NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26: Harga Sebuah Tanda Tangan

​Kantor Hamengku Kusumo tidak terletak di gedung pencakar langit Segitiga Emas, melainkan di sebuah rumah Indische megah di kawasan Menteng Tua yang tersembunyi di balik pagar tembok tinggi dan pepohonan beringin.

​Tepat pukul delapan pagi, Bara dan Kaluna sudah duduk di ruang kerja pribadi Pak Hamengku.

​Ruangan itu beraroma cengkeh dari rokok kretek dan bau kertas tua. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan maestro Indonesia—Affandi, Basoeki Abdullah, Hendra Gunawan—yang nilainya mungkin melebihi valuasi beberapa perusahaan startup.

​Pak Hamengku duduk di balik meja kayu jati utuh yang sangat besar, mengisap kreteknya dengan santai sambil membolak-balik proposal yang diserahkan Kaluna. Asap rokok mengepul, menciptakan tirai tipis di antara mereka.

​Sudah tiga puluh menit berlalu tanpa satu kata pun. Hanya bunyi kertas dibalik dan detak jam antik di sudut ruangan.

​Bara duduk tegak di kursi rodanya, menahan rasa nyeri di lengannya yang berdenyut. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya, tapi wajahnya tetap tenang. Di sampingnya, Kaluna duduk dengan tangan saling meremas di pangkuan, berdoa dalam hati.

​Akhirnya, Pak Hamengku menutup proposal itu. Brak.

​Ia menatap Bara tajam.

​"Konsepnya bagus," puji Pak Hamengku datar. "Sangat Jawa. Sangat berkarakter. Ini baru hotel yang punya nyawa."

​Kaluna menghela napas lega, senyum tipis terukir di bibirnya.

​"Tapi," lanjut Pak Hamengku, mematikan rokoknya di asbak kristal. "Ada satu masalah besar."

​Jantung Bara mencelos. "Apa itu, Pak?"

​"Kamu," tunjuk Pak Hamengku dengan telunjuknya yang memakai cincin batu akik besar. "Kamu, Bara Adhitama. Reputasimu sedang hancur. Skandal asmara, kecelakaan kerja, perseteruan dengan investor lama. Di mata pebisnis, kamu adalah 'Aset Berisiko Tinggi'."

​Bara menelan ludah. "Saya akui kondisi sedang tidak ideal, Pak. Tapi saya jamin, manajemen operasional hotel tidak akan terganggu oleh masalah pribadi saya."

​"Jaminan mulut anak muda tidak laku di sini," potong Pak Hamengku tajam.

​Pria tua itu bersandar, menatap langit-langit berukir.

​"Saya dengar Siska Maheswari menuntut 250 Miliar hari ini juga? Kalau tidak, dia akan mempailitkan perusahaanmu?"

​"Betul, Pak," jawab Bara jujur.

​"Itu uang yang banyak, Bara. Bahkan untuk ukuran saya," ujar Pak Hamengku. "Kalau saya gelontorkan dana itu sekarang untuk melunasi utangmu, saya menyelamatkan lehermu dari jerat hukum. Tapi apa untungnya buat saya? Cuma dapat bagi hasil hotel yang belum tentu laku?"

​Bara memajukan tubuhnya sedikit. "Saya tawarkan 40% saham kepemilikan Hotel Menteng untuk Bapak. Itu angka yang sangat besar untuk silent investor."

​Pak Hamengku tertawa keras, tawa yang menggelegar di ruangan sunyi itu.

​"40%? Kamu pikir saya pengemis?"

​Pak Hamengku mencondongkan wajahnya, menatap mata Bara dengan intensitas seorang predator tua.

​"Saya mau 51%."

​Ruangan itu hening seketika.

​Kaluna ternganga. 51% berarti Pak Hamengku menjadi pemegang saham mayoritas. Itu artinya Bara kehilangan kendali penuh atas hotel warisan kakeknya sendiri. Adhitama Group akan menjadi minoritas di properti mereka sendiri.

​"Pak..." suara Bara tercekat. "Itu hotel warisan keluarga saya. Kalau saya lepas 51%, saya kehilangan hak veto."

​"Memang itu tujuannya," sahut Pak Hamengku dingin. "Saya tidak percaya pada kapten kapal yang sedang mabuk asmara dan emosi. Kalau kamu mau uang saya untuk menyelamatkan kapalmu, kamu harus serahkan kemudinya pada saya."

​Pak Hamengku mengambil pena emasnya, mengetuk-ngetuk meja.

​"Ambil atau tinggalkan. Tanda tangan pelepasan 51% saham sekarang, dan detik ini juga saya transfer 250 Miliar ke rekening Siska. Atau... kamu bisa keluar dari sini, pertahankan harga dirimu, dan biarkan hotel itu disita pengadilan besok pagi."

​Ini adalah pilihan buah simalakama.

Kehilangan kendali (tapi hotel selamat), atau kehilangan hotelnya sama sekali.

​Bara menoleh menatap Kaluna.

Kaluna menatapnya dengan pandangan sedih. Dia tahu betapa berartinya hotel itu bagi Bara. Itu adalah bukti bakti Bara pada kakeknya.

​"Bara..." bisik Kaluna. "Jangan dipaksakan kalau itu menyakitimu."

​Bara memejamkan mata sejenak. Ia mengingat ancaman Siska. Ia mengingat wajah ibunya yang ketakutan akan kemiskinan. Ia mengingat wajah Kaluna yang bersinar saat menggambar desain hotel itu.

​Jika dia menyerahkan 51%, hotel itu tetap berdiri. Kaluna tetap bisa berkarya. Karyawan tetap digaji.

Hanya ego Bara yang terluka. Hanya kekuasaan Bara yang hilang.

​Bara membuka matanya. Tatapannya jernih.

​"Siapkan dokumennya, Pak," ucap Bara mantap.

​"Bara!" Kaluna kaget.

​"Saya setuju," lanjut Bara, menatap Pak Hamengku tanpa keraguan. "51% untuk Bapak. Asalkan Bapak berjanji satu hal: Desain Kaluna tidak boleh diubah satu inci pun. Dan Kaluna tetap menjadi Arsitek Kepala sampai proyek selesai."

​Pak Hamengku tersenyum lebar. Senyum penuh rasa hormat.

​"Anak pintar. Kamu tahu kapan harus mundur untuk menang," ujar Pak Hamengku. "Saya setuju. Desain ini akan jadi masterpiece."

​Pak Hamengku menekan tombol interkom. "Sekretaris, bawa masuk akta notaris yang sudah saya siapkan tadi pagi."

​Ternyata orang tua licik ini sudah menyiapkan segalanya. Dia tahu Bara tidak punya pilihan.

​Dengan tangan kanan yang gemetar menahan emosi (bukan rasa sakit), Bara menandatangani dokumen pelepasan saham itu. Detik pena itu menyentuh kertas, Bara resmi bukan lagi "Raja" di Hotel Menteng. Dia kini hanya "Pangeran" yang bekerja di bawah Raja baru.

​Tapi saat ia meletakkan pena itu, ia merasakan kebebasan yang luar biasa.

​"Transfer sekarang," perintah Pak Hamengku pada staf keuangannya lewat telepon.

​Pukul 11.00 siang, di Ruang Rapat Utama Adhitama Tower.

​Siska Maheswari duduk di kursi yang biasanya diduduki Bara, memutar-mutar kursi itu dengan angkuh. Di hadapannya, tim pengacara dan auditor siap dengan tumpukan berkas sitaan.

​"Sudah jam sebelas," Siska melirik jam tangannya yang bertabur berlian. "Mana mantan tunanganku itu? Katanya mau bayar?"

​"Mungkin dia sedang menangis di pojokan, Bu," celetuk salah satu pengacara sambil tertawa.

​"Kasihan sekali," Siska mendesah dramatis. "Padahal aku sudah kasih waktu. Ya sudah, siapkan surat penyitaan aset. Kita ambil alih gedung hotelnya hari ini juga."

​Pintu ruang rapat terbuka.

​Bara masuk, didorong oleh Kaluna di kursi rodanya. Di belakang mereka, Rian berjalan dengan dada membusung, membawa selembar kertas kecil.

​"Maaf membuat kalian menunggu," kata Bara tenang.

​Siska menegakkan duduknya, matanya berkilat. "Wah, akhirnya muncul. Bawa uangnya, Sayang? Atau cuma bawa alasan?"

​Bara memberi isyarat pada Rian.

​Rian maju, meletakkan selembar kertas bukti transfer RTGS (Real-Time Gross Settlement) di hadapan Siska.

​"Pelunasan penuh," ucap Bara. "200 Miliar pengembalian investasi pokok. 50 Miliar penalti pembatalan kontrak. Total 250 Miliar Rupiah. Lunas."

​Mata Siska membelalak. Ia menyambar kertas itu, membacanya dengan teliti, mencari celah kepalsuan.

​"Tidak mungkin..." gumam Siska. Tangannya gemetar. "Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini dalam semalam? Kamu jual ginjal?"

​Ponsel Siska berbunyi. Notifikasi dari bagian keuangan perusahaannya. Dana 250 Miliar sudah masuk efektif ke rekening Maheswari Group.

​Siska membanting kertas itu ke meja. Wajahnya merah padam karena murka dan malu. Rencananya untuk menghancurkan Bara dan merebut hotel gagal total.

​"Siapa?" tuntut Siska, berdiri dan menunjuk wajah Bara. "Siapa yang mendanaimu? Siapa yang cukup bodoh menolong kapal karam sepertimu?"

​"Bukan urusanmu," jawab Bara dingin. "Uangmu sudah kembali. Sekarang, keluar dari kantorku. Keluar dari hidupku. Dan jangan pernah injakkan kakimu di properti Adhitama lagi."

​"Kamu pikir kamu menang, Bara?" teriak Siska histeris. "Kamu pasti menjual jiwamu pada setan untuk dapat uang ini! Kamu pasti kehilangan segalanya!"

​"Mungkin," Bara mengangkat bahu santai, lalu menoleh menatap Kaluna yang berdiri setia di sampingnya. "Tapi aku masih punya hal yang paling berharga."

​Bara menatap Siska dengan tatapan mengusir.

​"Satpam!" panggil Bara lewat interkom. "Tolong antar tamu kita keluar. Kalau mereka menolak, seret mereka atas tuduhan menerobos properti pribadi."

​Dua satpam berbadan tegap masuk.

​Siska menghentakkan kakinya, menyambar tasnya dengan kasar. Ia menatap Kaluna dengan tatapan penuh kebencian untuk terakhir kalinya.

​"Ini belum selesai, Kaluna! Tunggu saja pembalasanku!" ancam Siska.

​"Pintu keluarnya di sebelah sana, Bu Siska," jawab Kaluna tenang, tersenyum manis. "Hati-hati, lantainya baru dipel. Licin. Takut jatuh lagi seperti waktu pegang gamelan."

​Siska menjerit frustrasi, lalu berjalan cepat keluar ruangan diikuti gerombolan pengacaranya yang tertunduk malu.

​Begitu pintu tertutup dan suasana hening kembali, Bara merosot di kursi rodanya. Adrenalinnya habis. Rasa sakit di tangannya menyerang kembali.

​"Kamu oke?" tanya Kaluna cemas, berlutut di samping kursi roda.

​"Aku kehilangan 51% saham hotel, Lun," bisik Bara, menatap langit-langit. "Kakek pasti marah di kuburannya."

​Kaluna menggenggam tangan Bara. "Kakekmu pasti bangga. Kamu menyelamatkan warisannya dari tangan orang yang salah, meskipun kamu harus mengorbankan kekuasaanmu. Itu namanya pengorbanan pemimpin, Bara."

​Bara menunduk, menatap wanita di hadapannya.

​"Sekarang aku cuma CEO boneka, Lun. Gajiku mungkin dipotong Pak Hamengku. Dividenku kecil. Aku nggak sekaya dulu."

​"Memangnya aku peduli?" Kaluna tertawa kecil, mengusap pipi Bara. "Dulu aku pacaran sama mahasiswa yang naik motor butut dan makan di warteg. Menurutmu CEO boneka ini kurang menarik?"

​Bara ikut tertawa. Ia menarik tengkuk Kaluna dengan tangan kanannya, menyatukan kening mereka.

​"Terima kasih sudah menemaniku berperang," bisik Bara.

​"Sama-sama, Partner," balas Kaluna.

​Di luar jendela, matahari Jakarta bersinar terik, seolah merayakan kebebasan mereka. Badai besar sudah berlalu. Yang tersisa hanyalah pekerjaan rumah untuk membangun kembali apa yang rusak—baik itu bangunan hotel, maupun hati mereka berdua.

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!