Enam mahasiswa—Raka, Nando, Dimas, Citra, Lala, dan Novi—memutuskan untuk menghabiskan libur semester dengan mendaki sebuah bukit yang jarang dikunjungi di pinggiran kota kecil. Mereka mencari petualangan, udara segar, dan momen kebersamaan sebelum kembali ke rutinitas kampus. Namun, yang mereka temukan bukanlah keindahan alam, melainkan kengerian yang tak terbayangkan.
Bukit itu ternyata menyimpan rahasia kelam. Menurut penduduk setempat, kawasan itu dijaga oleh makhluk halus yang disebut “penunggu hutan”, sosok jin yang berwujud manusia tampan dan wanita cantik, yang gemar memperdaya manusia muda untuk dijadikan teman di alam mereka. Awalnya, keenamnya menertawakan cerita itu—hingga malam pertama di hutan tiba.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juan Darmawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Yang Misterius
Leo mengangguk pelan sambil mengusap wajahnya dengan baju yang diberikan Raka.
“Iya… gue lupa, Rak. Makanya kayak gitu,” jawabnya lirih, masih terdengar gemetar suaranya.
Raka menarik napas panjang, lalu menepuk bahu Leo sambil tersenyum tipis.
“Ya udah, jangan dipikirin lagi. Fokusin aja buat besok, perjalanan ke puncak kan masih panjang. Baca doa dulu sebelum tidur, biar mimpi buruknya gak datang lagi.”
Leo mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. Ia menutup matanya sejenak, menarik napas dalam, lalu perlahan mulai beristighfar pelan, menenangkan dirinya.
Di luar, angin malam tetap berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan daun pepohonan yang bergesekan, tapi kini suasana di pos pendakian terasa lebih tenang, meski bayangan hutan tetap gelap dan misterius.
****
Pak Arman, Pak Asep, Ki Waryo, Samidin dan Joko kini sudah menaiki bukit Arga Dipa cuaca dingin mulai terasa sangat dingin.
Pak Arman menggigil, menarik jaketnya lebih rapat. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti pepohonan bambu yang rimbun, membuat jarak pandang mereka semakin terbatas.
“Kita harus hati-hati, Sep. Jalurnya licin,” ucap Pak Arman sambil menapak perlahan di tanah yang basah karena embun.
Pak Asep mengangguk, napasnya mengepul di udara dingin.
“Iya, Man… jangan sampai salah langkah. Malam ini kabut tebal, bisa tersesat kalau ceroboh.”
Ki Waryo berjalan di depan, sesekali menoleh ke belakang memastikan semuanya masih menyusul.
“Tetap tenang, jangan panik. Ikuti langkah saya, dan ingat, senter matikan kalau saya bilang.”
Samidin dan Joko berjalan di sisi lain, masing-masing memegang golok pendek untuk berjaga-jaga. Suara langkah mereka di tanah basah terdengar pelan, seolah takut membangunkan penghuni hutan yang mereka tidak tahu apa saja.
“Dingin banget…,” gumam Samidin pelan, mencoba menghangatkan tangannya dengan menggosok-gosok.
Pak Arman menatap ke puncak yang samar tertutup kabut, hatinya campur aduk antara waswas dan tekad.
“Kita harus sampai secepatnya di puncak. Anak-anak itu… semoga mereka masih baik-baik saja.”
Ki Waryo hanya mengangguk, wajahnya datar namun mata yang tajam memperhatikan setiap gerakan bayangan di antara pepohonan. Malam itu, hutan Arga Dipa terasa hidup, penuh bisikan samar yang membuat setiap langkah mereka terasa berat dan waspada.
Beberapa menit terus melangkah tiba-tiba saja angin bertiup sepoi-sepoi membawa kabut yang terasa dingin seperti sedang berada dalam kulkas.
Pak Asep menahan napas sebentar, merasakan udara dingin menusuk tulang.
“Argh… dinginnya luar biasa malam ini,” gumamnya pelan sambil menekan jaket lebih rapat ke tubuh.
Pak Arman melangkah lebih hati-hati, matanya menelusuri kabut yang bergerak perlahan di antara pepohonan bambu.
“Hati-hati, Sep… kabut bisa menutupi jalur licin.”
Ki Waryo berhenti sejenak, mengangkat tangan memberi isyarat.
“Ssst… diam. Rasakan anginnya. Kalau kabut mulai bergerak seperti ini, artinya ada yang memperhatikan kita.”
Samidin dan Joko saling bertatapan, raut wajahnya menegang.
“Apa maksud Ki Waryo?” bisik Samidin, suaranya hampir tenggelam di deru angin.
“Ini… hutan Arga Dipa punya cara sendiri memberi peringatan,” jawab Ki Waryo tenang, namun nada suaranya menimbulkan rasa tegang di antara mereka.
Angin bertiup lebih kencang, membawa aroma basah tanah dan daun, seolah menyapu seluruh keberadaan mereka. Setiap langkah terasa berat, dan bayangan pepohonan yang terselip kabut seolah hidup, membuat malam itu semakin menyeramkan meski bulan masih samar di balik awan.
Ki Waryo menoleh ke belakang, matanya tajam menatap Pak Arman, Pak Asep, Samidin, dan Joko. Suaranya tenang tapi tegas:
“Tetap baca istighfar… jangan berpikiran aneh-aneh. Jangan biarkan rasa takut menguasai kalian. Ingat, malam ini hutan terasa hidup, tapi selama kalian tenang, insya Allah aman.”
Pak Arman mengangguk, membuka mulut pelan-pelan mengucap istighfar bersama yang lain. Angin dingin yang menyapu tubuh mereka terasa sedikit lebih ringan, seolah ketenangan itu memberi perlindungan meski kabut masih menyelimuti jalur pendakian.
Samidin menunduk sambil bergumam,
“Ya Allah, semoga kita selamat sampai puncak…”
Joko hanya diam, memegang goloknya erat-erat, mengikuti langkah Ki Waryo dengan hati-hati, setiap napasnya mengepul di udara dingin malam itu.
Tiba-tiba, kabut itu seakan ditarik pergi oleh angin, meninggalkan udara yang lebih jernih dan pandangan yang terbuka. Pepohonan, bebatuan, dan jalur pendakian kini tampak jelas, seolah hutan memberi mereka “izin” untuk melanjutkan.
Pak Asep menghela napas panjang, matanya menatap ke arah puncak yang kini terlihat lebih dekat.
“Alhamdulillah… kabutnya hilang,” ucapnya lega.
Pak Arman menepuk bahu Samidin dan Joko,
“Lihat, ini tanda kita bisa terus naik. Tapi tetap waspada, jangan lengah.”
Ki Waryo melangkah pelan di depan, matanya terus mengamati jalur.
“Hutan ini kadang seperti itu… memberi peringatan, lalu membuka jalannya. Kita harus tetap fokus dan tenang.”
Angin malam masih berhembus lembut, tapi tidak lagi menyeramkan. Langit gelap mulai menampakkan bintang-bintang samar, memberikan semacam ketenangan bagi rombongan yang bersiap menapaki sisa perjalanan menuju puncak Arga Dipa.
Pak Arman yang berjalan di belakang Ki Waryo tiba-tiba saja ia teringat ia membawa tasbih ia segera mengeluarkan dari saku baju koko yang ia pakai berlapiskan jaket.
Pak Arman merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan tasbih yang selalu dibawanya. Ia mulai memutar butir-butir tasbih itu satu per satu, mengucap doa pelan-pelan.
“Bismillah… astaghfirullah… la ilaha illallah…” gumamnya lirih sambil melangkah pelan, memastikan setiap langkah di jalur pendakian yang masih licin tetap hati-hati.
Pak Asep menoleh, tersenyum tipis,
“Abi selalu bawa tasbih ya, Man… ini menenangkan.”
Pak Arman mengangguk, matanya menatap puncak di kejauhan,
“Iya… selain menenangkan, ini juga pengingat bahwa kita berjalan dengan perlindungan Allah. Hutan ini, kabut ini… semua bisa kita hadapi dengan hati tenang.”
Ki Waryo berjalan di depan, menyesuaikan langkah dengan Pak Arman dan Pak Asep, sementara Samidin dan Joko mengikuti di belakang, merasakan ketenangan yang perlahan menyelimuti mereka setelah kabut menghilang.
****
Di desa Mekar Sari Ki Kusumo kakak dari Pak Arman sedang tersenyum melihat nampan berisi air di dalam nampan itu nampak wajah Aisyah kerokannya anak Pak Arman.
Ki Kusumo tersenyum lebar sambil menatap nampan berisi air itu. Di permukaan air, bayangan wajah Aisyah tercermin dengan jelas.
“Sebentar lagi usiamu genap 18 tahun, hahahaha…” gumam Ki Kusumo pelan sambil mengusap jenggotnya. Ada kesan misterius di matanya, seolah ia mengetahui sesuatu yang tak banyak orang tahu.
“Sebentar lagi waktunya saya akan memberikan persembahan kepada Dewi Kumala Sari dan kekuatanku akan bertambah hahaha...” Ki Kusumo tertawa namun dengan suara yang sedikit di tahan agar istrinya tidak mengetahui.
Namun tanpa ia ketahui bu Mina istrinya diam-diam mengintip dari celah dinding yang tidak jauh dari Ki Kusumo, ia mencoba mendengar ucapan suaminya sambil mengernyit, merasa ada aura aneh yang berbeda dari kakak suaminya itu malam itu.
Ki Kusumo menunduk lagi ke nampan air, matanya berkilat samar.
“Semua harus berjalan sesuai rencana… Dewi Kumala Sari harus puas… dan tak ada yang boleh menghalangi,” gumamnya pelan, suaranya hampir hilang di antara angin malam.
Ia kemudian menutup nampan perlahan, menahan senyum licik di wajahnya, seolah menyimpan rahasia besar yang hanya dirinya yang tahu.
Di luar rumah, bayangan pepohonan bergoyang diterpa angin malam, menciptakan kesan bahwa desa Mekar Sari malam itu penuh misteri yang belum terungkap.