NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Toura New Friend?

Mentari pagi menyapa lembut kediaman Evelia, cahayanya menari-nari di antara dedaunan hijau yang rimbun. Di teras rumah yang menghadap taman bunga yang sedang bermekaran, Evelia duduk dengan tenang, jari-jemarinya lincah merajut benang-benang halus menjadi sebuah kimono yang indah. Sesekali ia tersenyum tipis, menikmati ketenangan pagi dan keindahan hasil karyanya yang perlahan terbentuk.

Tak lama kemudian, sosok Araya Yuki Yamada terlihat anggun melangkah menuju teras. Aura kekuatannya yang tenang namun tak terbantahkan menyelimuti kehadirannya. Ia menyapa Evelia dengan anggukan hormat dan duduk di kursi rotan di sampingnya. Keduanya terlibat dalam percakapan yang pelan namun akrab, membahas berbagai hal mulai dari ramuan herbal terbaru hingga perkembangan situasi di berbagai wilayah. Tawa lembut Evelia sesekali terdengar, memecah keheningan pagi yang damai.

Di lantai dua rumah, Ikaeda Indra masih terlelap dalam tidurnya yang nyenyak. Namun, suara percakapan Araya dan Evelia yang samar-samar terdengar mulai menariknya kembali ke alam sadar. Dengan mata yang masih setengah tertutup, Ikaeda bangkit dan berjalan menuju balkon kamarnya. Ia mengintip ke bawah dan melihat ibunya dan Evelia sedang duduk berdua di teras, tampak begitu menikmati obrolan mereka.

Merasa penasaran, Ikaeda memutuskan untuk turun dan bergabung dengan mereka. Langkahnya pelan menuruni tangga kayu, dan saat ia mencapai lantai satu, Araya menyadari kehadirannya. Dengan senyum lembut yang jarang ia tunjukkan, Araya melambaikan tangannya ke arah Ikaeda. "Selamat pagi, Ikaeda," sapanya dengan nada hangat. Evelia, yang melihat ekspresi bingung namun penasaran di wajah Ikaeda, ikut tertawa kecil, menambahkan kehangatan suasana pagi itu.

Setelah beberapa jam berlalu dalam suasana yang hangat dan penuh keakraban, di mana Ikaeda bahkan sempat tertawa ringan mendengar lelucon Evelia, awan melankolis kembali menggelayuti benaknya. Dengan perubahan ekspresi wajah yang begitu cepat seperti biasanya, ia menatap Araya. "Ibu," tanyanya dengan nada datar, "kemana Ibu akan mengirimku kali ini?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja, mencerminkan ketidakpastian dan rasa pasrah yang masih sering menghantuinya.

Melihat perubahan drastis dalam ekspresi putranya, dari tawa ringan menjadi tatapan kosong, Araya menghela napas dalam hati namun tetap mempertahankan senyum di wajahnya. Evelia yang menyadari dinamika emosi Ikaeda ikut tertawa kecil bersama Araya, berusaha mencairkan kembali suasana yang mulai menegang. "Tidak 'mengirim', Ikaeda," koreksi Araya lembut, "Ibu akan mengajakmu. Kita akan pergi ke Toura, di benua Haníe."

Nama "Toura" terdengar asing di telinga Ikaeda. Ia mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi baru ini. Melihat kebingungan di wajah putranya, Evelia mengambil inisiatif untuk menjelaskan. "Benua Hanie itu sangat berbeda dengan Niflheim yang dingin dan penuh teknologi, atau Insomnia yang megah dan modern, bahkan Suzaku yang damai dan penuh dengan keindahan alamnya. Hanie adalah benua yang luas dan penuh dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Budayanya kaya dan unik, dipengaruhi oleh alam yang liar dan spiritualitas yang mendalam."

Evelia melanjutkan penjelasannya dengan antusias. "Kota Toura sendiri adalah permata Hanie. Terletak di lembah yang subur, dikelilingi oleh pegunungan yang menjulang tinggi dan hutan-hutan lebat. Arsitekturnya didominasi oleh bangunan-bangunan kayu yang indah dengan ukiran-ukiran rumit, mencerminkan keharmonisan antara manusia dan alam. Orang-orang Toura dikenal ramah, memiliki tradisi seni bela diri yang unik, dan sangat menghormati alam serta roh-roh leluhur. Mereka juga memiliki kuliner yang eksotis dan festival-festival yang penuh warna. Kau akan melihat dunia yang sangat berbeda di sana, Ikaeda."

"Kenapa Kota Toura, bukan Negara?" tanya Ikaeda, rasa ingin tahunya terusik oleh penjelasan Evelia. Ia mencoba membayangkan tempat yang begitu berbeda dari yang pernah ia lihat.

Evelia tersenyum lembut, melanjutkan penjelasannya sembari sesekali melirik Araya yang tampak menikmati teh herbal buatannya dengan tenang. "Hanie terdiri dari beberapa wilayah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri-sendiri dengan berbagai bentuk. Toura adalah salah satu wilayah yang cukup besar dan berpengaruh, sehingga lebih dikenal sebagai kota utama atau pusat kebudayaan di sana. Bayangkan seperti sebuah provinsi yang sangat istimewa dan memiliki pengaruh yang besar di seluruh benua Hanie.

Evelia menambahkan, "Setiap wilayah di Hanie memiliki karakteristik uniknya sendiri, baik dari segi budaya, adat istiadat, maupun sistem pemerintahan. Ada yang berbentuk kerajaan kecil, ada yang dipimpin oleh dewan tetua, bahkan ada yang berupa federasi beberapa klan besar. Toura, dengan kekayaan alam dan budayanya, menjadi semacam jantung yang memompa kehidupan dan tradisi ke seluruh Hanie. Jadi, meskipun disebut kota, pengaruh dan signifikansinya seringkali melebihi sebuah negara biasa."

Akhirnya, setelah mendengarkan penjelasan Evelia yang rinci, Ikaeda mengangguk tanda mengerti. Gambaran benua Hanie dan Kota Toura terbentuk di benaknya, membangkitkan sedikit rasa ingin tahu meskipun masih terselubung keragu-raguan. Tiba-tiba, Araya beranjak dari duduknya, meletakkan cangkir tehnya di atas meja dengan bunyi pelan.

"Baiklah, Ikaeda," ucap Araya dengan nada yang tidak terbantahkan, "sekarang siapkan barang-barangmu. Kita akan berangkat sore ini."

Mendengar perkataan ibunya, Ikaeda terkejut. Matanya membulat, sama sekali tidak menyangka keberangkatan mereka akan secepat ini. Ia mengira perjalanan ke tempat yang begitu jauh dan asing akan direncanakan beberapa hari atau bahkan beberapa minggu lagi. "Sore ini?" tanya Ikaeda dengan nada sedikit protes. "Tapi aku belum..."

Araya menatap putranya dengan tatapan yang tidak menerima bantahan. "Tidak ada 'tapi', Ikaeda. Semakin cepat kita berangkat, semakin cepat pula urusan kita selesai. Ibu akan menunggumu di pelabuhan sore ini. Jangan terlambat." Tanpa menunggu jawaban Ikaeda lebih lanjut, Araya berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Ikaeda yang terdiam dengan ekspresi tercengang. Evelia hanya bisa tersenyum tipis melihat keterkejutan Ikaeda, sudah terbiasa dengan keputusan mendadak Araya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Perspektif beralih ke wilayah Tree of Life, sebuah area yang dipenuhi dengan pepohonan purba menjulang tinggi dan aura kehidupan yang kuat. Di bawah naungan salah satu pohon raksasa, William Lutelia, dengan beberapa buku tebal berserakan di sampingnya, sedang berdiskusi dengan Hatsuaki dan R.I. William, seperti biasa, tampak antusias menyerap setiap informasi baru yang ia dapatkan dari kedua temannya yang lebih berpengalaman dalam berbagai hal, termasuk petualangan di luar tumpukan bukunya.

R.I., yang sedang mengasah pedangnya dengan gerakan santai namun presisi, tiba-tiba menoleh ke arah William. "Hei, kutu buku," celetuknya dengan seringai kecil, "kalau kau benar-benar ingin memperluas wawasanmu, mungkin kau harus mencoba mengunjungi benua Hanie. Tempat itu benar-benar unik, penuh dengan berbagai macam ras makhluk hidup yang... lumayan ramah."

Hatsuaki, yang sedang memanjat salah satu akar besar dengan lincah, menimpali dengan nada menggoda, "Benar sekali! Siapa tahu di sana kau tidak hanya menambah pengetahuan, tapi juga menemukan tambatan hati. Kudengar wanita-wanita di Hanie punya selera yang... eksotis." William, yang mendengar candaan Hatsuaki, langsung tersipu malu dan hanya bisa mengangguk kecil sambil membenarkan letak kacamatanya.

R.I. terkekeh melihat reaksi William. "Aku pernah ke sana sekali, dulu, saat masih berkelana dengan Araya," ujarnya, tatapannya menerawang seolah mengingat masa lalu. "Benar-benar tempat yang berbeda dari sini. Pemandangannya liar, budayanya kaya... dan ya, makhluk hidupnya memang... beragam."

R.I. semakin bersemangat menceritakan pengalamannya di Hanie. "Bahkan di sana ada nekomimi!" serunya antusias, melihat ekspresi bingung William. "Itu lho, manusia dengan telinga dan ekor kucing! Lucu dan gesit sekali. Lalu ada juga elf, sama cantiknya dengan yang ada di Benua Shirayuki Sakura, tapi dengan budaya dan kepercayaan yang berbeda. Belum lagi ras-ras lain yang bentuknya macam-macam, ada yang mirip tumbuhan, ada yang seperti serangga raksasa tapi pintar... pokoknya benar-benar warna-warni!"

Tiba-tiba, raut wajah R.I. berubah sedikit, ada kilatan kejengkelan di matanya. "Ah, tapi aku jadi ingat satu wanita menyebalkan di sana... kalau tidak salah namanya Eunho. Dia itu... suka sekali menjahiliku. Kalau tidak salah, dia bilang mau jadi guru di sana. Hmm, kurasa dia sudah jadi guru sekarang."

R.I. menghela napas kecil. "Dia itu... versi lain dari Liini. Pintarnya sama, jeniusnya sama, tenangnya juga sama-sama bikin frustrasi, dan dewasanya... jangan ditanya."

Mendengar perbandingan R.I. antara Eunho dan Liini, Hatsuki tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. "Hahahaha! Jangan bilang kau sering dipermalukan oleh wanita itu, R.I.?! Aku yakin sekali kau pasti jadi bulan-bulanan di sana!"

R.I. mendengus kesal. "Enak saja! Dia memang pintar dan tenang, tapi menjahiliku itu sudah jadi hobinya. Tapi memang benar sih, kemampuannya itu... ya, setara dengan Liini. Otaknya encer sekali, bisa memikirkan banyak hal dalam sekejap, dan selalu punya solusi yang tidak terpikirkan oleh orang lain."

"Bahkan Araya saat itu hanya bisa tersenyum melihatku kerepotan membantu Eunho selama ekspedisi di sana," lanjut R.I. dengan nada getir. "Setiap kali aku melakukan kesalahan sekecil apapun, jangan harap dia akan membiarkanku begitu saja. Pukulan dari tangan mungilnya itu lebih sakit daripada ditinju raksasa!" R.I. mengusap lengannya, seolah mengingat rasa sakit yang pernah ia alami. "Dan jangan tertipu dengan penampilannya yang imut itu. Usianya itu... setara dengan Araya. Benar-benar wanita yang menakutkan."

R.I. kemudian mengeluarkan sebuah lukisan dari dalam tasnya. "Aku masih menyimpan lukisan ini," ujarnya sambil menunjukkan lukisan itu kepada William dan Hatsuaki. "Ini Eunho saat kami masih di Toura. Dia digambarkan dengan telinga dan ekor kucingnya yang khas, mengenakan pakaian tradisional Toura yang berwarna cerah, dan... ya, dengan senyum yang terlihat manis tapi sebenarnya menyimpan sejuta rencana jahil." Lukisan itu menggambarkan seorang wanita nekomimi dengan senyum misterius, berdiri di tengah pemandangan kota Toura yang eksotis.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Pandangan kembali tertuju pada Ikaeda dan Araya yang kini telah tiba di pelabuhan. Sebuah perahu layar berukuran sedang telah menanti di dermaga, lambungnya diayun lembut oleh ombak kecil. Araya sudah berada di dekat perahu, menunggu dengan tatapan tenang. Tanpa banyak bicara, Araya mengisyaratkan Ikaeda untuk segera naik. Ikaeda menurut, melangkah ke atas perahu dengan sedikit keraguan, diikuti oleh Araya yang berjalan di belakangnya.

Saat perahu mulai bergerak meninggalkan pelabuhan, membelah air laut yang berkilauan diterpa cahaya sore, Ikaeda memberanikan diri bertanya "Ibu," ucapnya, menatap ibunya yang berdiri di sampingnya, "apakah pemimpin Toura itu perempuan juga?"

Mendengar pertanyaan putranya dan menyadari adanya kata "juga", Araya menoleh dengan alis terangkat. "Kenapa kau bertanya seperti itu, Ikaeda?" tanyanya balik dengan nada ingin tahu.

Ikaeda tampak sedikit ragu sebelum melanjutkan. "Yah... aku hanya heran. Kenapa banyak sekali pemimpin suatu wilayah yang... perempuan? Seperti Ibu..."

Araya tersenyum tipis mendengar pertanyaan polos putranya. "Itu karena perempuan juga memiliki kemampuan untuk memimpin dengan baik, Ikaeda. Kekuatan tidak mengenal jenis kelamin. Seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang bijaksana, adil, dan mampu melindungi rakyatnya. Apakah dia laki-laki atau perempuan, itu tidak menjadi masalah selama dia mampu menjalankan tugasnya dengan benar."

Mendengar jawaban ibunya tentang kepemimpinan, Ikaeda terdiam sejenak, lalu memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang selama ini terpendam di benaknya. "Lalu... ayahku? Siapa dia?"

Raut wajah Araya sedikit berubah, meskipun ia berusaha mempertahankan ketenangannya. Ia menghela napas pelan sebelum menjawab dengan jujur. "Ayahmu... dia terbunuh sejak era kejatuhan kerajaan tirani saat itu. Bahkan saat Ibu baru saja mengandungmu." Araya melanjutkan dengan nada getir, "Ibu dan R.I. menerobos masuk ke sana untuk mencarinya. Namun, yang kami hadapi justru raja yang telah berubah menjadi iblis. Ibu melihat sendiri jasad kekasih Ibu... Ayahmu... sudah tergeletak tak bernyawa. Sejak saat itu... Ibu hanya bisa mengikhlaskannya."

Ikaeda mendengarkan dengan tenang, meskipun ada sedikit rasa sakit yang menusuk hatinya. Ia mengangguk pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lautan luas yang terbentang di hadapan mereka. Araya mengulurkan tangannya dan dengan lembut mengelus kepala putranya.

Setelah beberapa saat hening, Ikaeda kembali bertanya dengan nada pelan, "Apakah... ayah hebat dalam bertarung?"

Araya kembali mengelus kepala putranya, kali ini dengan senyum tipis yang menghiasi bibirnya. "Ya, Ikaeda. Ayahmu adalah seorang pejuang yang hebat. Dia memiliki keberanian dan tekad yang luar biasa."

Menyadari bahwa pertanyaannya telah membuka luka lama di hati ibunya, Ikaeda tidak ingin mengungkit lebih jauh masalah yang menyedihkan itu. Ia memilih untuk diam selama sisa perjalanan mereka menuju benua Hanie dan Kota Toura, membiarkan keheningan menyelimuti kesedihan yang tak terucapkan di antara ibu dan anak itu.

Setibanya di pelabuhan Kota Toura, Ikaeda terkesima. Matanya memindai setiap sudut dermaga yang ramai dengan aktivitas dan warna-warni yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Bangunan-bangunan kayu dengan ukiran-ukiran detail menjulang anggun, aroma rempah-rempah eksotis bercampur dengan bau laut yang segar, dan berbagai macam makhluk hidup dengan penampilan unik berlalu lalang di sekitarnya. Ikaeda benar-benar terpukau, bibirnya sedikit terbuka tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

Melihat kekaguman putranya, Araya tertawa kecil. Ia menepuk bahu Ikaeda lembut. "Ayo, Ikaeda. Kita turunkan barang-barang dulu." Bersama-sama, mereka mengambil tas dan perlengkapan mereka dari perahu dan melangkah turun ke dermaga yang berdenyut dengan kehidupan.

Tak lama setelah kaki mereka menginjakkan tanah Toura, suara wanita yang ceria dan familiar terdengar menyambut kedatangan mereka. "Araya! Sudah lama sekali!" Araya menoleh dan senyum lebar langsung merekah di wajahnya. Ia tampak sangat senang melihat sosok wanita nekomimi dengan mata yang berbinar-binar menghampiri mereka.

"Eunho! Ya ampun, kau tidak banyak berubah!" keduanya berpelukan hangat, menunjukkan keakraban seorang teman lama yang telah lama berpisah. Setelah melepas pelukan, Eunho mengalihkan pandangannya pada Ikaeda yang berdiri di samping Araya.

"Lalu, siapa pemuda tampan ini?" tanyanya dengan senyum menggoda. Araya merangkul bahu Ikaeda dengan bangga. "Eunho, perkenalkan, ini putraku, Ikaeda."

Mata Eunho membulat pura-pura terkejut saat menatap Ikaeda dari atas hingga bawah, sebelum akhirnya berhenti pada wajah pemuda itu dengan senyum menggoda. "Astaga, Araya! Putra mu tampan sekali! Lihatlah matanya yang tajam itu... dan rambutnya yang gelap... benar-benar mempesona!" Eunho kemudian mengulurkan tangannya dan dengan gemas mencubit kedua pipi Ikaeda. "Sayang sekali ekspresinya sedikit suram. Hei, tampan! Kenapa wajahmu ditekuk begitu? Sedang marah pada dunia?"

Ikaeda yang tidak terbiasa dengan keramahan dan godaan yang blak-blakan seperti ini langsung merasa risih. Wajahnya sedikit memerah karena malu dan kesal. Ia menepis tangan Eunho dari pipinya dengan gerakan cepat, ekspresinya persis seperti kucing yang terganggu. "Jangan... sembarangan menyentuhku," geramnya pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.

Melihat reaksi Ikaeda yang kesal namun terlihat menggemaskan, Araya dan Eunho tertawa terbahak-bahak. "Ampun, ampun! Sensitif sekali anakmu, Araya!" ujar Eunho di sela-sela tawanya, matanya masih berbinar-binar menatap Ikaeda yang kini memalingkan wajahnya dengan ekspresi cemberut. Araya hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum maklum melihat tingkah putranya yang mudah sekali terpancing.

Tak berselang lama setelah momen menggoda itu, suara wanita muda yang ceria namun sedikit cemberut terdengar memanggil Eunho. "Ibuuuu! Lama sekali! Aku sudah menunggumu dari tadi!"

Seketika, Ikaeda menoleh ke arah sumber suara dan mendapati seorang wanita jangkung, tingginya hampir setara dengan Araya, berjalan mendekat ke arah mereka. Ekspresi wajahnya datar namun ada sedikit nada merajuk dalam suaranya yang terdengar menggemaskan.

Araya, yang terkesan dengan kecantikan dan tinggi badan wanita muda itu, bertanya kepada Eunho dengan nada ingin tahu. "Eunho, siapa wanita cantik ini? Apakah dia...?"

Eunho tertawa kecil dan merangkul wanita jangkung itu dengan sayang. "Araya, perkenalkan, ini putriku satu-satunya, Yena."

Yena membungkuk sopan kepada Araya sambil memberikan salam singkat. "Salam kenal, Araya-sama. Ibu sering bercerita banyak tentang Anda."

Mendengar itu, ide jahil langsung terlintas di benak Araya. Dengan senyum menggoda, ia menatap Eunho dan kemudian beralih pada Ikaeda dan Yena. "Wah, kebetulan sekali! Bagaimana kalau kita jodohkan saja kedua anak muda ini? Mereka terlihat serasi!" Eunho ikut tertawa dan menambahkan, "Benar juga! Tinggi mereka juga cocok sekali!"

Sontak, suasana di antara Ikaeda dan Yena menjadi sedikit canggung dan malu-malu. Ketika mata mereka tanpa sengaja bertemu, Yena menatap Ikaeda dengan tatapan galak dan bertanya dengan nada ketus. "Apa yang kau lihat?!" Ikaeda, yang tidak terima dengan nada bicara Yena, membalas tatapannya dengan sengit. "Memangnya kenapa kalau aku melihat? Ada yang salah?!"

Perdebatan sengit langsung pecah antara Yena dan Ikaeda.

Kata-kata tajam terlontar dari bibir keduanya, menciptakan suasana yang sedikit tegang namun di mata Araya dan Eunho justru terlihat lucu. Keduanya tertawa terbahak-bahak melihat interaksi yang penuh semangat antara anak-anak mereka. "Wah, cepat sekali akrabnya kalian!" seru Eunho dengan nada riang. Namun, Yena dan Ikaeda serempak menyahut dengan nada tidak terima, "Kami tidak akrab!"

Setelah puas tertawa, Eunho mengajak Araya untuk pergi ke rumahnya. "Ayo, Araya! Sudah lama sekali aku tidak menjamumu di rumahku. Banyak hal yang ingin kuceritakan!" Yena, tanpa melepaskan tatapan sengitnya dari Ikaeda, tiba-tiba menarik kerah baju pemuda itu dengan kasar. "Hei, kau! Ikut kami!" Ikaeda yang terkejut dengan tindakan Yena hanya bisa pasrah dan mengikuti langkah gadis jangkung itu di belakang ibu mereka. Sepanjang perjalanan menuju rumah Eunho, Yena dan Ikaeda terus berdebat kecil, saling melempar sindiran dan tatapan tajam, menciptakan dinamika yang unik dan menggelikan di antara mereka.

Malam harinya, di rumah Eunho yang hangat dan penuh tawa, Araya dan Ikaeda dijamu dengan hidangan lezat oleh keluarga kecil Eunho. Ikaeda terpesona saat melihat Yena yang kini mengenakan gaun malam yang indah, sangat berbeda dari penampilannya yang galak siang tadi. Namun, tatapan kagum Ikaeda rupanya disadari oleh Yena. Dengan wajah yang tiba-tiba merona, Yena memarahi Ikaeda dengan nada ketus, "Hei! Jangan menatapku seperti itu, Aku berpenampilan seperti ini bukan untukmu!"

Setelah pesta makan malam yang meriah, Araya dengan senang hati membantu Eunho dan suaminya membersihkan perabotan. Suasana kekeluargaan terasa begitu kental, membuat Ikaeda merasa sedikit asing namun duduk hangat. Ia memutuskan untuk keluar rumah dan duduk merenung di teras yang diterangi rembulan.

Tak lama kemudian, Yena menyusul Ikaeda keluar. Ia duduk di samping pemuda itu dengan sikap yang jauh lebih lembut dari sebelumnya. "Kau sedang memikirkan sesuatu?" tanyanya dengan nada pelan. Ikaeda menghela napas dan mengakui bahwa ada sesuatu yang membebani pikirannya, sesuatu yang ia sendiri tidak tahu bagaimana menghadapinya. Yena mendengarkan dengan seksama setiap kata yang diucapkan Ikaeda, memberikan perhatian penuh tanpa menyela.

Setelah Ikaeda selesai bercerita, Yena pun berbagi kisahnya. Ia mengaku tidak terlalu tertarik dengan dunia akademik yang diharapkan ibunya. Minatnya lebih tertuju pada kegiatan non-akademik seperti berpedang, memanah, dan berbagai jenis pertarungan lainnya. Namun, ia tidak ingin mengecewakan Eunho, yang telah merawatnya dengan tulus sejak kecil. Wajah polos dan nada lembut Eunho selalu berhasil membuatnya merasa nyaman dan ingin membahagiakan ibunya.

Keesokan paginya, setelah sarapan bersama keluarga Eunho yang hangat, Araya dan Eunho mengumpulkan Ikaeda dan Yena. "Ibu dan Eunho harus pergi untuk menyelesaikan beberapa urusan penting," kata Araya dengan nada tenang. Ikaeda, yang sudah terbiasa dengan urusan mendadak ibunya, hanya mengangguk pasrah. "Baiklah, Ibu."

Araya kemudian menatap Ikaeda. "Ikaeda, Ibu percayakan Yena padamu selama kami pergi. Jaga dia baik-baik." Eunho menimpali sambil tersenyum pada putrinya, "Yena sayang, ajak Ikaeda berkeliling kota ya. Atau mungkin ikuti kegiatan yang ada di Toura. Kalian bisa bersenang-senang bersama." Yena, meskipun awalnya terlihat sedikit enggan, mengangguk patuh pada ibunya. "Baik, Ibu."

Setelah Araya dan Eunho pergi, Yena menoleh pada Ikaeda dengan tatapan yang lebih ramah dari sebelumnya. "Kau tahu," katanya sambil menyunggingkan senyum tipis, "kebetulan sekali hari ini ada pertarungan mingguan di alun-alun. Itu acara yang cukup seru dan sering diadakan di Toura. Mau ikut?"

Mendengar kata 'pertarungan', mata Ikaeda langsung berbinar. Semangatnya yang tadinya meredup seketika menyala kembali. "Tentu saja! Ayo!" jawab Ikaeda dengan antusias, mengikuti langkah Yena menuju alun-alun kota Toura yang ramai.

Sesampainya di alun-alun yang ramai dan dipenuhi oleh berbagai macam orang, Yena langsung disambut oleh sekelompok teman-temannya. Di antara mereka, terlihat beberapa wanita dan pria dengan ekspresi angkuh. Salah seorang wanita dengan rambut terurai panjang dan mengenakan pakaian yang mewah menatap Yena dengan tatapan merendahkan. "Oh, lihatlah siapa yang datang," katanya dengan nada sinis. "Si Yena dengan pedang usangnya. Kudengar kau kalah lagi dalam pertarungan terakhir? Memang tidak ada bakat."

Yena berusaha keras untuk tidak terpancing oleh ejekan tersebut. Ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba mengabaikan kata-kata menyakitkan itu. Namun, Ikaeda yang berdiri di samping Yena tidak bisa tinggal diam mendengar temannya direndahkan. Ia langsung menoleh tajam ke arah wanita yang mengejek Yena, tatapannya dingin dan mengintimidasi. Yena dengan cepat menyadari niat Ikaeda dan meraih lengannya, berusaha menahannya untuk tidak ikut campur. "Sudahlah, biarkan saja," bisiknya pelan.

Sayangnya, ejekan dari wanita itu terus berlanjut, semakin menusuk dan merendahkan. Yena semakin tertekan, rahangnya mengeras dan tangannya mengepal. Ikaeda hanya bisa terdiam dan menyaksikan dengan geram bagaimana Yena berusaha menahan diri dari amarah yang jelas terlihat di matanya. Suasana yang tadinya ramai dan meriah bagi Ikaeda kini terasa tidak menyenangkan, dipenuhi oleh aura permusuhan dan kesombongan.

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!