Padmini, mahasiswi kedokteran – dipaksa menikah oleh sang Bibi, di hadapan raga tak bernyawa kedua orang tuanya, dengan dalih amanah terakhir sebelum ayah dan ibunya meninggal dunia.
Banyak kejanggalan yang hinggap dihati Padmini, tapi demi menghargai orang tuanya, ia setuju menikah dengan pria berprofesi sebagai Mantri di puskesmas. Dia pun terpaksa melepaskan cintanya pergi begitu saja.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Benarkah orang tua Padmini memberikan amanah demikian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12 : Kirman
AKHHH!!
Tubuhnya langsung menggigil, bibirnya bagaikan tersapu angin topan, dan giginya saling beradu.
Jeritannya disambut tawa melengking Padmini. Bertepatan dengan itu belasan bambu obor setinggi dua meter tertancap di tanah menyala bersamaan.
Sungai mirip telaga pun jadi terang benderang, membuat pria bejat bertambah ketakutan, ia memandang sekeliling. Bergegas tangannya menyingkirkan Belatung, lalu duduk. “Ini_ ini dimana?”
Pekikan terkejut bercampur cemas kembali membahana. Kaki yang tadi hendak mencelup kedalam air ditarik lagi saat melihat kepala Buaya menyembul ke permukaan air, mata hewan buas itu berbeda dari yang pernah ia lihat. Merah menyala.
“Tolong _ tolong! Aku dalam bahaya, tolong!” ia berteriak seperti orang gila. Bokongnya berputar ke segala arah di atas batu berpermukaan tak rata, berharap ada yang mendengar jeritannya.
Masih dirasa kurang, telapak tangannya menguncup layaknya corong di sekitar mulut. “TOLONG! TOLONG! TOLONG!!!”
“Bambang! Juned! Tolong!” dua nama paling dibenci oleh Padmini, digemakan.
Gadis dengan penampilan bak Tarzan itu keluar dari balik pohon tua. Seringai culas dan tatapan mata menghujam, menggetarkan netra siapa saja.
“Kau, kau masih hidup?!” Jari telunjuknya bergoyang kala menunjuk, jakunnya naik turun. Gadis yang seminggu lalu dia remas bokongnya, kini bagaikan sosok lain. Terlalu sadis tatapannya, terlalu menyeramkan seringainya.
Padmini berdiri tepat di tepian sungai berair tenang, berseberangan dengan pria yang mulai terkencing-kencing di celana sedikit mengering. Jarak mereka hanya terbentang dua meter.
“Mana tangan gatal itu, bolehkah aku menyapanya dengan ini?” Golok dalam genggaman diacungkan. Kakinya masuk ke dalam air yang setinggi dada.
Anehnya para Buaya yang jumlahnya lebih dari tiga ekor tidak menyerang Padmini, memilih memberikan jalan.
Kaki bak tak bertulang itu mundur pelan-pelan, sampai merasakan tepi batu – ia menahan napas dan dapat mendengar detak jantungnya bertalu-talu. “Mau apa kau? Ja_ngan mendekat!”
Padmini sampai di sisi batu setinggi bahunya, diletakkan golok pada permukaan batu, lalu menaikan kaki kanan kemudian tubuhnya pun ikut naik.
“Bukankah tempo hari kau begitu bernafsu ingin merasakan tubuhku? Sekarang aku ada tepat di hadapanmu, ayo maju sini!” suaranya sungguh menggoda.
Pria tua bangka itu menelan kasar air liur, matanya memandang lekat bagian perut berkulit mulus tak tertutup kain jarik, lalu naik pada gundukan terlihat menantang – apa yang ada di hadapannya seolah melenyapkan rasa takut.
Sesuatu dibawah sana sudah berdiri, entah dorongan darimana, ia maju kala tatapannya dengan Padmini tak terputus. Manik hitam legam itu seolah memiliki magnet membuat mangsanya berada di batas kesadaran.
Para predator air mengelilingi batu, seakan bersiap menangkap bila ada daging segar dilemparkan.
“Ahh ….” si pria mendesah, hawa tubuhnya memanas, dan nafsunya mulai menyerang titik lemah, melumpuhkan persendian serta akal sehat. Kala jarak semakin menipis, dia mengulurkan tangan kanan hendak meremas buah dada yang membuat air liurnya menetes.
Slas! Krack!
Byur!
Para Buaya berebutan kala sesuatu tercebur ke dalam air.
Secepat kilat hingga sensorik motorik pria kurang ajar itu lumpuh. Beberapa detik kemudian, matanya menatap lengan yang tak lagi memiliki pergelangan tangan dan jari.
“HUWWAAH! ARGHH!” Kakinya berjingkat-jingkat, dia lupa sedang berdiri di batu bukan jalanan rata.
Padmini mengelap cipratan darah yang mengenai wajahnya, matanya masih tidak berkedip memandang lekat-lekat seolah tengah menguliti pria nyaris sekarat. ‘Kang, si Bedebah yang karena dia kau dipukuli, disiksa bak hewan – lihatlah betapa pengecutnya dia! Aku cuma menebas tangan gatalnya, tapi dirinya seperti menghadapi kematiannya. Sangat berlebihan ekspresinya!’
“Tolong!”
Byur!
Kala tak tahan menahan perih, dan dahsyatnya rasa sakit, pria bertubuh kurus itu oleng dan tercebur. Darahnya masih terus menetes dari tangan buntung, membuat warna air disekelilingnya bercampur merah.
Bau anyir yang semakin pekat, membangunkan sesuatu bersemayam di dasar sungai dalam dekat tebing.
Permukaan air yang tenang tiba-tiba beriak lalu bergejolak, sesuatu layaknya rambut terurai panjang muncul dipermukaan, seperti sulur tumbuhan merambat – bergerak tenang namun mematikan.
Hup hup hup!
Suara napas bercampur dengan air tertelan masuk ke tenggorokan menjadi melodi paling indah didengar oleh Padmini. Ia menyeringai, lalu tertawa seraya bertepuk tangan.
“Pak tua awas! Dibelakangmu ada Buaya! Oh di samping juga ada, eh di depan pun ada … ha ha ha! Matilah kau Sialan!!”
“To_long!” Kepalanya timbul tenggelam, ia seperti mandi di kolam merah berbau besi berkarat.
Matanya melotot sempurna ketika melihat warna hitam mendekat, dirinya yang lupa bagaimana caranya berenang – memukul-mukul air.
ARGHH!
Tangan buntung itu ditarik sampai empunya menjerit.
Sesuatu yang tadi cuma berupa warna hitam layaknya rambut, muncul dan menampakkan wujudnya.
Padmini terpaku, anggota geraknya seolah dipaku, matanya tidak berkedip melihat sosok mengerikan.
WUARR!
Bibirnya terbuka sampai tulang rahangnya terpisah dan gigi-gigi tajam bak mata gergaji terlihat tumpang tindih. Wajah sepucat kapas, bola mata menonjol keluar dan berwarna merah darah dengan pupil putih sangat kecil.
Si pria pucat pasi, dia tidak tenggelam, kepalanya menyembul di permukaan air. “Akh_ sa_kit!”
Iblis bertelinga runcing, berambut hitam legam, mata seperti api menyala, menghisap darah dari luka menganga.
Air sungai yang tadi bercampur warna merah, perlahan kembali jernih – sang pria melotot dan sebelah tangannya terlihat kejang-kejang sampai permukaan air bergelombang.
Tidak lebih satu menit, tubuh menegang itu lemas lalu tenggelam kala dilepaskan sang Iblis. Sosoknya kembali menyelam dan menghilang.
Rukmi sedari tadi membungkuk, kini menegakkan tubuh. Memerintah pada para Buaya untuk menyempurnakan ritual persembahan. “Nikmatilah persembahan dari penghuni baru Lembah ini!”
Kepala dengan moncong lancip itu menyelam. Para Buaya tersebut tunggangan sang Iblis.
“Padmini ….”
Yang dipanggil lirih, menoleh ke samping. Rukmi sudah berdiri di dekatnya.
“Apakah kau sudah siap mengetahui rahasia tersembunyi puluhan tahun lamanya, dan alasan mengapa kau bisa bertahan tetap hidup padahal telah terjatuh dari ketinggian dua puluh meter?”
“Apa yang tak ku ketahui, Rukmi? Lalu bagaimana dengan janjimu perihal kematian orang tuaku?”
Rukmi tersenyum angkuh. “Semua terhubung layaknya benang kusut yang sudah saatnya diurai.”
“Maksudmu …?”
.
.
Bersambung.
Aq suka ide mu Kaka,, bener2 ga d sangka2..., biasanya kalo ad hajatan,, kericuhan yg d khawatirkan itu seperti tiba2 ad yg kesurupan,, atw ad yg mabuk trus berkelahi,, dan kalo pun ad yg keracunan makanan,, taunya setelah pulang k rumah.
Lha ini...,, keren ...,, keributan,, kepanikan,, ketegangan dan jangan lupa bau yg luar binasa bikin orang muntah2 serta pemandangan yang menjijikan. Benar kata Sundari...,, ini pernikahan yg terkutuk 🤣
mana di kamar pengantin juga ada🤣🤣