Tang Qiyue adalah seorang pembunuh bayaran nomer satu, dijuluki "Bayangan Merah" di dunia gelap. Di puncak kariernya, dia dikhianati oleh orang yang paling dia percayai dan tewas dalam sebuah misi. Saat membuka mata, dia terbangun dalam tubuh seorang gadis desa lemah bernama Lin Yue di Tiongkok tahun 1980.
Lin Yue dikenal sebagai gadis bodoh dan lemah yang sering menjadi bulan-bulanan penduduk desa. Namun setelah arwah Tang Qiyue masuk ke tubuhnya, semuanya berubah. Dengan kecerdasannya,kemampuan bertarungnya, dan insting tajamnya, dia mulai membalikkan hidup Lin Yue.
Namun, desa tempat Lin Yue tinggal tidak sesederhana yang dia bayangkan. Di balik kehidupan sederhana dan era yang tertinggal, ada rahasia besar yang melibatkan keluarga militer, penyelundundupan barang, hingga identitas Lin Yue yang ternyata bukan gadis biasa.
Saat Tang Qiyue mulai membuka tabir masalalu Lin Yue, dia tanpa sadar menarik perhatian seorang pria dingin seorang komandan militer muda, Shen Liuhan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayucanel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Side Story: Saat Aku Menemukanmu- Sudut Pandang Shen Liuhan
Aku bukan tipe yang percaya pada takdir.
Sebagai seorang tentara yang telah bertahun-tahun hidup di garis depan, aku belajar bahwa hidup ditentukan oleh pilihan dan kekuatan. Bukan oleh nasib, bukan pulang oleh kebetulan.
Sampai aku bertemu dengannya.
Hari itu, aku baru kembali dari latihan tempur. Bagiku desa ini tak pernah menarik bagiku. Terlalu sepi, terlalu lambat. Tapi aku pulang karena tugasku untuk menjaga wilayah ini dan juga karena ibuku memaksaku menikah dengan seorang gadis desa yang katanya "tak berguna."
Aku marah, tentu saja.
Aku tidak kenal dia. Aku bahkan tidak tahu wajahnya. Aku pikir dia hanya akan menjadi beban dalam hidupku. Aku bahkan berencana menceraikannya setelah beberapa waktu agar kami tak terikat terlalu lama.
Tapi pertemuan pertama kami mengubah segalanya.
Saat aku tiba di rumah, aku mendapati seorang gadis duduk di pelataran, tubuhnya kurus, rambutnya kusut, wajahnya pucat. Ibuku bilang dia adalah istriku. Aku ingin menatapnya dengan dingin, siap mengucapkan kalimat penolakan.
Tapi dia.... menatap balik ke arahku dengan mata yang tajam ini bukan mata gadis lemah yang akan menerima nasib.
Ada sesuatu dalam tatapannya. Sesuatu yang aneh. Seolah dia baru saja terbangun di dunia yang asing. Seolah dia sedang menyusun strategi, bukan menerima kenyataan.
Aku juga berpikir mungkin dia hanya takut.
Namun saat aku berkata kasar, saat aku mencoba mengintimidasinya, dia tidak menangis. Dia tidak memohon. Dia malah menatapku tanpa gentar dan berkata dengan suara pelan namun tegas.
"kalau kau mau pergi, pergi saja. Aku tidak butuh pria yang hanya tahu melarikan diri dari tanggung jawab."
Kata-kata itu masih membekas di kepalaku. Aku, seorang komandan pasukan khusus, disebut pengecut oleh seorang gadis desa?
Tapi tatapannya itu membuatku menjadi diam.
Aku merasa Ada luka di matanya, tapi juga ada api yang tidak padam. Seperti seseorang yang telah melalui neraka, tapi tetap berdiri tegak.
Hari demi hari, aku mulai terus memperhatikannya.
firasatku mengatakan dia tidak seperti gadis desa pada umumnya. Dia tidak canggung, tidak manja. Gerakannya lincah, matanya selalu waspada, seolah setiap saat dia akan siap bertarung. Dan ketika dia memegang pisau dapur, aku merasa cara dia menggenggamnya seperti memegang senjata.
Aku mulai curiga.
Aku, yang sudah terbiasa membaca situasi di Medan perang, mulai menyadari bahwa wanita ini pasti menyembunyikan sesuatu. Dia bukan hanya sekedar gadis yang terpaksa menikah denganku.
Tapi anehnya, aku tidak merasa takut. Aku justru merasa tertarik. Setiap hari bersamanya seperti bermain catur dan aku tidak pernah tahu kapan dia akan menyerang, dan kapan dia akan mundur.
Aku mulai melihat sisi lembutnya saat dia merawat ibuku, saat dia tertawa kecil bersama anak-anak desa, saat dia memandang anak kami dengan tatapan penuh kasih.
Aku mulai jatuh hati.
Tanpa sadar, aku ingin melindunginya. Tapi aku juga sadar, dia terlalu kuat untuk sekedar dilindungi. Dia adalah orang yang akan berdiri di sisiku, bukan di belakangku.
Saat aku akhirnya mengetahui siapa dia sebenarnya, dia si Bayangan Merah yang ditakuti dan aku tidak gentar. Masa lalunya tidak penting bagiku. Yang terpenting adalah dia yang berdiri di depanku hari ini.
Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi memikirkan untuk menceraikannya.
Aku tidak percaya pada takdir, tapi aku percaya satu hal. Aku dipertemukan dengannya bukan karena kebetulan, tapi karena aku adalah orang yang akan berdiri bersamanya melawan siapa pun yang berani mengusik keluarga kami.
Dia adalah istriku. Dia adalah rumahku.
Dan aku akan bertarung bersamanya, sampai akhir.
Beberapa hari setelah aku kembali dari operasi militer, desa kami diliputi ketegangan. Seorang pengungsi muncul di gerbang Utara desa dengan luka tembak di bahunya, tubuhnya lemah, tapi matanya liar seperti binatang terpojok. Ia menyebut nama istriku.
"Bayangan Merah... dia ada di sini?"
Aku refleks mengangkat pistolku. Pengungsi itu langsung memohon, "Aku tak akan mencelakainya... hanya ingin bicara... hanya ingin tahu... kenapa dia menghilang."
Aku mengusirnya, tapi hatiku mulai bergejolak.
Malamnya, aku duduk berdua dengan istriku di beranda rumah. Angin berembus lembut, tapi aku tidak merasa beku. Aku menatap ke arahnya, mencari kebenaran."Siapa kau sebenarnya?" tanyaku, kali ini tanpa amarah. Hanya ingin mengerti.
Ia diam lama. Lalu berkata, "Dulu... aku adalah senjata. Yang diciptakan untuk membunuh, bertahan, dan patuh pada perintah. Tapi aku merasa lelah hidup seperti itu. Makanya aku lari dan menghilang."
Ia menunduk, suaranya bergetar pelan."Aku tak mencari rumah. Aku hanya ingin... menjadi manusia."
Kata-kata itu menamparku lebih keras daripada peluru di Medan perang. Aku tahu perasaan itu. Sebagai prajurit, aku pun pernah bertanya-tanya... apakah aku lebih dari sekedar alat negara.
Dan di situlah kami mulai saling mengerti dua orang yang berjuang untuk menjadi manusia, bukan hanya mesin yang melayani.
Sejak malam itu, kami tak lagi bicara tentang masa lalu. Kami mulai bicara tentang hari esok. Tentang rumah kecil di pinggir hutan yang damai. Tentang anak kami yang mulai belajar bicara. Tentang musim tanam dan aroma rumput setelah hujan.
tapi aku tahu, bayangannya tak akan pernah benar-benar hilang.
Beberapa Minggu kemudian, ancaman itu mulai datang. Sekelompok tentara bayangan mengintai desa. Mereka tak datang untukku... mereka datang untuknya. Aku melihat tanda di pelindung dada mereka itu seperti simbol unit pemburu yang pernah kuhadapi di Timur.
Kami tak sempat bicara panjang. Ia langsung membawaku dan anak kami ke tempat persembunyian yang ia siapkan jauh-jauh hari. Ia memberiku pedang pendek miliknya dan berkata, "Jagalah mereka. Kali ini, aku yang akan melindungi."
Aku ingin mencegahnya, tapi tatapan matanya sudah membuatku bisu. Api itu kembali menyala. Bukan api dendam, tapi api keputusan.
Ia pergi seperti bayangan, cepat, senyap, dan mematikan.
Malam ini, aku tak bisa tidur, aku takut kehilangan, takut menyesal. Tapi juga... bangga.
saat fajar tiba, aku melihatnya kembali. ada luka kecil di pelipisnya, darah mengering di lengan, tapi ia tersenyum dan berkata. "Mereka tidak akan kembali."
Aku mendekatinya, mendekapnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa damai. bukan karena kami menang, tapi karena kami sudah memilih untuk tidak lagi bersembunyi dari siapa kami sebenarnya.
Sejak hari itu, aku tak bisa lagi menyangkal takdir.
Tapi bukan takdir yang menentukan segalanya, tapi pertemuan kami adalah sesuatu yang bahkan aku tak bisa menjelaskan dengan logika militernya.
Ia bukan hanya istriku. Tapi ia adalah rekan tempurku. Ia adalah kompas di tengah kabut perang.
Dan aku akan menulis ulang sejarah hidupku bersama wanita yang pernah disebut bayangan.... tapi kini menjadi cahaya.