qila takut sama kakak?"
Aqila terdiam dan tidak menjawab.
" Qila takut ya ?"
" Nggak."
" Kalau nggak, boleh gulingnya ini disingkirkan?"
Aqila masih terdiam.
" Nggak boleh ya? Yaudah nggak apa-apa kalau nggak boleh."
" Boleh."
Abizam menyingkirkan guling yang menjadi pembatas mereka. Abizam mendekatkan dirinya di dekat Aqila.
" Boleh kakak peluk? Kakak janji nggak ngapa-ngapain Qila."
" Iya."
Abizam memeluk Aqila. Abizam masih bisa merasakan tubuh Aqila yang sedikit tegang.
" Qila tidur ya. Tenang saja kakak ada disini."
Aqila menganggukkan kepalanya. Abizam dapat merasakan anggukan kepalanya. Diusap-usap nya punggung Aqila. Tangan Abizam yang satu menaikkan selimut sampai sebatas dada mereka. Terdengar dengkuran halus yang menandakan Aqila sudah terlelap. Abizam mencium kening Aqila. Lalu kemudian dia ikut terlelap.
Pagi harinya Aqila mengerjapkan matanya. Tangan Abizam masih memeluk nya dengan erat.
" Kak.. Kak..."
" Hmmm...."
" Kak..."
Abizam membuka matanya dan melihat Aqila yang sudah membuka matanya.
" Oh maaf."
Abizam segera melepaskan tangannya dari pundak Aqila.
" Jam berapa ini?"
" Jam enam."
Aqila bangun dari tubuh Abizam. Diikat nya rambut panjangnya, kemudian Aqila menatap Abizam yang masih terlihat tampan walaupun saat bangun tidur.
" Ada apa?"
Aqila menggelengkan kepalanya dan merasakan wajahnya memerah.
" Bisa tolong buatkan aku kopi? Setiap pagi aku selalu minum kopi dengan sedikit gula."
Aqila menganggukkan kepalanya dan beranjak keluar. Handphone Abizam berdering, dan dilihatnya nama Ryan.
" Hallo."
" Papi."
" Ada apa?"
" Apa benar yang dikatakan sama Om Ryan?"
" Apa?"
" Kata om Ryan, Kak Aqila bakal jadi maminya Leon?"
" Sialan ember banget si Ryan." Abizam mengumpat dalam hati.
" Iya."
" Beneran papi?"
" Iya Leon."
" Bukan Tante Vira kan?"
" Bukanlah."
" Kapan kak Qila bisa tinggal bareng kita?"
" Segera ya. Leon tunggu aja. Mana om Ryan?"
Abizam menunggu cukup lama sampai akhirnya terdengar suara Ryan.
" Hallo Bi."
" Ember bocor !!! "
" Hahaha.... Habis aku juga excited banget waktu kamu bilang mau nikahin gadis lollipop kamu itu."
" Kamu dimana?"
" Di rumah."
" Nanti antarkan Leon siang."
" Loh kenapa?"
" Besok dia ada lomba di sekolahan. Jadi biar nggak kecapekan aja."
" Oh oke kalau gitu. Kamu dimana? Tumben minggu-minggu udah bangun?"
" Di rumah Aqila."
" Wah parah..... Anak orang......."
" Aku tutup dulu."
Abizam mengakhiri panggilannya dengan Ryan saat dilihatnya Aqila masuk ke dalam kamar. Aqila sudah terlihat lebih segar.
" Kak..."
" Iya.. Aku akan keluar."
Abizam menuju ke meja makan. Dilihatnya sudah ada secangkir kopi dengan asap yang masih mengepul dan roti bakar dengan olesan mentega dan meises cokelat. Mengingatkannya saat masih sekolah dulu.
" Wahhh. Jadi ingat zaman sekolah dulu."
Abizam hendak mengambil kopi kemudian tangannya di tahan oleh Aqila.
" Makan rotinya dulu kak. Jangan minum kopi dalam keadaan perut kosong."
Abizam menyunggingkan senyumannya. Aqila pun ikut tersenyum menunjukkan kedua lesung pipinya. Abizam mengusap-usap kepala Aqila.
" Tersenyumlah seperti ini terus. Kakak lebih senang kamu senyum."
Aqila menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Kemudian menuju ke dapur dan membuatku roti bakar dengan olesan mentega.
" Kaya gini rasanya di layani istri." Abizam terkekeh dengan pikirannya sendiri.
" Kenapa kak?"
" Nggak apa-apa. Kamu nggak makan?"
" Sudah. Qila sudah makan tadi."
Tercium bau harum di dapur. Abizam pun beranjak menuju ke dapur.
" Kamu bikinkan apa buat ayah sama kakak kamu?"
" Cuma orak arik telur sama sosis kak."
" Boleh kakak coba?"
" Kakak mau makan? Qila ambilkan nasi kalau gitu."
Abizam terlihat berpikir sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya. Aqila dengan cekatan mengambilkan nasi hangat dan orak arik telur dan sosis.
" Ini kak."
Abizam langsung menyantap makanan buatan Aqila.
" Enak. Kakak suka."
Aqila menyunggingkan senyumnya menampilkan lesung pipinya membuat jantung Abizam semakin berdetak kencang.
" Kakak mau mandi?"
" Ada baju ganti?"
" Ada baju punya kak Alvi."
" Boleh pinjam?"
" Iya."
Aqila masuk ke kamar kakaknya dan mengambil baju untuk Abizam.
" Ini kak. kamar mandinya di sebelah sana. Ini sikat giginya. Masih baru kok."
Aqila menunjukkan letak kamar mandi kepada Abizam. Abizam pun langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Sementara Aqila menyiapkan semua keperluan untuk Ayah dan kakaknya.
Tak berapa lama, Abizam keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah dan kaos santai milik Alvino yang terlihat menempel ketat di tubuh Abizam yang kekar. Aqila dibuat terpesona sejenak melihat Abizam dengan rambut basahnya.
" Ada apa? Apa aku kelihatan aneh mengenakan kaos ini?"
" Nggak. Kakak ganteng."
" Hmmmm ???"
" Eh... Maaf kak."
Aqila menundukkan kepalanya. Wajahnya memerah. Abizam dibuat salah tingkah dengan pujian dari Aqila.
" Sudah siap semua? Kalau sudah siap kita berangkat sekarang."
" Sebentar. Qila ganti baju dulu."
Aqila masuk ke kamarnya untuk berganti baju. Dan setelah itu mereka menuju ke rumah sakit untuk menjenguk ibu Aqila.