Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: Kilatan Hitam di Balik Senyum
Bibi Lastri tidak menunggu jawaban Risa. Tangannya yang dingin, entah kenapa Risa baru menyadarinya, sudah meraih lengan Risa, menariknya berdiri.
"Ayok, Risa! Kevin harus segera ditolong!" Suaranya parau, penuh kekhawatiran yang terasa terlalu sempurna, seolah ia sedang membaca naskah. Risa merasakan tarikan di lengannya, tapi pandangannya terpaku pada dahi Kevin yang membiru, lalu melirik ke arah kotak di genggamannya. Kotak kayu itu terasa menghangat, seolah ada denyut kehidupan di dalamnya.
"Tapi... dia..." Risa tergagap, menunjuk ke arah rerimbunan pohon tempat sosok hitam tadi berdiri. "Ada... ada sesuatu di sana, Bi."
Bibi Lastri hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada Kevin. "Sudah tidak ada apa-apa, Risa. Kamu pasti ketakutan. Ayo cepat!" Desakannya begitu kuat, nyaris memaksa. Tanpa buang waktu, Bibi Lastri membungkuk, berusaha mengangkat tubuh Kevin yang lunglai. Tenaganya, anehnya, terlihat lebih besar dari yang Risa kira.
"Biar Risa bantu, Bi." Risa ikut membantu memapah Kevin. Setiap sentuhan pada Kevin, setiap langkah yang mereka ambil menjauh dari kebun belakang yang gelap, terasa seperti sebuah pelarian. Tapi lari dari apa? Hantu yang tidak terlihat? Atau dari Bibi Lastri yang tiba-tiba muncul entah dari mana?
Perjalanan singkat menuju mobil Bibi Lastri terasa seperti seratus tahun. Di sepanjang jalan setapak yang remang, Risa terus melirik ke belakang, berharap melihat jejak sosok hitam itu, namun hanya kegelapan dan siluet pohon-pohon tua yang menjulang seperti jemari monster. Mobil Bibi Lastri, sebuah sedan hitam keluaran lama, sudah terparkir di depan gerbang. Bagaimana Bibi Lastri bisa tahu mereka ada di kebun belakang? Mengapa ia tidak bertanya apa yang terjadi pada Kevin, selain hanya melihat dahinya? Pertanyaan-pertanyaan itu berdengung di kepala Risa, berputar-putar seperti lalat pengganggu.
Kevin ditempatkan di kursi belakang. Risa memutuskan untuk ikut duduk di belakang, mendekap erat Kevin yang tak sadarkan diri, dan tentu saja, kotak kayu itu. Bibi Lastri masuk ke kursi pengemudi. Ia menyalakan mesin, cahaya dashboard menerangi sebagian wajahnya. Senyum khawatir itu masih tersemat di bibirnya, tapi mata Bibi Lastri sesekali melirik spion tengah, tepat ke arah Risa dan kotak di pangkuannya. Kilatan perhitungan itu kembali hadir. Risa merasakannya. Firasatnya menjerit, memperingatkan bahaya yang lebih nyata dari sekadar hantu.
"Ini pasti perbuatan iseng anak-anak nakal," Bibi Lastri memecah keheningan, suaranya berusaha terdengar santai. "Mungkin mereka sengaja memukul Kevin dan bersembunyi. Kamu kan tahu, rumah ini memang sering jadi incaran orang."
Risa tidak menjawab. Ia tahu itu bukan anak nakal. Ia merasakan embusan napas dingin itu, bau melati busuk itu. Dan bisikan yang menyebutkan nama ibunya. Tidak, ini bukan manusia. Tapi ia memilih diam, membiarkan Bibi Lastri berasumsi. Terlalu banyak hal yang terjadi malam ini. Terlalu banyak keanehan.
Mobil melaju membelah malam. Lampu-lampu jalan sesekali menyinari wajah Kevin yang pucat. Risa mengelus rambut Kevin, hatinya mencelos. Teman cerdasnya, yang selalu jadi pembawa logika, kini terkapar tak berdaya. Semua ini karena dirinya. Karena rasa penasarannya. Perasaan bersalah mencengkeram dadanya.
Tak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di rumah sakit. Bibi Lastri dengan sigap meminta bantuan perawat. Kevin segera dibawa ke IGD. Risa hanya bisa mengikuti, pandangannya tak lepas dari punggung Kevin yang menghilang di balik pintu gawat darurat. Kotak kayu itu masih ia dekap, erat seperti nyawanya sendiri.
"Kamu tunggu di sini, Risa. Bibi akan urus administrasinya," kata Bibi Lastri, menepuk bahu Risa pelan. "Jangan khawatir, Kevin pasti baik-baik saja."
Risa mengangguk tanpa suara. Bibi Lastri berlalu ke meja pendaftaran. Risa duduk di kursi tunggu, telapak tangannya berkeringat dingin. Ruangan IGD terasa bising, namun di telinganya, hanya ada keheningan yang mencekam, diselingi detak jantungnya sendiri yang berpacu kencang. Ia mengamati Bibi Lastri dari jauh. Bibi Lastri tampak sibuk berbicara dengan petugas, sesekali melirik ke arah Risa. Ada yang aneh. Bibi Lastri terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja membawa keponakannya ke IGD setelah dipukul orang tak dikenal. Atau dipukul... hantu?
Satu jam berlalu. Seorang dokter muda keluar dari IGD. Risa segera berdiri.
"Bagaimana Kevin, Dok?" suaranya bergetar.
Dokter itu tersenyum tipis. "Kondisinya stabil. Ada memar cukup parah di bagian belakang kepala, tapi tidak ada pendarahan serius. Syukurlah. Dia butuh istirahat total dan akan kita observasi selama satu malam. Besok pagi kemungkinan sudah bisa pulang."
Napas Risa lega. Rasa bersalahnya sedikit berkurang. "Bisa saya menjenguknya, Dok?"
"Sebentar lagi akan dipindahkan ke kamar rawat. Kamu bisa menjenguknya setelah itu."
Bibi Lastri mendekat. "Terima kasih, Dokter. Saya bibinya."
Dokter mengangguk ramah, lalu permisi. Bibi Lastri menoleh pada Risa. "Nah, kan? Bibi sudah bilang, Kevin pasti baik-baik saja." Senyumnya kembali terukir, kali ini lebih lega, namun Risa masih melihat sesuatu di balik mata itu. Sesuatu yang tersembunyi.
"Bibi mau ke kamar mandi sebentar. Kamu tunggu di sini ya, Risa. Jangan ke mana-mana," kata Bibi Lastri, menekan kata 'jangan ke mana-mana' dengan nada sedikit lebih keras. Lalu ia beranjak, melangkah cepat menuju koridor.
Ketika Bibi Lastri sudah tidak terlihat, Risa menghela napas panjang. Kepalanya masih pusing, pikirannya kalut. Ia menatap kotak kayu di tangannya. Haruskah ia membukanya sekarang? Tapi di mana? Di rumah sakit yang ramai ini? Bagaimana jika isinya sesuatu yang terlalu mengerikan untuk dilihat di tempat umum?
Ia bergeser, menyandarkan punggung ke dinding. Aroma antiseptik rumah sakit bercampur dengan samar bau melati busuk yang masih melekat di pakaiannya. Ia meraih liontin kunci kecil di lehernya. Dingin. Mungkinkah kunci ini untuk kotak ini? Bisikan hantu itu kembali terngiang, "Kebenaran... di dalam... kunci..."
Jari-jemari Risa meraba ukiran pada kotak itu. Ukiran bunga mawar dan sulur-sulur yang rumit. Di tengah ukiran itu, ada sebuah lubang kunci kecil, nyaris tak terlihat jika tidak diperhatikan saksama. Bentuknya persis dengan liontin kunci miliknya. Jantung Risa berdegup kencang. Ini dia.
Keraguan menyergapnya. Apakah ia benar-benar siap untuk apa pun yang ada di dalamnya? Mengingat teror yang baru saja terjadi, kotak ini jelas bukan benda biasa. Ini adalah jawaban, tapi juga bisa menjadi ancaman baru.
Ia memutuskan untuk menunggu. Tidak di sini, bukan sekarang. Ia harus menemukan tempat yang aman, tempat di mana ia bisa mengamati dan memahami tanpa gangguan. Terutama tanpa gangguan dari Bibi Lastri.
Tidak lama kemudian, Kevin dipindahkan ke kamar rawat. Risa langsung masuk. Kevin terbaring lemah di ranjang, infus menancap di tangannya. Wajahnya masih pucat, tapi napasnya teratur. Risa duduk di kursi samping ranjang, menggenggam tangan Kevin. Tangan itu hangat, meyakinkan bahwa Kevin nyata, hidup. Bukan bayangan yang bisa lenyap kapan saja.
"Kevin... maafin gue..." bisik Risa, matanya berkaca-kaca. "Gue janji, gue bakal cari tahu semuanya. Semuanya."
Sebuah sentuhan di bahunya membuat Risa terlonjak. Bibi Lastri sudah berdiri di belakangnya, wajahnya tersenyum lembut, tapi matanya masih sama dinginnya.
"Kenapa kamu melamun?" Bibi Lastri bertanya, lalu pandangannya langsung jatuh ke kotak di pangkuan Risa. "Itu kotak apa, Risa? Kamu bawa dari mana?"
Nadanya santai, namun ada desakan di balik pertanyaan itu. Seperti pemburu yang mengendus mangsanya. Risa merasakan tenggorokannya tercekat. Ia harus melindungi kotak ini. Dengan segala cara.
"Oh, ini... ini cuma kotak perhiasan lama punya Ibu, Bi," Risa berbohong secepat kilat. "Waktu itu nemu di kamar Ibu. Risa bawa aja, biar enggak hilang."
Bibi Lastri tersenyum tipis, tapi matanya menyipit. "Perhiasan? Bibi kok enggak pernah tahu kalau kakak punya kotak perhiasan seperti itu? Bibi kira semua perhiasannya sudah dibawa Ayahmu."
Risa merasakan tekanan yang semakin kuat. Bibi Lastri tidak percaya. Ia tahu.
"Mungkin yang ini enggak terlalu berharga, Bi. Cuma kotak biasa kok," Risa mencoba meremehkan.
"Boleh Bibi lihat? Siapa tahu ada kenangan kakak di dalamnya." Bibi Lastri mengulurkan tangan, gerakannya halus, namun tatapannya menuntut.
Jantung Risa berdegup kencang. Ini dia. Momen yang ia takutkan. Ia harus menolak tanpa terlihat mencurigakan.
"Nanti aja ya, Bi. Risa mau nyimpennya sendiri dulu. Ini kan kenang-kenangan dari Ibu..." Risa menarik kotak itu sedikit mendekat ke tubuhnya.
Senyum Bibi Lastri menipis. Matanya berubah menjadi kilatan hitam yang tajam, seperti pisau. Kilatan itu melintas sangat cepat, hanya sepersekian detik, sebelum kembali menjadi senyum ramah yang sempurna. Tapi Risa sudah melihatnya. Itu bukan senyum. Itu adalah topeng. Dan di balik topeng itu, ada sesuatu yang gelap, sesuatu yang mengancam.
"Baiklah kalau begitu." Suara Bibi Lastri terdengar datar. "Jaga baik-baik ya. Jangan sampai hilang, apalagi jatuh ke tangan orang lain." Ada penekanan aneh pada kalimat terakhirnya. Sebuah peringatan. Sebuah ancaman yang terselubung.
Risa menelan ludah. Ia tahu Bibi Lastri menginginkan kotak ini. Dan kini ia lebih yakin dari sebelumnya, bahwa isi kotak ini akan membuka semua kebenaran. Kebenaran tentang ibunya. Dan kebenaran tentang Bibi Lastri.
Ia menatap Kevin yang masih tak sadarkan diri, lalu ke arah Bibi Lastri yang kini berdiri di dekat jendela, memunggungi Risa. Bahu wanita itu tampak menegang. Hawa dingin merayapi punggung Risa. Ia merasakan matanya memanas, bukan karena takut, tapi karena amarah. Amarah pada kebohongan dan sandiwara ini.
Malam ini, Risa telah kehilangan Kevin, dan nyaris kehilangan kotak ini. Ia tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Ia akan membuka kotak ini. Dan apa pun yang ada di dalamnya, ia akan menghadapinya. Sendirian, jika perlu.
Sebuah firasat buruk kembali menyelimutinya. Ini bukan hanya tentang warisan. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih besar, lebih kelam, dan lebih pribadi. Sesuatu yang tersembunyi rapat di balik senyum sempurna Bibi Lastri, dan di balik dinding-dinding usang rumah tua itu. Permainan ini baru saja dimulai, dan Risa tahu, ia kini adalah pion yang sudah berada di tengah papan catur, dikelilingi oleh bahaya yang tak terlihat.