NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:463
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10

Waktu seolah membeku di dalam Toyota Fortuner yang menepi di pinggir jalanan Jakarta yang basah. Di luar, kota terus bernapas dalam tidurnya yang gelisah deru knalpot motor terakhir, sirene ambulans di kejauhan, desis ban di aspal. Tetapi di dalam mobil, yang ada hanyalah keheningan yang memekakkan. Keheningan yang baru saja dirobek oleh sebuah suara tanpa nyawa.

"...Gem-ba-la?"

AKP Daniel Tirtayasa duduk membeku, tangannya masih mencengkeram setir dengan kekuatan yang tidak ia sadari. Telinganya masih berdenging oleh suara statis yang mengikuti. Ponselnya, yang tergeletak di kursi penumpang, tampak seperti sebuah artefak berbahaya, sebuah kotak pandora digital yang baru saja melepaskan sesuatu yang jahat ke dalam dunianya yang paling pribadi.

Napasnya tertahan. Ia bisa merasakan tetesan keringat dingin terbentuk di pelipisnya, di bawah rambutnya. Ia adalah seorang pria yang dilatih untuk mengendalikan emosi, untuk berpikir jernih di tengah tembakan, untuk menjadi batu karang saat badai mengamuk.

Namun, panggilan telepon lima belas detik itu telah menembus zirahnya.

Gembala.

Kata itu bergema di dalam benaknya. Bukan sebagai suara digital yang dingin, tetapi sebagai gema dari doanya sendiri yang paling pribadi. Itu bukan julukan dari rekan-rekannya. Itu adalah kata yang ia gunakan untuk mendefinisikan panggilannya di hadapan Tuhan. Gembala bagi timnya, melindungi mereka dari kegelapan yang mereka hadapi. Gembala bagi keluarganya, menjaga mereka tetap aman. Gembala bagi para korban, menyuarakan keadilan bagi mereka yang telah dibungkam.

Itu adalah sebuah kata suci. Sebuah kata rahasia antara dirinya dan Sang Pencipta.

Dan kini, kata itu telah dicuri. Dinodai. Diucapkan oleh suara iblis dari seberang kabel telepon.

Amarah. Murni, panas, dan memualkan. Amarah seorang imam yang melihat altarnya dinodai. Ini mengubah segalanya. Pembunuhan Lukas adalah tantangan profesional. Riana Wulandari adalah eskalasi yang mengerikan. Panggilan ini… ini adalah deklarasi perang personal.

Sang Hakim tidak lagi hanya berbicara melalui mayat. Ia kini telah berbicara langsung kepada Daniel, memanggilnya dengan nama jiwanya. Ia tidak hanya ingin mengalahkan Daniel sebagai polisi; ia ingin menghancurkannya sebagai seorang Gembala.

Pelanggaran tertinggi.

Daniel menarik napas dalam-dalam, terbatuk. Udara terasa berat di paru-parunya. Ia memaksa tangannya yang mulai gemetar untuk melepas setir. Ia tidak akan panik. Ia tidak akan memberinya kepuasan itu.

Ia akan menghancurkan orang ini.

Dengan jari yang kini sudah stabil, ia mengambil ponselnya. Ia tidak menelepon atasannya. Tidak juga istrinya. Ia menekan nomor panggilan cepat untuk satu orang yang ia butuhkan.

“Reza,” kata Daniel saat panggilan itu dijawab pada dering pertama, suaranya terdengar serak, lebih rendah dari biasanya. “Aku butuh bantuanmu. Sekarang juga. Aku ke kantormu.”

Pukul dua dini hari, markas Direktorat Reserse Kriminal Khusus unit Kejahatan Siber adalah sebuah gua yang diterangi cahaya biru dari puluhan monitor. Di sini, pertempuran terjadi dengan barisan kode. Daniel berdiri di belakang seorang pemuda kurus berkacamata yang jari-jarinya menari di atas keyboard. Komisaris Polisi Reza, peretas jenius yang direkrut negara.

“Panggilan VOIP, tentu saja,” kata Reza, matanya tidak pernah lepas dari layar yang dipenuhi barisan kode hijau. “Aku sudah mengisolasi data panggilan masuk ke nomormu pukul 00:17. Durasi total delapan belas detik.”

“Lacak,” perintah Daniel singkat.

Reza tertawa pelan, suara kering tanpa humor. “Lacak apa, Ndan? Asap? Lihat ini.”

Di layar utama, sebuah peta dunia muncul. Sebuah garis digital melompat-lompat dengan kecepatan kilat.

“Dia sangat, sangat hebat,” gumam Reza, jarinya terbang di atas keyboard. “Enkripsi berlapis. Dia memantulkannya melalui tujuh proxy server di lima negara berbeda. Lihat: Jakarta-Singapura-Frankfurt-Toronto-Estonia-kembali ke Hong Kong-lalu ke ponselmu. Setiap lompatan ini dirancang untuk mengacaukan jejak. Total waktu tempuh sinyal: kurang dari tiga detik.”

“Tapi kau bisa membukanya, kan?” desak Daniel.

“Bisa, kalau aku punya waktu seminggu dan surat perintah untuk tiga benua,” cibir Reza. “Dia menggunakan burner number virtual dari dark web. Nomor-nomor ini punya masa aktif yang sangat singkat. Lihat lognya.”

Reza menunjuk ke sebuah jendela di sudut layar. “Nomor ini diciptakan pada pukul 00:16. Melakukan satu panggilan. Dan dihancurkan pada pukul 00:18. Total masa hidupnya kurang dari tiga menit. Saat aku mencoba melacak balik lompatan pertama di Singapura, server itu sudah 'lupa' bahwa nomor ini pernah ada. Dia lenyap. Hantu digital.”

Daniel mengepalkan tangannya. “Bagaimana dengan suaranya? Analisis.”

Reza mengangguk, membuka program audio. Gelombang suara dari rekaman itu muncul. “Ini bukan voice changer murahan. Ini sintesis vokal. Pelaku merekam suaranya sendiri, lalu perangkat lunak canggih memecah fonem-nya potongan 'A', 'I', 'U', 'E', 'O' dan merangkainya kembali menjadi kalimat yang dia inginkan. Kemudian, dia melapisinya dengan filter modulasi frekuensi. Menghilangkan semua karakteristik unik: intonasi, timbre, aksen. Yang tersisa hanyalah cangkang suara yang kosong.”

“Jadi, apa intinya, Reza?” tanya Daniel, rasa dingin di perutnya semakin menjadi.

Reza bersandar di kursinya, akhirnya menatap Daniel. Di balik kacamatanya, matanya yang lelah menunjukkan rasa hormat yang enggan.

“Intinya, Ndan, pelaku kita bukan sekadar pembunuh sadis. Dia adalah seorang ahli teknologi yang sangat canggih, disiplin, dan paranoid. Level keahlian seperti ini... ini bukan amatir. Ini level intelijen negara, atau hacktivist papan atas. Dia tidak meninggalkan jejak di dunia fisik, dan dia baru saja membuktikan bahwa dia juga tidak meninggalkan jejak di dunia digital.”

Upaya melacak itu gagal total. Sang Hakim tidak hanya selangkah di depan mereka; ia bermain di papan catur yang berbeda.

Perjalanan pulang ke rumah terasa lebih lama dari biasanya. Jalanan yang kosong kini terasa mengancam. Setiap lampu depan mobil di kaca spion terasa seperti tatapan mata yang mengawasi. Setiap bayangan di sudut jalan tampak memiliki bentuk.

Panggilan itu telah meruntuhkan tembok yang memisahkan kehidupan profesional dan pribadinya. Sang monster kini tahu nomor pribadinya. Nomor yang tidak terdaftar. Nomor yang hanya diketahui keluarga dan rekan-rekan terdekatnya.

Bagaimana dia dapat nomorku?

Dan jika ia bisa menembus firewall digital, menembus keamanan kompleks perumahannya tentu bukanlah hal yang sulit.

Saat ia akhirnya tiba di rumah, keheningan menyambutnya. Ia membuka pintu dengan gerakan sepelan mungkin, seolah takut membangunkan sesuatu yang seharusnya tidur. Di dalam, rumahnya terasa seperti sebuah suaka yang rapuh. Ia berjalan melewati ruang tamu, menuju kamar tidur putrinya, Nadia.

Ia membuka pintu kamar itu sedikit. Di bawah cahaya remang dari lampu tidur berbentuk bintang, ia melihat putrinya yang berusia delapan tahun terlelap, memeluk boneka beruangnya. Napasnya teratur, damai. Di kamar sebelah, istrinya, Sarah, juga tertidur pulas.

Mereka aman. Mereka tidak tahu ada serigala yang baru saja melolong di depan pintu.

Daniel berdiri di ambang pintu itu lama, hanya memandangi putrinya. Di sinilah letak pertaruhannya. Di sinilah kelemahannya. Dan di sinilah kekuatannya. Peran "Gembala" yang ditertawakan oleh si pembunuh, terasa begitu nyata dan berat saat ini. Ia adalah pelindung bagi kawanan domba kecil ini.

Monster itu tahu nomor pribadinya. Apa lagi yang dia tahu? Tahukah dia alamat ini? Tahukah dia nama Nadia? Tahukah dia nama Sarah?

Ia menutup pintu kamar Nadia dengan lembut, lalu berjalan ke ruang kerjanya yang gelap. Ia tidak menyalakan lampu. Ia hanya duduk di kursinya, menatap ke luar jendela di mana langit mulai menunjukkan tanda-tanda fajar pertama.

Gema dari suara tanpa jiwa itu kembali terngiang di keheningan rumahnya. Gembala. Sebuah tantangan telah dilontarkan. Sang Hakim telah memilih lawannya secara pribadi.

Daniel merogoh sakunya, mengeluarkan Alkitab kecilnya yang usang. Ia tidak membukanya. Ia hanya menggenggamnya erat-erat di tangannya. Ini bukan lagi sekadar kasus polisi. Ini telah menjadi pertarungan iman.

Dan di keheningan fajar yang mulai menyingsing itu, Daniel Tirtayasa, sang Gembala, berbisik dalam doa. Bukan doa memohon petunjuk. Bukan doa memohon kedamaian.

Itu adalah doa seorang prajurit sebelum maju ke medan perang.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!