NovelToon NovelToon
Gara-gara Buket Bunga

Gara-gara Buket Bunga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: hermawati

Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.


Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pantai

Gara-gara kejadian di tempat penjual serabi, begitu pengantin baru itu tiba di rumah. Sudah ada beberapa tetangga dan sanak saudara menunggu kedatangan mereka untuk memastikan kabar angin tersebut.

Sandi tak menyangka nyatanya para tetangga dan keluarga besar suaminya, tak jauh berbeda. Berbagai pertanyaan terlontar untuk Ari, sementara dirinya hanya diam di sebelah suaminya.

"Pertama-tama, perkenalkan ini Sandi istri kulo yang dinikahi kemarin pagi di rumah orang tuanya di Malang." Ari menyebutkan satu persatu yang hadir, agar disalami oleh istrinya. "Kulo ngertos, kalau mungkin kabar ini mengejutkan panjenengan rumiyin. Tapi jujur kulo tidak mau merasakan hal sama, seperti sebelumnya. Jadi begitu Kulo merasa cocok, kulo langsung mengajak pacar kulo menikah." Jelasnya setelah istrinya selesai menyalami semua orang yang hadir.

Mereka jelas tau, apa yang dimaksud oleh Ari. Tentang gagalnya pernikahannya dengan perempuan yang telah dipacarinya lama sedari SMA. Yang lebih mirisnya lagi, gagalnya hari bahagia itu karena pengkhianatan sampai dua kali.

"Lalu soal unduh mantu, akan kami lakukan segera. Jadi tolong bantu ibu buat persiapannya."

Mereka yang tadinya berisik seketika bungkam. "Oh ya, tolong jangan berpikir kalau kami menikah karena istriku hamil duluan. Alhamdulillah istriku masih suci. kulo menikah benar-benar karena sudah menemukan perempuan yang tepat. Jadi tolong jangan menyebarkan berita buruk tentang kami." Ari tau karakter mereka-mereka yang hadir, sehingga menurutnya perlu menegaskan dari awal.

Satu per satu dari mereka meninggalkan rumah orang tuanya, menyisakan Ibu dan asisten rumah tangga.

"Maaf ya nak! Kamu pasti kaget, ini semua gara-gara Astuti yang tadi berteriak di depan rumah. Tanya soal kebenaran kabar pernikahan kalian, kebetulan lagi ada saudara datang kesini. Jadi ramai." Ibu merasa tidak enak dengan menantunya.

"Mboten nopo-nopo, Bu! Kulo ngertos." Sandi tersenyum.

"Ya udah, sana kalian istirahat di kamar. Ibu mau ngeramban dulu di kebun."

"Mas antar Bu!" tawar Ari.

"Ndak usah Mas! kamu temani istrimu saja. Kamu juga pasti capek." Ibu segera bersiap dan memanggil asisten rumah tangga.

Sepeninggal ibu, keduanya bergantian membersihkan diri dan beristirahat di kamar Ari. Letaknya di paling depan dekat dengan ruang tamu.

"Mas ..."

"Hmmm ..." Ari berdehem sambil melepaskan celana pendek dan menyisakan bokser, serta menaruhnya di sandaran kursi meja belajarnya.

"Aku kayak masih mimpi." Sandi duduk bersandar sambil memegang ponsel, dia membalas pesan dari Indah.

"Maksudnya?" Ari duduk di sisi ranjang dekat istrinya.

"Udah jadi istri orang. Padahal aku niatnya nikah entar umur tiga puluh, eh malah seperti ini." Sandi masih menunduk tanpa menatap lawan bicara. Matanya tertuju pada pesan yang diterimanya dari Indah.

"Kelamaan kalau nunggu usia kamu segitu. Lagian aku sengaja emang minta kamu buru-buru. Cukup sekali aku ditikung orang, rasanya sakit banget."

"Nggak bakal ada yang kayak gitu sama aku. Wajah aku pas-pasan, beda sama mbak Rumi yang memang cantik dan punya badan bagus."

Ari mendengus, "nggak usah bahas dia lagi."

"Kenyataan itu mas, mantan calon istrimu itu cantik banget. Sampai-sampai Pak Dimas klepek-klepek." Dari Mia, Sandi mendapatkan semua informasi tentang Ari. "Aku yakin kalau sampai mbak Rumi tau, kalau istri kamu itu aku. Dia bakal ketawa kenceng, karena kamu dapat perempuan lebih jelek." Sandi merasa minder.

Ari mendekat dan meraih kedua sisi wajah istrinya. "Siapa sih yang ngatain kamu jelek? Cantik begini." Tatapnya lekat.

"Buktinya seumur-umur aku cuma pacaran sama Ali, dan dia juga pernah bilang kalau aku nggak secantik Sindi. Aku ini kurang menarik dan nggak seksi." Sandi ingat sekali hinaan yang terlontar dari laki-laki yang kini menjadi adik iparnya, beberapa bulan lalu.

Ari menggeleng tak setuju. "Mata dia katarak kayaknya, cantik begini dibilang nggak menarik." Ujarnya. "Pokoknya nggak usah lagi bahas masa lalu, kita tatap masa depan bersama-sama."

Sandi mengangguk, mesti dalam hati dirinya masih merasa tidak percaya diri bersanding dengan lelaki seperti Ari. Dan sebenarnya dia sama sekali tak berani berharap akan seperti ini pada akhirnya, apalagi setelah tau siapa mantan dari Ari.

"Aku cium boleh, nggak?" Sedari kemarin, Ari ingin sekali melakukannya. Sialnya tak ada kesempatan berdua di tempat sepi.

"Boleh, tapi nggak boleh kebablasan. Soalnya kata orang kalau gituan pertama kali bakal sakit dan buat jalan susah." Pintanya. Sandi pernah dengar pembicaraan teman sekelas semasa SMA dan teman sesama mahasiswi.

"Aku cuma cium bibir aja, kok! Karena abis istirahat nanti aku pengen ajak kamu ke pantai."

"Bener ya!"

Ari mengangguk, lalu menempelkan bibir mereka. Menyesapnya lembut, dan memainkan lidah perlahan. Seolah ingin mengungkapkan betapa dirinya mencintai perempuan yang kini menjadi istrinya.

***

Sesuai janjinya, Ari mengajak istrinya mengunjungi pantai yang jaraknya sekitar lima belas kilometer dari rumah ibunya.

Walau ada mobil, Ari lebih memilih menaiki motor bebek warisan mendiang bapak. Yang dibeli lebih dari dua puluh tahun lalu.

Sebelum berangkat, ibu berpesan agar pulangnya tidak terlalu sore. Karena nanti malam, beberapa keluarga akan datang berkunjung.

Mata Sandi dimanjakan dengan pemandangan hamparan sawah berwarna kuning dan hijau yang mereka lintasi, belum lagi semilir angin. Rasanya menyenangkan sekali.

Sandi memastikan tidak ada kendaraan yang melintas, sebelum merentangkan tangannya. "Mas, aku mau teriak sebentar." Izinnya, dia tak ingin suaminya terkejut. "Aaaaaa ..."

Ari tertawa melihat ekspresi wajah istrinya dari kaca spion motor. "Kurang kenceng, sayang ... Mumpung lagi sepi."

"Malu aku, entar aja pas di pantai."

Roda motor menanjak dan melintasi jembatan panjang, atau yang di sana disebut dengan istilah brug. Lalu turunan sekaligus belokan dan kembali melintasi hamparan sawah.

Tidak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di pantai dengan pasir hitam yang berbatasan langsung dengan samudera Hindia. Atau biasa disebut dengan istilah pantai selatan.

Siang itu pantai cukup ramai, mengingat ini akhir pekan. Ada pasangan muda-mudi, anak-anak dan keluarganya. Bermain air di tepian, berlarian ataupun membuat istana pasir.

Sementara Sandi memilih duduk beralaskan sandal jepit sambil melihat ombak yang datang silih berganti.

"Kalau lebaran, ini ramai sekali." Cetus Ari, dia memberikan mie cup yang dibelinya dari warung.

"Ombaknya gede ya mas!"

"Hmmm ..." Ari menyetujuinya. Terlihat dari kejauhan perahu nelayan, "mau naik perahu nggak?" Tawarnya.

Sandi mengikuti arah tatapan mata suaminya. "Aku takut tenggelam."

"Aku jagain lah."

"Nggak ah, mending duduk-duduk begini sambil menikmati angin." Tolaknya halus, Sandi mulai memakan mie cup.

"Di sini ada juga tempat pelelangan ikan, dan beberapa warung makan yang bisa mengolah menjadi masakan lezat."

"Boleh tuh, aku suka makanan laut."

Lalu Ari menceritakan beberapa kenangannya bersama mendiang bapak dulu saat dirinya masih kecil.

"Sama mbak Rumi, nggak?"

"Aku nggak mau bahas." Tolak Ari mentah-mentah. "Kamu gemar membuat aku kesal, ya!"

"Kalian satu kampung, mas! Apalagi pacarannya sejak SMA. Pasti banyak kenangan indah di sini."

Tak mau membahas, Ari bangkit dari duduknya. "Ayo ke tempat pelelangan ikan, ibu nitip udang."

"Ngambek nih!!!" Sandi menahan tawanya. "Tapi bentar, aku teriak dulu." Dia bangkit lalu berteriak. "Mas Ari udah move on dari kamu, mbak Rumi. Sekarang Mas Ari jadi suami akuuuu ..." Sandi menarik napas. "Ali janc*k, wong edan ..." Tadi saat Ari sedang membeli mie cup, mantannya itu mengirimi pesan yang membuat mood Sandi memburuk.

Setelah berteriak, Sandi merasa sedikit lega. "Udah yuk!" dia menggandeng lengan suaminya dan melangkah menjauh meninggalkan bibir pantai.

Keduanya berjalan di antara warung dan pepohonan, lalu melintas di kolam renang dangkal.

Tempat pelelangan ikan berada di sebelah timur pantai yang terdapat muara sungai. Tak terlalu ramai, mengingat ini sudah siang.

Sandi mengambil foto jejeran ikan-ikan segar yang dijajakan pedagang dan memasangnya di status WhatsApp. Tak lupa menuliskan caption 'berburu Ikan langsung dari tempat pelelangan'.

"Kamu pilih yang mau dimasak di warung dan aku pilih pesenan ibu."

"Berapa budget nya?" Tanya Sandi memastikan, karena jika sudah berurusan dengan makanan laut. Dijamin dia akan khilaf.

"Beli sebanyak yang kamu mau." Ari menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah. "Kalau kurang, kamu bisa minta lagi. Aku mau kesana dulu." Dia menunjuk ke arah nelayan yang baru saja tiba.

Sepeninggal suaminya, Sandi menunjuk udang, cumi, beberapa jenis kerang dan ikan yang akan diolah nantinya. Dia juga menawar layaknya pembeli pada umumnya. Senyum mengembang menghiasi wajahnya, dia puas dengan beberapa kantung plastik belanjaannya.

Dari tempat pelelangan ikan, Ari mengajak ke warung makan langganan keluarganya dan meminta untuk memasak beberapa menu yang diinginkannya.

"Apa kamu suka sekali makanan laut?" Ari sedikit terkejut dengan banyaknya belanjaan istrinya.

"Banget, kalau boleh pengen setiap hari makan. Tapi karena mahal, aku jadi jarang beli." Sandi juga menyebutkan beberapa bumbu favoritnya. "Entar udang dan cumi gorengnya aku mau bawa ke Jakarta." Dua jenis makanan laut itu dia beli lebih banyak.

"Berarti tadi uang yang aku kasih kurang, ya?" Tanya Ari memastikan.

"Nggak kok, cukup banget malah." Itu bohong, Sandi yang khilaf merelakan beberapa lembar uangnya untuk memenuhi keinginannya sendiri.

Ari tau dari mimik wajah istrinya, perempuan itu sedang berbohong. "Oh ya masalah uang belanja, kamu mau minta bulanan atau mingguan atau harian?"

Sandi menggeleng, "aku kan kerja. Gaji aku masih cukup kok!"

"Tapi ini kewajiban aku sebagai suami kamu, memberikan uang belanja dan uang nafkah untuk kamu. Soal gaji, kamu bisa menabungnya."

"Emang boleh?" Tanya Sandi ragu, sebagai perempuan yang terbiasa mandiri semenjak sekolah menengah atas. Dia tidak terbiasa ditopang.

"Harus itu."

"Kalau uang kamu habis, gimana?"

"Aku akan cari."

"Baiklah kalau gitu."

Layar ponsel Sandi menyala, dia baru sadar ada banyak pesan masuk. Sepertinya gara-gara status WhatsApp yang dia posting beberapa saat lalu. Terutama dari rekan satu divisinya dan juga Mia.

1
bunny kookie
top deh pokoknya 👍🏻💜💜
nabila anjani: Ka up lagi dong
Mareeta: tapi yang subscribe cuma 5 orang 😔
jelek kali ya cerita ini?
total 2 replies
nabila anjani
Kak up lagi dong
Mareeta: udah aku up lagi ya
total 1 replies
bunny kookie
up lagi gak kak 😂
Mareeta: aku usahakan pagi ya kak
total 1 replies
bunny kookie
lanjut kak ☺
bunny kookie
nyampek sini aku kak thor ☺
Mareeta: terima kasih 😍 aku ingat dirimu pembaca setia karyaku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!