Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Gerbang Asal Jiwa
Udara menjadi sangat tipis.
Langit seolah tersayat oleh tangan tak kasatmata, membuka celah yang memancarkan cahaya putih keperakan. Kabut aneh merayap dari celah itu, membuat semua makhluk hidup di Gunung Langit Kelima berlutut dalam ketakutan.
Para tetua Sekte Langit Petir, yang biasanya tak tergoyahkan oleh kekuatan apapun di bawah langit, kini terdiam membeku. Mata mereka membelalak, mengenali fenomena yang selama ini hanya mereka baca dalam gulungan kitab kuno—Gerbang Asal Jiwa.
“Tidak mungkin,” gumam Tetua Hua, tubuhnya gemetar. “Gerbang itu, seharusnya hanya bisa dibuka oleh Dewa Jiwa Pertama.”
Ying’er berdiri di tengah pusaran cahaya, rambutnya terangkat, gaunnya berkibar seperti akan terbakar oleh energi luar biasa. Tapi bukan api yang membakar—melainkan cahaya dari dunia jiwa yang mulai menyatu dengannya.
Jiang Hao yang masih terkapar di tanah memaksakan diri bangkit. Darah menetes dari bibirnya, tapi matanya tak berpaling dari Ying’er.
“Ying’er ... berhenti. Energinya terlalu besar.”
Tapi suara Jiang Hao terdengar seperti bisikan dalam badai. Ying’er tidak bergerak. Matanya bersinar, dan dari dalam tubuhnya mulai muncul simbol-simbol kuno, membentuk lingkaran sihir di tanah.
Tiba-tiba, dari balik gerbang yang belum sepenuhnya terbuka, muncul sesosok makhluk—tingginya lebih dari tiga meter, dengan kulit seputih tulang, dan mata keperakan yang menatap manusia seperti menatap debu.
“Pewaris baru … akhirnya kau datang,” ucap makhluk itu. Suaranya bergema seperti nyanyian surga dan raungan neraka bersamaan.
Semua tetua mundur selangkah.
Zhou Wan mencoba mempertahankan wibawanya. “Makhluk dari dimensi jiwa, kembali ke tempat asalmu! Dunia ini bukan untuk kalian!”
Makhluk itu menoleh padanya—dan cukup dengan satu tatapan, tubuh Zhou Wan terpental puluhan meter, menghantam tiang batu dan terdiam tak bergerak.
Ying’er perlahan menatap makhluk itu. “Siapa kau?”
“Aku adalah Pengingat. Penjaga gerbang. Dan kau … adalah anak dari dua dunia. Darah manusia dan roh bersatu di nadimu. Kaulah kunci yang dicari-cari sejak ribuan tahun.”
Ying’er terhuyung. Jiang Hao langsung menghampirinya, menopang tubuhnya. “Aku tidak peduli takdir atau ramalan. Aku hanya ingin melindungimu.”
Makhluk itu tertawa lirih. “Dan karena itulah … kau takdirkan menjadi pelindung jiwanya.”
Tiba-tiba, cahaya dari Gerbang Asal Jiwa menyilaukan.
Dalam sekejap, Jiang Hao dan Ying’er tersedot ke dalamnya—diiringi jeritan para tetua yang mencoba mengejar namun gagal. Gerbang itu menutup perlahan… dan lenyap.
---
Ketika Jiang Hao membuka matanya, ia berdiri di tengah hamparan padang putih luas tanpa batas. Tidak ada langit, tidak ada tanah. Hanya cahaya putih dan kesunyian sempurna.
Ying’er ada di sisinya, berdiri dengan tubuh lemah, namun wajahnya tenang.
“Mereka bilang tempat ini adalah asal semua jiwa …” gumamnya.
Tiba-tiba, bayangan-bayangan mulai muncul di sekeliling mereka—seperti arwah tanpa tubuh, seperti kenangan tanpa pemilik. Satu per satu, mereka berbicara dalam bahasa yang aneh, tapi entah bagaimana… Jiang Hao bisa memahaminya.
“Keturunan terakhir dari darah suci…”
“Penyatu antara dunia roh dan dunia fana .…”
“Yang akan membuka atau menutup jalan kiamat .…”
Ying’er menggenggam tangan Jiang Hao. “Aku … mulai mengingat. Ibuku bukan manusia biasa. Ia adalah roh penjaga Gerbang Jiwa. Ayahku—dari Sekte Langit Petir—mencuri kekuatannya.”
Jiang Hao memicingkan mata. “Zhou Wan?”
“Bukan,” jawabnya pelan. “Ayahku adalah Tetua Besar yang tak pernah disebut. Dia telah lama menghilang. Tapi sebelum lenyap, dia meninggalkan sesuatu dalam diriku—kunci gerbang.”
Mereka melangkah maju, dan di hadapan mereka muncul sebuah kolam cahaya. Di dalamnya—kenangan masa lalu mengalir seperti film. Jiang Hao melihat Ying’er kecil yang disembunyikan di bawah tanah sekte, disuntik ramuan penenang jiwa, tubuhnya diikat mantra.
Dan ia melihat dirinya sendiri—diturunkan dari pergunungan dalam keranjang kayu, ditinggalkan di pintu sekte oleh seseorang yang wajahnya tak asing.
Itu ibunya. Dan simbol di leher ibunya adalah simbol roh penjaga, sama seperti yang bersinar di tubuh Ying’er sekarang.
Jiang Hao terdiam.
“Kita … berasal dari sumber yang sama,” bisiknya.
Ying’er mengangguk. “Dua sisi dari satu asal.”
Tiba-tiba, kolam cahaya bergetar, dan sebuah sosok muncul di dalamnya—dengan mata merah menyala, dan jubah hitam yang mengalir seperti kabut.
“Waktunya hampir habis,” suara makhluk itu bergema.
“Siapa kau?” tanya Jiang Hao.
“Aku adalah Bayangan yang Dibuang. Jiwa tertua yang ditolak oleh keseimbangan. Aku ingin kembali. Dan hanya Gerbang Asal Jiwa yang bisa membukanya.”
Cahaya di sekitar mereka mulai meredup.
Ying’er menatap Jiang Hao. “Kita harus membuat pilihan. Jika gerbang dibuka penuh… makhluk-makhluk sepertinya akan membanjiri dunia. Tapi kalau kita tutup selamanya… aku tidak akan pernah bisa kembali. Kekuatan ini akan menghabiskan tubuhku.”
Jiang Hao memejamkan mata. Tangannya menggenggam tangan Ying’er erat.
“Aku tidak akan biarkan kau menghilang,” katanya. “Kalau harus menutup gerbang, kita tutup bersama.”
Ying’er tersenyum pilu. “Dan dunia?”
Jiang Hao menatap langit putih. “Akan kubakar dunia … jika itu harga untuk bersamamu.”
Tiba-tiba, energi hitam melesat dari tubuh Bayangan Dibuang. Jiang Hao dan Ying’er terhempas. Namun saat mereka jatuh, sebuah simbol bercahaya muncul di dada Jiang Hao—simbol yang sama dengan milik ibunya.
Simbol Roh Pelindung.
Dalam sekejap, tubuh Jiang Hao menyala dengan cahaya perak dan hitam bersamaan. Ia bangkit, tubuhnya berkilat, rambutnya mengepul seperti bara.
“Aku bukan iblis .…”
“Aku bukan malaikat .…”
“Aku adalah keseimbangan itu sendiri!”
Ia melompat ke udara, meninju langsung ke wajah Bayangan Dibuang. Cahaya dari pukulan itu membuka kembali celah Gerbang Asal Jiwa—dan tubuh Jiang Hao serta Ying’er melesat keluar, tepat sebelum gerbang tertutup selamanya.
---
Mereka terjatuh kembali di Gunung Langit Kelima.
Langit cerah. Tidak ada kabut. Tidak ada petir. Hanya keheningan.
Para tetua sudah tak tampak. Sekte Langit Petir hancur oleh kekacauan dalam. Tapi beberapa murid berdiri jauh di lereng, menyaksikan Jiang Hao dan Ying’er bangkit kembali—kali ini, sebagai pasangan yang telah menyatu dengan kekuatan dari dunia yang bahkan dewa tak sanggup sentuh.
Dan di punggung Jiang Hao, terbentuk simbol baru.
Simbol Tangan Iblis, Hati Malaikat.
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh