Sabrina rela meninggalkan status dan kekayaannya demi menikah dengan Zidan. Dia ikut suaminya tinggal di desa setelah keduanya berhenti bekerja di kantor perusahaan milik keluarga Sabrina.
Sabrina mengira hidup di desa akan menyenangkan, ternyata mertuanya sangat benci wanita yang berasal dari kota karena dahulu suaminya selingkuh dengan wanita kota. Belum lagi punya tetangga yang julid dan suka pamer, membuat Sabrina sering berseteru dengan mereka.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Neng, jangan bicara begitu! Tidak baik," bisik Zidan.
Sabrina langsung menutup mulutnya memakai tangan kanan. Pancaran matanya terlihat menyesal karena sudah berkata sesuatu yang mungkin menyakiti perasaan orang lain.
"Setahu aku, jika punya BPJS dan kira sakit yang mengharuskan dioperasikan bisa gratis," kata Zidan.
"Kita tidak punya BPJS" balas Pak Yadi dengan lirih. Dulu mereka menggunakan asuransi kesehatan.
"Ya, buat, dong! Ajukan surat keterangan tidak mampu sama RT, desa, dan dinas sosial," ujar Bu Maryam. "Banyak, tuh, orang dapat BPJS gratis karena dibayar sama pemerintah."
Niken mendelik mendengar ucapan Bu Maryam. Sebenarnya pihak rumah sakit sudah menyuruh mereka untuk membuat BPJS kesehatan agar mendapatkan pelayanan gratis karena biaya akan dicover oleh pemerintah daerah. Namun, mereka membutuhkan uang untuk mengurus semua itu. Belum lagi nanti ketika menjalani masa pengobatan.
"Iya. Tapi, kita butuh ongkos," kata Pak Yadi malu-malu. "Hasil dagang cukup untuk makan dan bayar kontrakan dan listrik. Kita tidak punya tabungan."
"Lah, aku lihat istri kamu bisa pergi ke salon! Berarti punya uang lebih," balas Bu Maryam dan Sabrina membenarkan.
"Heh, itu yang aku dapatkan uang itu setelah kerja membuat kue pesanan Bu Neni. Uangku, ya, uangku! Uang suami, ya, uang istri juga," ujar Niken.
"Setidaknya kamu paham kondisi keuangan keluarga kamu sendiri. Jangan egois, walau uang istri adalah hak istri dan tidak ada hak suami," balas Bu Maryam sewot saking kesalnya. "Sekarang kamu butuh uang, malah minta sama Zidan. Memang dia bisa kasih bapaknya uang sebagai bakti anak sama orang tuanya. Tapi, aku tidak terima jika kamu memanfaatkan anakku!"
Zidan selalu pusing jika mendengar pertengkaran ibu kandung dengan ibu tiri. Selalu saja ada yang mereka ributkan.
"Bapak minta dua ratus ribu saja, buat ongkos ke sana kemari mau ngurus surat-surat kelengkapan administrasi untuk buat PBJS," kata Pak Yadi pada akhirnya. Dia tidak mau istri dan mantan istrinya ribut terus.
Akhirnya Zidan memberikan uang sesuai permintaan bapaknya. Tentu saja dengan persetujuan Sabrina walau terlihat tidak rela.
"Akang kenapa, sih, masih baik saja sama bapak? Dulu, mereka sudah jahat sama Akang dan Mamah. Tidak memberikan sedikit pun uang nafkah, padahal mereka mampu. Jika aku jadi Akang, tidak akan perduli sama mereka," ucap Sabrina kesal setelah kepergian ayah mertua bersama gundiknya.
"Baik buruk bapak, tetap saja dia bapakku, Neng," kata Zidan. "Aku masih berbakti kepadanya karena Allah, bukan karena takut sama omongan buruk orang lain karena dzalim sama bapak sendiri."
Sabrina terperangah. Karena dia tidak berpikir seperti itu. Selama ini dia selalu mengabaikan dan tidak peduli kepada orang-orang yang sudah menyakiti dirinya. Dia memang tidak bisa membenci orang, gantinya dia akan masa bodoh sama mereka.
"Neng, mau Allah murka sama akang karena sudah menjadi anak durhaka yang mengabaikan orang tua?"
Sabrina menggelengkan kepala. Dia tahu suaminya paham agama, jadi tidak akan melakukan perbuatan yang dibenci oleh Allah.
"Dulu bapak mengabaikan tanggung jawabnya sama akang, biar itu menjadi urusan bapak sama Allah, nanti di akhirat. Setiap orang akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Maka, sebisa mungkin kita berbuat baik dan jauhi perbuatan buruk, apalagi perbuatan jahat," ucap Zidan sambil menangkup wajah Sabrina dengan kedua tangannya.
"Maafkan Neng, ya, Kang. Karena kurang paham," balas Sabrina dengan lirih.
"Tidak apa-apa. Neng, kan, sedang belajar juga."
Sabrina memeluk Zidan. Rasanya dia ingin menangis karena bahagia karena punya suaminya yang baik dan tidak pendendam.
"Nah, Neng sendiri bagaimana hubungan dengan papi dan mami? Apa sudah baikan?" tanya Zidan.
Ditanya seperti itu Sabrina memasang muka cemberut. Dia sering kesal dan marah jika ingat sama kedua orang tuanya.
"Neng tidak lagi menjalin komunikasi dengan mereka semenjak kita menikah," ucap Sabrina.
"Astaghfirullah, Neng! Tidak boleh begitu. Walau mereka marah, kita tidak boleh memutus hubungan tali silaturahmi orang tua dan anak," ujar Zidan.
Selama ini Zidan mengira Sabrina menghubungi orang tuanya sesekali. Apalagi setelah kedatangan Shaka tempo hari ke sini.
"Sekarang coba hubungi papi atau mami!" titah Zidan sambil memberikan handphone milik sang istri.
"Bagaimana kalau mereka marah, Kang?"
"Insya Allah, tidak," balas Zidan. "Jika mereka marah, biar akang yang ambil alih."
"Bagaimana jika aku kena omelan pedas yang menyakiti hatiku lagi, Kang?"
"Nanti akang akan beri kamu sejuta kata pujian untuk Neng seorang."
"Sejuta kata? Nanti bibir Akang dower karena ngomong terus sebanyak sejuta kata. Bisa berapa jam itu."
Zidan rasanya ingin kekepin Sabrina saking gemesnya. Sebenarnya tidak salah juga karena istrinya itu tidak tahu kata kiasan.
"Bibir akang tidak akan dower karena made in Allah, bukan made in China." Zidan memencet hidung mancung istrinya dan wanita itu malah tertawa.
Sabrina menelepon nomor ayahnya, tidak aktif. Lalu, dia menghubungi nomor ibunya. Tersambung, tetapi tidak diangkat.
"Mereka, kan, marah sama Neng, Kang. Pastinya tidak mau lagi berurusan dengan Neng," ucap Sabrina dengan lirih dan berekspresi sendu.
"Jangan negatif thinking begitu, Neng. Jadilah orang yang selalu optimis dan berpikiran positif," balas Zidan mengelus kepala Sabrina.
Tidak lama kemudian sebuah nomor yang familiar bagi Sabrina, menghubunginya. Buru-buru dia menggeser tombol warna hijau.
"Assalamualaikum, Mami!" salam Sabrina dengan penuh semangat.
"Heh, dasar anak durhaka! Ke mana saja tidak pernah mengunjungi mamimu ini, hah? Mentang-mentang sudah menikah dan punya suami dan mertua. Lupa sama orang tua sendiri!"
"Mami!"
Sabrina baru kali ini mendengar omelan sang ibu. Namun, tidak marah atau sakit hati. Ada rasa rindu yang membuncah dalam dirinya. Dia meneteskan air mata.
Melihat itu Zidan penasaran apa yang sedang dibicarakan Sabrina dengan maminya. Dia mengambil handphone dari tangan sang istri, tetapi dicegah olehnya.
"Apa kamu tidak tahu kami khawatir sama kamu?"
"Maafkan aku, Mami!"
"Tidak ada sedikit pun kabar yang kamu berikan. Kamu kecelakaan pun tidak bilang-bilang kalau tidak—" Tiba-tiba terdiam.
"Mami?"
"Kamu jangan ke mana-mana sendirian. Tetap tinggal di sana sama suami kamu. Jangan bepergian ke luar desa apalagi ke luar kota."
"Kenapa, Mami?"
"Sudah nurut saja ucapan Mami. Nanti kalau urusan papi selesai kita akan jenguk kamu di sana."
"Benarkah, Mami?"
"Memangnya mami suka bohong sama kamu?"
"Asyik! Aku tunggu di sini, Mami. Nanti aku buatkan makanan yang enak untuk papi dan mami."
Zidan tersenyum melihat Sabrina ceria. Dulu, dia disuruh pulang ke kampung oleh mertuanya. Mereka memecat Sabrina dan Zidan dari perusahaan, memintanya untuk hidup mandiri.
Sebenarnya kedua orang tua Sabrina tidak menyetujui pilihan sang anak. Namun, perempuan itu sudah dibuat bucin sama Zidan. Daripada anaknya stres dan jadi gila, mereka mau tidak mau akhirnya memberikan restu. Namun, sebagai gantinya Zidan tidak boleh menikmati harta milik Sabrina. Makanya semua aset wanita itu dibekukan.
Kedua orang tua Sabrina belum percaya kepada Zidan. Mereka masih meragukan perasaan pria itu untuk putrinya yang lugu dan polos.
"Tunggu! Apa kamu dijadikan babu di sana?" pekik Mami Martha.
***
bukan musuh keluarga Sabrina
jangan suudhon dl mamiiii