kisah cinta di dalam sebuah persahabatan yang terdiri atas empat orang yaitu Ayu , Rifa'i, Ardi dan Linda. di kisah ini Ayu mencintai Rifa'i dan Rifa'i menjalin hubungan dengan Linda sedangkan Ardi mencintai Ayu. gimana ending kisah mereka penasaran kaaan mari baca jangan lupa komen, like nya iya 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Husnul rismawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 27 keresehan wati
Pagi menyapa dengan sinarnya yang malu-malu, menembus tirai kamar Ardi. Ia terbangun dengan kepala terasa berat, namun tekadnya semalam masih membara. Hari ini, ia harus bicara dengan Ayu. Ia harus tahu. Tapi sebelum menemui Ayu, ia memutuskan untuk berangkat kerja. Setelah membersihkan diri, Ardi mencari seragam kerjanya, memakainya, dan bersiap-siap ke kantor.
Sesampainya di kantor, Ardi langsung disibukkan dengan berbagai pekerjaan. Ia harus melayani nasabah yang ingin membuka rekening, melakukan transaksi, atau mengajukan pinjaman. Waktu berlalu begitu cepat, hingga tak terasa jam makan siang tiba.
Ardi kehilangan nafsu makan. Ia hanya memesan secangkir kopi dan duduk termenung di mejanya. Pikirannya kembali tertuju pada Ayu. Ia bertanya-tanya, apakah Ayu baik-baik saja? Apakah dia sudah makan? Apakah dia masih memikirkan Rifa'i?
Usai jam makan siang, Ardi kembali bekerja dengan lebih giat. Ia berusaha menyelesaikan semua pekerjaannya secepat mungkin agar bisa segera menemui Ayu. Ia tak ingin menunda lagi. Ia ingin segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Di sisi lain kota, Ayu terbangun dengan mata bengkak dan sisa air mata kering di pipinya. Kicauan burung terdengar sumbang di telinganya. Ia merasa kosong, lelah, dan bingung. Menatap pantulan dirinya di cermin, ia menghela napas panjang. "Ayu, kamu harus kuat," bisiknya pada diri sendiri. Ia memutuskan untuk tidak membiarkan kesedihan menguasai dirinya.
Akhirnya, pukul 17.00 tiba. Ardi segera membereskan mejanya dan berpamitan pada rekan-rekannya. Ia bergegas ke parkiran dan melajukan mobilnya menuju rumah Ayu.
Sepanjang perjalanan, Ardi terus memikirkan kata-kata yang akan ia ucapkan pada Ayu. Ia ingin jujur, namun tak ingin menyakiti perasaannya. Ia ingin memberikan dukungan dan perhatian, namun tak ingin memaksa Ayu untuk membalas perasaannya.
Ardi merasa gugup. Ia tak tahu bagaimana reaksi Ayu nanti. Apakah Ayu akan marah? Apakah Ayu akan menjauhinya? Apakah persahabatan mereka akan rusak?
Ardi berusaha menenangkan diri. Ia percaya, apa pun yang terjadi, ia akan tetap menyayangi Ayu. Ia akan selalu ada untuk Ayu, sebagai sahabat, atau lebih dari itu, jika Ayu mengizinkan.
Akhirnya, Ardi tiba di depan rumah Ayu. Ia menarik napas dalam-dalam dan mematikan mesin mobilnya. Ia keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu rumah Ayu.
Dengan ragu, Ardi menekan bel.
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Ayu muncul dengan wajah lelah dan sedih. Matanya sembab, seperti habis menangis.
"Ardi?" sapa Ayu lirih.
"Yu," balas Ardi. Ia menatap Ayu dengan tatapan penuh kasih sayang. "Boleh aku masuk?"
Ayu mengangguk pelan dan mempersilakan Ardi masuk. Mereka berdua duduk di sofa ruang tamu. Suasana terasa canggung dan tegang.
"Kamu kenapa, Yu?" tanya Ardi lembut. "Kamu kelihatan sedih banget."
Ayu menunduk, menyembunyikan matanya yang sembab. "Aku... aku nggak apa-apa kok, Di. Cuma lagi capek aja. Semalam kurang tidur." Ia berusaha tersenyum, namun senyumnya terlihat dipaksakan.
Ardi menatap Ayu menyelidik. Ia tahu Ayu berbohong. Ia bisa melihat kesedihan di matanya, meski Ayu berusaha menyembunyikannya. "Yu, jujur sama aku. Ada apa sebenarnya? Kamu nggak bisa bohong sama aku."
Ayu menggelengkan kepala. "Nggak ada apa-apa, Di. Beneran. Aku cuma lagi nggak enak badan aja. Mungkin mau flu." Ia berusaha meyakinkan Ardi, tapi suaranya bergetar.
Ardi menghela napas panjang. Ia tahu, Ayu tak akan terbuka jika ia tak memaksanya. Tapi, ia juga tak ingin membuat Ayu merasa tidak nyaman. "Oke, Yu. Aku percaya sama kamu. Tapi, kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita sama aku, ya? Aku selalu ada buat kamu."
Ayu mengangguk pelan. "Iya, Di. Makasih." Ia berusaha tersenyum lagi, kali ini senyumnya terlihat lebih tulus.
Ardi menggenggam tangan Ayu erat. "Aku juga sayang sama kamu, Yu. Sebagai sahabat." Ia menelan perasaannya sendiri, berusaha tidak mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di hatinya. Ia tahu, Ayu belum siap mendengar pengakuannya.
Malam itu, meski Ayu berusaha menyembunyikan perasaannya, Ardi bisa merasakan sesuatu mengganjal. Mereka asyik mengobrol tentang hal-hal ringan, mencoba mencairkan suasana yang tegang. Ayu tertawa kecil saat Ardi menceritakan kejadian lucu di kantor hari ini.
Tiba-tiba, suara familiar memecah keheningan.
"AYUUUU! Ada apaan nih rame-rame?!"
Ayu dan Ardi tersentak kaget. Wati, sahabat kecil Ayu sejak mereka masih ingusan, berdiri di depan pintu rumah Ayu dengan tangan berkacak pinggang. Wajahnya usil, tapi matanya memancarkan keakraban.
Ardi menghela napas lega. "Kirain siapa," gumamnya pelan. Ia tahu, meski Wati kadang menyebalkan, ia selalu punya niat baik.
Ayu tersenyum lebar. "Eh, Wati! Sini masuk! Kita lagi ngobrol-ngobrol aja."
Wati masuk dan langsung duduk di samping Ayu. "Ngobrolin apa nih? Kok kayaknya seru banget?"
"Nggak kok, Wat, cuma ngobrol biasa aja sama Ardi," jawab Ayu.
Tiba-tiba, Ardi yang biasanya sabar, angkat bicara. "Wati, bisa nggak sih kamu nggak usah teriak-teriak gitu? Ini rumah orang, bukan hutan. Masuk rumah tuh salam, bukan malah bikin kaget!" Ardi menatap Wati kesal.
Wati membalas tatapan Ardi dengan senyum mengejek. "Yaelah, Ardi, santai kayak di pantai! Gue kan emang gini. Lagian, ini kan rumah Ayu, bukan istana negara yang harus pake protokoler!"
Ardi mendengus. "Terserah lo deh, Wat. Tapi lain kali kalau mau masuk rumah gue, jangan harap gue bukain pintu. Gue pasang alarm anti-Wati, biar lo kapok!"
Wati tertawa terbahak-bahak, sampai memegangi perutnya. "Hahaha! Emang lo punya rumah? Jangan-jangan rumah lo itu cuma angkot yang lagi parkir, terus lo ngaku-ngaku!"
Ardi melotot ke arah Wati. "Enak aja lo bilang gue nggak punya rumah! Gue udah punya rumah sendiri, ya, walaupun cuma cukup buat parkir motor!"
Wati mengangkat alis, pura-pura terkejut. "Oh, jadi rumah lo kecil? Pantesan lo betah banget nongkrong di rumah Ayu, ternyata rumah lo itu cuma gubuk reot yang mau roboh!"
Ardi menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. "Wati, udah deh. Nggak usah ngejek gue terus. Gue lagi nggak mood dengerin celotehan lo. Ntar gue berubah jadi Ultraman, baru tahu rasa lo!"
Wati memasang wajah polos. "Aduh, maaf deh, Di. Gue nggak maksud bikin lo marah. Gue kan cuma pengen suasana jadi seru. Tapi kayaknya lo emang nggak punya selera humor ya? Pantesan muka lo itu kayak kanebo kering, nggak pernah seger!"
Ayu yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Wati, udah deh. Jangan ngejek Ardi terus. Kasihan, tahu nggak!"
Wati mengangkat bahu acuh. "Iya deh, iya. Gue minta maaf sama Ardi. Tapi tetep aja, Ardi emang paling enak buat diisengin! Mukanya itu lho, bikin gemes pengen dicubit sampai kayak donat!"
Ardi hanya bisa menggelengkan kepala, pasrah menghadapi Wati. Ia tahu, tak ada gunanya berdebat dengan Wati. Ia hanya akan semakin kesal dan Wati akan semakin senang mengejeknya.