Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Strategi Bhaskara
Malam itu, langit seperti menyimpan rahasia. Tak ada bintang, hanya awan hitam pekat bergelayut bagai luka tak sembuh.
John Blitix, berdiri di balik barisan semak kering, memberikan isyarat dengan tangan kanan. Tiga puluh pasukan bayangan terbaiknya merayap perlahan ke arah perbukitan Manguntirto yang tampak senyap. Terlalu senyap.
"Apa mereka semua tidur karena kelelahan? Atau mereka terlalu percaya diri?" gumamnya sinis, bibirnya melengkung, matanya memerah oleh amarah terselubung.
Namun, baru beberapa langkah pasukannya menyentuh rerumputan perbukitan, tanah di bawah mereka seperti menghela napas. Dan ledakan cahaya menyala dari balik pepohonan—api kapur dan bubuk lada meledak bersamaan. Panik menjalar dalam hitungan detik.
Suara bergemuruh menambah panik para pasukan musuh.
Asap menyengat. Panah berdesing dari kegelapan. Teriakan kesakitan bersahutan seperti nyanyian kematian.
"Gila ini adalah jebakan!! Kita bukan lagi pemburu... tapi yang diburu!" pekik salah satu prajurit, sebelum dadanya tertembus panah yang meluncur dari bayangan.
Blitix membeku sejenak. Matanya menyapu sekitar. Asap. Kobaran api. Tubuh-tubuh jatuh. Kepungan.
Ini bukan perlawanan liar dari penduduk desa. Ini adalah perang gerilya yang terencana.
"Kapan... mereka belajar hal seperti ini?" batinnya gemetar. Ia baru menyadari—bahwa desa yang dulu dianggap tak lebih dari sekumpulan petani bodoh, kini telah menjelma menjadi kawanan serigala bersenjatakan keyakinan untuk membela desa mereka.
Dan dari kejauhan, di balik asap dan kobaran obor yang mulai menyala, sosok Shantand berdiri dengan tatapan tajam. Di sampingnya, Lanselod menunggang kudanya dengan tenang, sementara ada seseorang yang sudah tua duduk bersila, mengatur napasnya seakan segala ini hanya bagian dari ritual pagi yang telah ia jalani puluhan tahun.
"Ini baru permulaan, Shantand," bisik Bhaskara pelan, tanpa suara, namun menggema dalam jiwa sang murid.
Di kejauhan, matahari baru saja mengiris cakrawala. Cahaya keemasannya menyapu ladang basah Manguntirto, namun pagi itu membawa firasat yang menggetarkan.
Suara langkah kaki berirama keras menggema dari arah dermaga. Tanah bergetar ringan. Burung-burung beterbangan dari pohon-pohon, seperti tahu bahwa bencana tengah mendekat.
Dari balik kabut tipis sisa embun, satu barisan pasukan musuh muncul—berkilauan di bawah sinar mentari. Mereka bukan pasukan biasa. Baju besi hitam keperakan membalut tubuh mereka dari leher hingga mata kaki, membuat mereka tampak seperti bayangan kematian yang diberi tubuh. Setiap langkah mereka membawa denting logam dan gema keheningan.
Shantand yang baru saja akan bersiap menemani Lanselod memeriksa pertahanan, terpaku di tempatnya. “Mereka... siapa itu?” gumamnya.
Pak Lanselod berdiri tegak di sampingnya, matanya menyipit, menakar kekuatan lawan. “Pasukan baja. Bukan infanteri biasa. Ini... formasi lapis baja Kekaisaran Sonderlicht. Aku mengenali gaya mereka. Mereka bukan sekadar prajurit, mereka adalah pendobrak perang.”
“Pendobrak perang...?” Shantand bergidik.
Lanselod mengangguk tegas. “Ya. Pasukan ini tidak dikerahkan untuk menaklukkan—mereka dikirim untuk menghapus dari peta.”
Sementara itu, dari balik kerumunan pasukan, tampak John Blitix yang tadi malam nyaris kehilangan kendali, kini berdiri tegap. Di belakangnya, seorang perwira asing berambut perak pendek menyeringai. Komandan Kruwel, pemimpin pasukan lapis baja, telah tiba.
Namun di balik tenda komando desa, Bhaskara dalam labu tuak—hanya tersenyum samar. Shantand yang bersiap menyambut datangnya saat - saat itu merasa tegang seluruh urat sarafnya.
"Sudah waktunya," gumamnya lirih, matanya menatap langit yang mulai terang.