NovelToon NovelToon
Anak Pembawa Berkat

Anak Pembawa Berkat

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cintapertama
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rachel Imelda

Gracia Natahania seorang gadis cantik berusia 17 tahun memiliki tinggi badan 160cm, berkulit putih, berambut hitam lurus sepinggang. Lahir dalam keluarga sederhana di sebuah desa yang asri jauh dari keramaian kota. Bertekad untuk bisa membahagiakan kedua orang tua dan kedua orang adiknya. Karena itu segala daya upaya ia lakukan untuk bisa mewujudkan mimpinya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rachel Imelda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tidak Ada Waktu Untuk Bucin

Mami Dina memandang anaknya. Dia tahu ada sesuatu yang mengganggunya pikiran anak tunggalnya itu.

"Juna, bilang dong apa yang bikin kamu muram begitu? Jangan disimpan sendiri nanti bahaya," kata Mami Dina. "Apa ada hubungannya dengan Cia? Dia kan udah jauh. Kalian tidak ada masalah kan?" tanya Mami Dina lagi. Matanya menyelidik.

"Cia? Anak gadis di desa pamanmu itu? Kamu suka sama dia?" Pak Hartono yang sejak tadi diam menikmati sarapannya, tiba-tiba ikut bertanya. Beliau meletakkan sendoknya.

Arjuna mengangkat kepalanya, kaget karena ternyata Papanya juga ikut campur. Biasanya Papanya hanya fokus dengan pekerjaannya saja.

"Apaan sih Pa... enggak kok. Gak ada apa-apa." jawab Juna sambil memotong ayam goreng dengan garpu, berusaha terlihat santai.

"Jangan bohongi Mami, Juna. Mama ini yang melahirkan kamu. Mami tahu setiap perubahan di wajahmu, di matamu. Ceritakan saja, jangan disimpan sendiri nanti bisa jadi penyakit," desak Mami Dina lembut.

Juna menghela napas panjang. Dia menatap kedua orang tuanya yang kini menunggu dengan sabar. Dia tahu tidak ada gunanya bersembunyi. Apalagi Maminya, gak akan tinggal diam.

"Aku... Aku bilang ke Cia, kalo aku suka sama dia." Kata Juna akhirnya, suaranya pelan dan tertahan. "Sebelum dia berangkat, aku bilang bahwa aku ingin dia jadi pacarku."

Mami Dina dan Papa Har saling pandang, raut wajah mereka menunjukkan keterkejutan.

"Lalu," tanya Papa Har, tertarik.

"Dia belum kasih jawaban, Pak. Dia bilang dia butuh waktu seminggu untuk memikirkannya, karena dia mau fokus dengan kuliahnya dulu. Tapi dia janji akan menelponku saat dia sudah siap," lanjut Juns sambil memainkan nasi di piringnya. "Dia sekarang di Jepang, jauh banget. Aku takut Mi, Pa. Aku takut dia lupa sama aku, atau di sana dia ketemu cowok yang lebih keren, yang selevel sama dia, terus dia lupain aku."

Mami Dina tersenyum, "Anak ganteng Mami kenapa jadi gak percaya diri kayak gini sih? Kalau memang dia adalah belahan jiwa kamu, sejauh apapun jaraknya, pasti akan kembali, Sayang. Lagipula Cia itu anak yang baik dan punya pendirian. Dia tidak akan mudah melupakanmu. Percayalah pada dirinya, dan percayalah pada dirimu sendiri."

"Iya Juna, jangan meremehkan dirimu sendiri. Kamu punya segalanya. Jika dia benar-benar anak yang baik, jarak dan waktu tidak akan merubah perasaannya. Tugasmu sekarang hanya satu, fokus pada pekerjaanmu, buktikan pada dia bahwa kamu itu pantas untuk dia. Jangan sampai kamu lengah karena urusan asmara." Tambah Papa Hartono menasehati.

Nasehat dari kedua orang tuanya sedikit meredakan kekhawatirannya Juna. Dia mengangguk."Iya Pa, Mi, aku akan fokus lagi. Terima kasih."

Malam itu, Juna kembali ke ruang kerjanya dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Dia tahu, dia tidak bisa hanya menunggu. Dia harus bergerak, fokus dan bekerja keras agar bisa membuat Cia bangga.

*******

Pagi hari di Tokyo datang dengan udara yang sejuk dan cerah.

Cia bangun tepat pukul 05.00 pagi. Karena alarm alamiah dalam dirinya yang terbawa dari desanya. Setelah berdoa diapun segera menyiapkan diri. Ia memilih pakaian yang paling rapih: blouse putih sederhana dengan rok bahan hitam, dipadukan dengan sepatu kets yang nyaman untuk berjalan jauh.

Ia mengecek tas ranselnya, semua yang dia butuhkan sudah tersusun rapi di dalamnya.

Ia makan Onigiri terakhir dan segelas air hangat. Sambil sarapan, Cia membuka ponselnya sebentar. Ia tidak melihat notifikasi dari Juna, tapi ada pesan masuk dari ibunya di desa, menanyakan kabarnya dan memastikan dia tidak lupa makan. Cia membalas pesan itu dengan penuh kasih sayang, dia mengatakan dia baik-bsik saja dan siap untuk hari pertamanya.

Pukul 07.30, Cia sudah rapi dan siap. Dia tidak ingin terlambat seperti pesan Kana, dia memutuskan untuk keluar lebih awal.

"Pagi, Kana-san, kamu rapi sekali," sapa Cia.

"Pagi, Cia-san. Tentu saja, hari ini kita ada kelas pengantar Studi Asia. Dosennya sangat ketat tentang penampilan. Bagus, kamu juga sudah rapi." Jawab Kana sambil tersenyum. "Ayo, kita berangkat. Aku akan mengantarmu sampai depan gerbang faakultasmu, setelah itu kita berpisah karena kelasku beda gedung."

Mereka berjalan kaki dari asrama, menembus cahaya pagi Tokyo. Keramaian Takadanobaba sudah dimulai, namun Cia kini berjalan dengan langkah lebih mantap. Rasa takut telah berganti menjadi antisipasi.

Setibanya di stasiun Takadanobaba, mereka naik kereta ke stasiun Waseda..Di dalam kereta Kana memberikan nasihat kepada Cia.

"Ingat senyum dan tunjukkan rasa hormat. Saat masuk kelas beri salam. Dan yang paling penting catat semua yang disen katakan. Ini hari pertamamu jadi serapan semua informasi," bisik Kana.

Cia mengangguk, "siap Kana-san."

Mereka diba di Waseda, gedung-gedung tampak lebih megah dibawah inar matahari pagi. Kana mengantar Cia ke sebuah gedung yang terbuat dari batu bata merah dengan pintu kayu besar.

"Ini dia, gedung 19, fakultasmu ada disini. Kelasku ada di gedung 16, jadi aku harus cepat-cepat. Kamu masuk saja, di pintu masuk ada papan pengumuman. Kelasmu di lantai 3," jelas Kana.

"Terima kasih banyak Kana-san. Aku tidak tahu jika tidak ada kamu," kata Cia tulus.

Kann menepuk pundak Cia. "Sama-sama. Selamat berjuang untuk hari pertamamu, Cia-san. Sampai jumpa nanti sore."

Setelah Kana pergi, Cia menarik napas dalam-dalam. Dia melihat jam tangannya pukul 08.45,. Tepat waktu.

Cia masuk ke gedung 19, mengikuti instruksi Kana. Di dalam ia menemukan lift, tapi memilih naik tangga untuk mencari udara segar. Di lantai tiga dia menemukan ruang kelas yang tertera di jadwalnya. Jantungnya berdebar kencang saat ia mendorong pintu kayu itu, memasuki takdir yang telah ia pilih ribuan kilometer dari rumahnya.

"Selamat pagi," Sapa Cia dalam bahasa Jepang dengan terbata-bata kepada beberapa mahasiswa yang sudah duduk di dalam.

Ia menemukan kursi kosong di barisan ke tiga. Ruangan itu tampak sunyi dan rapi, diisi sekitar empat puluh mahasiswa, yang fokus membaca buku atau merapikan catatan mereka. Mayoritas adalah orang Jepang, tetapi ada beberapa wajah internasional yang dikenali Cia sebagai sesama pendatang.

Cia meletakkan tasnya, kemudian mengeluarkan buku catatan dan pensilnya. Saat ia duduk, gadis Jepang di sebelahnya, dengan rambut sebahu dan kacamata bulat, tersenyum kecil padanya.

"Ohaiyou Gozaimasu," sapa gadis itu pelan. "Selamat datang di Waseda."

"Arigatou Gozaimasu," jawab Cia, sedikit terkejut dengan kehangatan itu." Nama saya, Gracia Nathania, biasa dipanggil Cia."

"Saya Akari, senang bertemu denganmu," balas Akari. "Kamu terlihat baru. Dari mana?"

"Indonesia. Ini hari pertamaku," bisik Cia.

Pukul 09.00, interaksi singkat mereka terputus. Pintu depan terbuka, dan seorang pria paruh baya yang terlihat sangat berwibawa, mengenakan setelan jas abu-abu, melangkah masuk Dia adalah Profesi Tanaka, Dosen Pengantar Studi Asia. Semua Mahasiswa langsung membungkuk hormat.

"Selamat pagi semua, saya profesor Tanaka, dan selamat datang di kelas Studi Komparatif Asia Timur," sapa Profesor Tanaka dengan suara bariton yang tegas, mulai menjelaskan silabus dan aturan main kelas tanpa basa-basi.

Cia segera fokus. Profesor Tanaka berbicara dalam Bahasa Jepang standar, tetapi dengan kecepatan akademis yang tinggi. Cia merasa kepalanya seperti dipaksa untuk menerjemahkan setiap kalimat yang masuk. Akari di sebelahnya mencatat dengan sangat cepat, sementara Cia hanya dapat menangkap kata kunci dan berusaha menulisnya di buku catatan.

Dia menyadari inilah tantangan yang sebenarnya. Perbedaan bahasa, perbedaan budaya belajar. Kekuatan tekadnya sekarang diuji.

Saat pikirannya sempat melayang memikirkan Juna, Cia segera menggelengkan kepala pela. dan kembali menatap papan tulis.

"Tidak ada waktu untuk bucin," batinnya keras. Satu minggu, Cia. Sekarang fokus pada kata-kata Profesor Tanaka.

Dia mencengkeram pensilnya, bertekad untuk tidak melewatkan satu pun informasi. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia akan belajar sungguh-sungguh.

Bersambung....

1
Afifah Aliana
lanjutkan semangat tor
Professor Ochanomizu
Asik banget!
Rachel Imelda: Makasih....
total 1 replies
Rachel Imelda
Makasih loh🙏. Sabar ya...
AteneaRU.
Gua setia nungguin update lo, thor! jangan bikin gua kecewa 😤
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!