Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Malam itu, suasana di rumah besar milik Alexander terasa mencekam. Hujan deras mengguyur kota, petir menyambar di kejauhan.
Di dalam ruang kerjanya yang luas dan remang, Alexander duduk di kursi kulit hitam, wajahnya penuh amarah dan kebencian.
Ia menatap tajam layar laptop di depannya laporan keuangan perusahaan menunjukkan kenyataan pahit dimana semua saham miliknya telah disapu bersih oleh Sebastian Vettel.
Tangannya mengepal keras hingga buku jarinya memutih.
“Vettel…” desisnya dengan nada rendah dan dingin.
“Kamu pikir ini sudah berakhir?”
Ketukan pintu terdengar keras, memecah keheningan ruangan.
“Masuk!” bentaknya dengan suara berat.
Pintu terbuka perlahan. Sosok Nakula berdiri di ambang pintu wajahnya tampak letih, namun matanya menyimpan bara dendam.
“Selamat malam, Tuan Alexander,” ucapnya dengan nada rendah namun tajam.
“Aku tidak ingat memanggilmu. Apa yang membuatmu datang ke rumahku di tengah malam?”
“Kita berdua sama, Tuan. Sama-sama punya urusan yang belum selesai dengan Sebastian dan Amira.”
Mendengar nama itu, Alexander langsung mendengus pelan.
“Amira…” suaranya berubah, ada campuran hasrat dan kebencian di dalamnya.
“Perempuan itu membuatku kehilangan kendali. Sekarang Sebastian mengambil segalanya dariku termasuk dia.”
Nakula mendekat, matanya menatap tajam.
“Saya tahu cara untuk menghancurkan mereka, Tuan. Kita bisa bekerja sama. Biar saya yang membawa Amira keluar dari perlindungan Sebastian.”
Alexander menatap Nakula lama, lalu perlahan tertawa-tawa yang dingin dan mengerikan, bergema di ruang itu.
“Kerja sama, kamu bilang?” Ia berdiri, menatap Nakula dari atas ke bawah
“Lucu sekali, Na. Kamu ingin mengambil perempuan yang sudah jadi milikku?”
Nakula menggertakkan rahang, tapi tetap menunduk sedikit.
“Saya hanya ingin membalas dendam. Setelah itu, terserah Tuan mau melakukan apa dengannya.”
Alexander mendekat perlahan, menepuk bahu Nakula dengan senyum sinis.
“Jangan salah paham, Nakula. Amira bukan lagi milikmu. Dia milikku.”
Nada suaranya tajam, nyaris seperti desisan ular.
“Kamu dengar itu? Milikku.”
Nakula menatap Alexander dengan amarah yang ditahan, tapi ia tahu untuk saat ini, ia harus menuruti permainan Alexander
“Baik, Tuan. Saya akan cari cara untuk mendekati mereka. Tapi saya butuh waktu dan uang.”
Alexander tertawa lagi, kali ini lebih pelan, namun penuh ancaman.
“Waktu dan uang akan kamu dapatkan. Tapi ingat baik-baik, Nakula, kalau kamu gagal aku akan pastikan kau menyesal pernah hidup.”
“Cari cara. Bawa Amira padaku. Aku ingin dia berlutut di depanku, memohon ampun.”
Petir menyambar lagi di luar jendela.
Nakula hanya mengangguk, menyembunyikan senyum tipis di sudut bibirnya.
Pagi itu suasana di rumah keluarga Vettel terasa hangat.
Amira tampak segar setelah beristirahat cukup lama, dan hari ini Sebastian berjanji akan menemaninya berbelanja.
“Sayang, nanti setelah kamu pilih gaun, kita makan siang di restoran yang kamu suka, ya?” ujar Sebastian sambil merapikan jasnya.
“Boleh, asal kamu nggak sibuk dengan telepon terus,” candanya lembut.
Sebastian tertawa kecil, lalu melirik ke arah ibunya yang baru turun dari tangga.
Casandra tersenyum hangat.
“Kalian hati-hati di jalan, ya. Nanti mama akan menyusul kalian berdua.”
“Baik, Ma,” jawab Sebastian sambil mengangguk sopan.
Beberapa menit kemudian, mereka berdua berangkat menuju salah satu mal paling bergengsi di kota itu.
Di sepanjang perjalanan, Amira terlihat bahagia, sesekali menatap keluar jendela menikmati pemandangan.
Begitu tiba di mal, Sebastian menerima telepon penting dari klien luar negeri.
“Kamu duluan aja masuk, sayang. Aku nyusul begitu telepon ini selesai,” katanya lembut.
Amira mengangguk dan melangkah masuk ke area butik mewah yang terletak di lantai dua.
Matanya langsung tertuju pada sebuah gaun pesta berwarna biru muda di balik kaca etalase.
Gaun itu tampak berkilau di bawah cahaya lampu, begitu indah hingga Amira terpaku sejenak.
Dengan langkah pelan, ia masuk ke dalam butik.
Namun baru beberapa detik, dua pelayan perempuan di sana sudah saling berbisik sambil menatapnya dari ujung kepala hingga kaki.
“Dia yakin bisa beli sesuatu di sini?” bisik salah satu pelayan dengan nada sinis.
“Lihat pakaiannya aja biasa banget. Mungkin cuma mau numpang foto,” balas yang lain dengan tawa kecil.
Amira pura-pura tidak mendengar, mencoba tetap tenang dan berjalan menuju rak gaun.
Namun sebelum ia sempat menyentuh kain itu, salah satu pelayan menahan tangannya.
“Maaf, Bu, butik ini khusus untuk pelanggan yang benar-benar serius membeli, bukan sekadar melihat-lihat,” ucap pelayan itu dingin.
“Saya cuma ingin mencoba satu gaun itu. Kalau cocok, saya akan beli.”
Pelayan itu malah menyeringai sinis. “Ibu yakin punya uangnya?”
Amira menelan ludah, menatapnya dengan tidak percaya bahwa orang bisa sejahat itu hanya karena penampilan.
Tapi ia tidak sempat menjawab ketika pelayan lain memanggil petugas keamanan.
“Tolong antar wanita ini keluar. Jangan buat tempat kami terlihat murahan.”
Petugas keamanan mendekat, dan Amira berusaha menjelaskan.
“Saya tidak bermaksud—”
Namun sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, suara berat dan tegas menggema dari arah pintu.
“APA YANG KALIAN LAKUKAN?!”
Suara itu membuat semua orang di butik langsung menoleh.
Sebastian berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh kemarahan.
Telepon masih di tangannya, tapi tatapannya menusuk seperti pisau.
Para pelayan langsung menunduk ketakutan. Salah satunya bahkan hampir menjatuhkan clipboard yang dipegangnya.
“T-tuan, kami tidak tahu kalau beliau—” salah satu mencoba bicara, namun terpotong oleh tatapan dingin Sebastian.
“Kalian mengusir istri saya dari butik ini?” suaranya pelan tapi menggetarkan ruangan.
“Apakah itu cara kalian memperlakukan pelanggan, apalagi Nyonya Sebastian Vettel?”
Amira menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca.
Ia tidak menyangka Sebastian datang secepat itu.
Pelayan yang tadi mengejeknya langsung gemetar dan menunduk dalam.
“M-maaf, Tuan. Kami tidak tahu…”
Sebastian melangkah maju mendekati Amira, menggenggam tangannya lembut sambil tetap menatap tajam para pelayan.
“Kalian seharusnya memperlakukan setiap orang dengan hormat, tidak peduli siapa mereka.”
Ia menoleh pada manajer butik yang baru muncul karena keributan.
“Saya ingin nama dua orang pelayan ini. Dan mulai hari ini, butik ini tidak akan pernah lagi menerima kerja sama sponsor dari perusahaan saya.”
Manajer butik langsung pucat, membungkuk dalam.
“Maafkan kami, Tuan Vettel, kami akan segera menangani hal ini.”
Sebastian menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Amira yang masih menunduk.
“Sudah, sayang. Ayo, kita cari butik lain,” ujarnya lembut.
Sebastian dan Amira akhirnya keluar dari butik pertama dengan suasana hati yang mulai tenang.
Sebastian menggenggam tangan istrinya sambil menatapnya lembut.
“Maaf ya, Sayang. Aku nggak nyangka mereka bisa bersikap seburuk itu.”
“Tidak apa-apa, Bas. Aku sudah lupa. Kita cari butik lain saja, ya?” ucap Amira sambil tersenyum kecil.
Sebastian mengangguk dan melangkah bersamanya ke arah butik lain di sisi timur mall tempat yang terkenal dengan pelayanan ramah dan koleksi eksklusifnya.
Begitu masuk, suasana hangat langsung terasa. Pelayan butik menyambut mereka dengan senyum ramah.
“Selamat siang, Nyonya dan Tuan. Silakan, mungkin kami bisa bantu memilihkan sesuatu?”
Amira langsung tertarik pada gaun pesta berwarna merah marun dengan hiasan renda lembut di bagian bahu.
Gaun itu tampak elegan sekaligus kuat seperti dirinya.
“Aku suka yang ini,” ucapnya pelan.
“Kalau begitu, coba dulu. Aku yakin itu akan terlihat luar biasa di tubuhmu.” ujar Sebastian.
Amira tersipu, lalu dibimbing oleh salah satu pelayan menuju ruang ganti di bagian belakang butik.
Sementara itu, Sebastian menerima panggilan penting dari klien luar negeri yang membicarakan kontrak besar perusahaan.
“Ya, saya akan kirimkan proposal finalnya sore ini,” ucap Sebastian sambil berjalan menjauh, mencari tempat yang lebih tenang.
Di ruang ganti, Amira baru saja mengganti bajunya dan berdiri di depan cermin besar.
Ia tersenyum kecil melihat pantulan dirinya dalam gaun itu anggun, berkelas, dan tampak seperti dirinya yang baru.
Namun senyum itu hilang ketika pintu ruang ganti tiba-tiba terbuka perlahan.
“Nakula?!” seru Amira dengan mata melebar ketakutan.
Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum licik di wajahnya.
“Kamu harus ikut aku, Amira,” katanya dengan nada rendah dan dingin.
Amira mundur selangkah, tubuhnya gemetar.
“Apa yang kamu lakukan di sini?!”
Nakula melangkah maju, matanya menatap Amira dengan tatapan tajam penuh obsesi.
“Aku datang menjemputmu. Kamu seharusnya bersamaku, bukan dengan Sebastian. Aku tidak akan membiarkan dia memiliki kamu sepenuhnya.”
Amira menatapnya panik, mencoba mencari cara untuk berteriak, tapi suara tertahan di tenggorokannya.
“Tidak, Nakula. Jangan—”
Belum sempat ia melangkah mundur lagi, Nakula mengeluarkan sapu tangan yang telah dibasahi cairan bius.
“Maafkan aku, Amira. Ini satu-satunya cara agar kamu kembali padaku.”
Amira menjerit kecil dan mencoba melawan, tapi Nakula menutup mulut dan hidungnya dengan cepat.
“MMMPH!!”
Suara teredam terdengar, lalu tubuh Amira mulai melemah, pandangannya kabur, dan akhirnya terkulai tak sadarkan diri.
Nakula menatap tubuh Amira yang pingsan dengan tatapan penuh obsesi, lalu mengangkatnya dengan hati-hati dan menyelimutinya dengan jaket hitam agar tidak menarik perhatian.
Ia keluar lewat pintu darurat belakang butik, menuju parkiran bawah tanah tempat mobilnya sudah menunggu.
Sementara itu, Sebastian masih sibuk dengan panggilan telepon di seberang lobi butik.
“Ya, kontrak itu akan saya tanda tangani malam ini. Tidak perlu khawatir, semuanya sudah beres,” katanya santai.
Begitu ia menutup telepon, matanya beralih ke arah butik.
Namun ketika ia menunggu Amira keluar dari ruang ganti.
Waktu berlalu lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit.
Sebastian mulai gelisah. Ia masuk ke dalam butik, memanggil nama istrinya.
“Amira? Sayang, kamu di mana?”
Pelayan butik menatap satu sama lain, bingung.
“Tadi Nyonya masuk ke ruang ganti, Tuan. Tapi sepertinya belum keluar.”
Sebastian bergegas ke ruang ganti, membuka satu per satu pintu.
Kosong.
Hanya gaun yang tadi dikenakan Amira tergeletak di kursi.
Wajah Sebastian seketika tegang dan langsung memanggil Diko lewat ponselnya dengan suara berat dan penuh amarah.
“Diko, Amira hilang.”
Diko langsung mengajak anak buahnya untuk menuju ke Mall
up'ny yg bnyk thor🙏💪