"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34: PENGAKUAN CINTA LUCIAN
Hujan masih deras menghantam kaca mobil—tapi di dalam, ada keheningan yang berbeda.
Bukan keheningan canggung.
Tapi keheningan dua orang yang sedang merasakan sesuatu yang terlalu besar untuk diucapkan.
Tangan mereka masih bertautan—Chelsea menggenggam erat, Lucian membiarkan.
"Lucian," bisik Chelsea—suaranya lembut, hati-hati, seperti takut memecahkan momen ini, "aku tahu kamu takut. Aku tahu kamu merasa tidak pantas. Tapi..."
Ia menatap mata Lucian—mata yang basah air mata, mata yang penuh rasa sakit.
"Kalau begitu jangan pernah hancurkan aku. Janji?"
Kata-kata itu menghantam Lucian seperti petir.
Jangan pernah hancurkan aku.
Tapi bagaimana aku bisa berjanji itu ketika aku tahu—suatu hari nanti—kebenaran akan menghancurkannya?
"Chelsea, aku tidak bisa janji itu," bisiknya—jujur, meski menyakitkan. "Aku tidak bisa janji karena aku... aku takut suatu hari nanti aku akan—"
"Lalu jangan biarkan hari itu datang," potong Chelsea—matanya menatap Lucian dengan penuh keyakinan. "Apapun yang kamu sembunyikan, apapun yang kamu takuti—jangan biarkan itu menghancurkan kita. Lawan itu. Untuk kita."
Dadanya Lucian sesak—terlalu sesak.
Bagaimana aku melawan kebenaran? Bagaimana aku melawan masa lalu yang sudah terjadi?
"Aku mencintaimu," lanjut Chelsea—suaranya bergetar tapi tegas. "Aku mencintaimu dengan semua lukamu, dengan semua masa lalumu yang kamu sembunyikan, dengan semua ketakutanmu. Dan aku percaya—apapun yang kamu lakukan dulu—tidak mengubah siapa kamu sekarang."
Air mata Lucian jatuh lagi—kali ini tidak bisa ditahan.
"Kamu tidak tahu apa yang aku lakukan," bisiknya—suaranya pecah. "Kamu tidak tahu siapa aku sebenarnya."
"Lalu beritahu aku." Chelsea mendekat—wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. "Ceritakan padaku. Biar aku yang putuskan apakah aku bisa menerimanya atau tidak."
Aku tidak bisa. Kalau aku cerita—kamu akan membenciku. Kamu akan—
"Aku tidak bisa," bisik Lucian—suaranya nyaris hilang. "Aku tidak bisa cerita karena aku takut kehilanganmu. Dan aku... aku tidak sanggup kehilangan orang yang aku cintai lagi."
Chelsea terdiam—menatap Lucian yang menangis.
Lagi. Dia bilang lagi. Berarti dia pernah kehilangan orang yang dia cintai.
"Lucian," bisiknya—mengusap air mata di pipi Lucian dengan ibu jarinya, "kamu tidak akan kehilangan aku. Aku tidak akan kemana-mana."
"Kamu tidak bisa janji itu—"
"Aku bisa dan aku janji." Chelsea menggenggam wajah Lucian dengan kedua tangannya—memaksanya menatap matanya. "Aku janji tidak akan meninggalkanmu. Apapun yang terjadi. Apapun yang kamu ceritakan suatu hari nanti—aku tidak akan pergi."
Jangan janji itu. Kumohon jangan janji itu. Karena kamu tidak tahu betapa sulitnya menepati janji itu nanti.
Tapi melihat mata Chelsea—mata yang tulus, yang penuh cinta, yang percaya padanya tanpa syarat—Lucian merasakan sesuatu di dadanya pecah.
Tembok yang ia bangun selama delapan tahun—tembok untuk melindungi dirinya dari rasa sakit—runtuh.
Dan yang tersisa hanya... cinta.
Cinta yang terlalu besar untuk ditahan.
Cinta yang terlalu kuat untuk dilawan.
"Aku mencintaimu," bisik Lucian—untuk pertama kalinya mengatakannya dengan lantang. "Aku mencintaimu, Chelsea. Lebih dari apapun."
Air matanya mengalir—tapi kali ini bukan air mata kesedihan.
Bukan air mata penyesalan.
Bukan air mata rasa bersalah.
Tapi air mata... kebahagiaan.
Untuk pertama kali dalam delapan tahun—Lucian menangis karena bahagia.
"Aku mencintaimu," ulangnya—suaranya bergetar, tapi tulus. "Aku sudah mencintaimu sejak lama. Sejak kamu membalut lukaku di gang itu. Sejak kamu merawatku saat aku tidak punya apa-apa. Sejak kamu tersenyum untukku setiap pagi."
Ia menggenggam tangan Chelsea yang ada di wajahnya—erat, hangat.
"Kamu cahaya satu-satunya di delapan tahun kegelapanku. Kamu alasan aku masih ingin hidup. Kamu... kamu segalanya bagiku."
Chelsea menangis—menangis bahagia mendengar pengakuan itu.
"Aku juga mencintaimu," bisiknya sambil tersenyum di tengah air mata. "Sangat mencintai."
Mereka saling menatap—wajah basah air mata, mata merah, tapi ada kebahagiaan di sana.
Kebahagiaan yang rapuh.
Kebahagiaan yang mereka tahu mungkin tidak akan bertahan selamanya.
Tapi kebahagiaan yang nyata di momen ini.
Chelsea perlahan mendekat—dan Lucian tidak mundur.
Bibir mereka bertemu—lembut, hati-hati, seperti dua jiwa yang terluka yang takut menyakiti satu sama lain.
Ciuman pertama mereka.
Di dalam mobil yang dikepung hujan.
Di tengah air mata dan pengakuan.
Di tengah ketakutan dan harapan.
Ciuman yang manis dan menyakitkan bersamaan.
Karena Lucian tahu—ini ciuman yang dibangun di atas kebohongan.
Tapi ia tidak bisa menghentikannya.
Ia tidak bisa melepaskan Chelsea.
Karena ia sudah jatuh terlalu dalam.
Mereka melepas ciuman—dahi bertemu dahi, napas bercampur napas.
"Jangan pernah tinggalkan aku," bisik Chelsea.
"Aku tidak akan kemana-mana," jawab Lucian—meski hatinya berbisik sebaliknya.
Aku tidak akan meninggalkanmu. Tapi suatu hari nanti—kamu yang akan meninggalkanku. Ketika kamu tahu kebenaran.
Tapi malam itu—Lucian mengusir pikiran itu.
Malam itu—ia hanya ingin merasakan cinta ini.
Merasakan kehangatan tubuh Chelsea di pelukannya.
Merasakan detak jantung Chelsea yang berirama dengan detak jantungnya.
Merasakan... bahagia.
Mereka berpelukan lama—sangat lama—sampai hujan mulai reda.
Dan ketika akhirnya mereka melepas pelukan—ada senyum di wajah keduanya.
Senyum bahagia yang rapuh.
Senyum yang menyimpan janji—janji yang Lucian tahu ia tidak bisa tepati.
Maafkan aku, Chelsea. Maafkan aku karena akan menghancurkanmu suatu hari nanti.
Tapi hari ini—hanya hari ini—biarkan aku bahagia.