Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Satu minggu setelah pemakaman Mama, Puri duduk di kamar, menatap ponselnya dengan penuh harap.
Setiap kali ada notifikasi, ia terkejut, berharap itu dari Karan.
Namun, seperti minggu-minggu sebelumnya, tidak ada satu pun pesan atau telepon dari Karan. Hati Puri terasa semakin kosong dan hancur.
Ia merasakan sakit yang dalam setiap kali mengingat betapa Karan telah memilih untuk tetap menikahi Amora tanpa memberi penjelasan apapun.
Apa yang terjadi antara mereka begitu cepat, dan kini ia merasa seperti terbuang begitu saja.
"Kenapa dia tidak menghubungiku?" Puri bertanya pada dirinya sendiri, matanya penuh dengan kesedihan.
"Kenapa dia tidak memberitahuku tentang semua ini?"
Karan, orang yang pernah begitu berarti dalam hidupnya dan sekarang seperti bayangan yang hilang dalam kabut.
Tidak ada penjelasan, tidak ada kata maaf, hanya hening yang mengelilingi mereka.
Puri mengingat betapa Mama berjuang demi kebahagiaannya, dan akhirnya, hanya meninggalkan dunia dengan kesedihan karena anaknya terpuruk dalam keputusan yang pahit.
Di tengah kesepiannya, Puri tiba-tiba merasa sangat kehilangan.
Ia merindukan sosok Mama, sosok yang selalu ada untuknya, yang kini sudah tiada. Air mata kembali mengalir di pipinya.
"Ma... aku kangen. Aku... aku ikut Mama..." Puri berbisik pelan, seolah berbicara pada arwah ibunya yang kini tak lagi ada di sisinya.
Suara itu penuh dengan kesedihan, kesakitan yang terpendam, dan ketidakberdayaan yang mendalam.
Ia merasakan jiwanya yang hancur, tak tahu apa yang harus dilakukan dengan hidupnya yang sekarang seakan terhenti.
Ia tidak tahu apakah ia masih bisa melanjutkan hidup tanpa kasih sayang ibunya dan tanpa penjelasan dari Karan.
Puri menutup matanya sejenak, mencoba mengusir perasaan itu.
Namun, perasaan kehilangan yang sangat dalam terus menghantui.
“Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?” pikirnya.
Karan terjaga di tengah malam, gelisah. Ia masih belum menerima kabar tentang Ibu Puri yang meninggal dunia.
Mama Rini yang dulu sangat keras terhadap Puri dan hubungan mereka, seakan masih menguasai pikirannya, meski ia kini sudah menikah dengan Amora.
Namun, dalam hatinya, ia merasa tidak ada yang benar-benar selesai.
Karan ingin sekali menghubungi Puri, menjelaskan semuanya tentang perasaannya, tentang pernikahan yang dilakukannya karena tekanan, tentang semuanya.
Tetapi, rasa takut dan rasa bersalah selalu menghentikannya.
Ia tahu ia telah menyakiti Puri, namun ia tak tahu bagaimana cara menjelaskan semuanya setelah membuat keputusan yang begitu mengecewakan.
"Apa aku akan bisa hidup dengan pilihan ini?" Karan bergumam pelan, matanya menatap keluar jendela, namun pikirannya tetap berada bersama Puri, perempuan yang ia cintai, yang kini sepertinya telah hilang darinya selamanya.
Jam menunjukkan pukul dua pagi saat sebuah batu mendadak menghantam kaca jendela rumah.
Puri terkejut dan langsung bangkit dari tempat tidurnya dengan jantung berdebar kencang.
“S-siapa yang melakukan ini?” gumamnya, suara gemetar.
Dengan langkah hati-hati, ia mengambil batu itu. Di baliknya, ada selembar kertas terlipat.
Tangan Puri bergetar saat membuka dan membaca tulisan di atasnya.
Kau penyebab kematian mamamu. Dan kau… hamil di luar nikah.
Puri berdiri mematung. Entah siapa yang tega menulis dan melemparkan ancaman ini ke rumahnya.
Tapi satu hal pasti ada seseorang yang ingin menghancurkannya.
****
Pagi harinya, suasana gang tempat Puri tinggal mendadak gaduh.
Beberapa tetangga berdiri di depan rumahnya, saling berbisik lalu mulai bersuara keras.
"Sudah keterlaluan! Perempuan seperti itu tidak pantas tinggal di lingkungan kita!"
"Baru kemarin pemakaman mamanya , sekarang kita tahu penyebabnya kalua dia pembawa sial!"
Puri membuka pintu, ingin menjelaskan. Tapi suara-suara itu makin lantang.
"Jangan sok suci! Kau pikir kami tidak tahu? Kematian ibumu... lalu sekarang kau hamil tanpa suami?!"
"Cih, memalukan! Pergi saja dari sini, sebelum kami yang mengusir mu!"
Wajah Puri memucat. Matanya mulai basah. Ia memeluk erat kertas ancaman itu seakan-akan itu bisa menjelaskan segalanya. Tapi tak ada yang mau mendengar.
Dengan langkah cepat, Puri masuk kembali ke rumah dan membanting pintu.
Isak tangisnya pecah, mengisi ruang yang terasa semakin sunyi dan menyesakkan.
Di balik pintu yang terkunci, Puri terduduk di lantai, tubuhnya gemetar.
Ucapan tetangga-tetangga itu masih terngiang, menusuk hatinya lebih tajam dari pecahan kaca semalam.
Ia memandang sekeliling. Pandangannya kosong.
Di meja kecil dekat tempat tidur, ada beberapa botol obat sisa milik almarhumah ibunya. Puri meraihnya dengan tangan yang masih gemetar.
Satu per satu, ia buka tutup botol. Pil-pil putih berguling keluar.
"Aku capek..." bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
"Kalau memang semua ini salahku... lebih baik aku menghilang."
Air matanya mengalir pelan saat ia menggenggam obat-obat itu.
Malam harinya setelah Puri merasakan keheningan yang tak terhentikan.
Yudha memutuskan untuk mengunjungi rumah Puri yang sendirian di rumah.
Saat Yudha memasuki rumah, suasana sepi dan sunyi.
Ia memanggil nama Puri, tetapi tidak ada jawaban. Hatinya mulai merasa cemas saat melihat pintu kamar Puri terbuka sedikit, seperti ada yang tidak beres.
Dengan langkah hati-hati, Yudha mendekati kamar Puri dan melihat ke dalam.
Puri duduk di sudut kamar, wajahnya pucat, dan matanya kosong. Ada sesuatu yang tampak berbeda dari biasanya.
Di meja dekatnya, ada beberapa botol obat yang sudah hampir habis.
"Pur!" Yudha terkejut melihat kondisi Puri.
"Apa yang kamu lakukan? Kamu kenapa?"
Puri menoleh perlahan, matanya basah dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
Ia terlihat lelah, seolah sudah menyerah pada semuanya.
"Yudyh... aku nggak sanggup. Aku merasa kosong. Aku ingin semuanya berakhir," jawabnya dengan suara lirih, penuh kepedihan.
Yudha langsung merasa panik. Ia melihat ke meja dan menyadari bahwa Puri telah mengonsumsi obat-obatan dalam jumlah yang berbahaya.
Tanpa berpikir panjang, Yudha segera berlari menuju Puri dan memeluknya, berusaha menenangkan dan memotong pikirannya yang begitu gelap.
"Puri, kamu harus berhenti berpikir seperti itu! Ini tidak akan menyelesaikan masalahmu! Jangan lakukan ini," Yudha berkata dengan suara tegas dan penuh kekhawatiran.
"Kamu harus kuat, Pur! Kamu nggak sendiri, aku ada di sini!"
Namun Puri hanya bisa terisak dalam pelukannya, tubuhnya gemetar dan jiwanya terasa kosong.
“Aku capek, Yudha... aku capek dengan semuanya. Dengan kehilangan Mama... dengan Karan yang pergi... dengan hidup yang nggak lagi berarti. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi…”
Yudha tidak bisa menahan rasa cemas yang semakin dalam.
Ia segera mengangkat Puri dan membawanya keluar dari rumah, menuju rumah sakit.
Di rumah sakit...
Puri terbaring di ranjang rumah sakit, tangan terpasang selang infus dan dipantau oleh dokter.
Yudha berdiri di sampingnya, wajahnya penuh dengan kekhawatiran.
Ia merasa sangat bersalah, merasa tidak bisa berbuat lebih banyak untuk membantu Puri.
Dokter memberikan instruksi untuk memantau kondisi Puri, dan akhirnya, setelah beberapa jam, Puri mulai stabil. Namun, meski tubuhnya pulih, hati dan pikirannya masih sangat rapuh.
"Puri, kamu harus bisa bertahan," kata Yudha dengan lembut, sambil duduk di samping tempat tidur.
"Aku nggak bisa bayangin kalau sesuatu terjadi padamu. Kamu masih punya banyak yang harus kamu jalani."
Puri hanya terpekur, matanya menatap langit-langit rumah sakit.
"Tapi, Yudha... kalau aku masih hidup, apakah itu berarti aku harus menerima semuanya begitu saja? Kehilangan Mama, kehilangan Karan, kehilangan diriku sendiri..."
Yudha menghela napas, berusaha memberi kekuatan pada Puri.
"Tidak, Pur. Kamu nggak harus menerima begitu saja. Tapi kamu harus belajar untuk melangkah. Mungkin itu bukan hal yang mudah, tapi hidup itu terus berjalan. Dan kamu masih punya orang-orang yang peduli padamu. Aku salah satunya."
Puri terdiam, kemudian menunduk. “Aku merasa sudah kehilangan semuanya, Yudha. Tapi mungkin... mungkin aku harus mencoba untuk bangkit. Untuk Mama.”