NovelToon NovelToon
GLOW UP : SAYONARA GADIS CUPU! (MISI MEMBUATMU MENYESAL)

GLOW UP : SAYONARA GADIS CUPU! (MISI MEMBUATMU MENYESAL)

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Aplikasi Ajaib
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Kde_Noirsz

Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.

Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14 : AWAN DI ATAS ZURICH

Mesin pesawat jet pribadi itu menderu halus, membelah gumpalan awan kelabu yang menyelimuti langit kota. Di dalam kabin yang sangat mewah, Aluna Seraphine duduk mematung di dekat jendela. Ia menatap ke bawah, ke arah daratan yang perlahan-lahan menyusut menjadi titik-titik cahaya kecil yang tidak berarti.

Dua jam yang lalu, ia masih berdiri di koridor SMA Pelita Bangsa, menghirup aroma debu dan kebencian. Sekarang, ia duduk di kursi kulit asli yang sangat lembut, dikelilingi oleh interior kayu mahoni dan fasilitas yang bahkan tidak pernah muncul dalam mimpi buruknya sekalipun.

Luna melihat tangannya yang gemetar. Ia masih mengenakan rok seragam sekolahnya yang sedikit robek di bagian keliman, kontras yang sangat menyakitkan dengan kemewahan di sekelilingnya.

"Minumlah. Ini akan membantumu tetap tenang."

Xavier muncul dari kabin depan, meletakkan segelas teh herbal hangat di atas meja lipat di depan Luna. Ia telah melepas jaketnya, hanya mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan guratan otot dan beberapa bekas luka kecil di lengannya, jejak pertarungan di parkiran tadi siang.

"Kita benar-benar pergi, Xavier?" tanya Luna, suaranya hampir tidak terdengar di tengah desis pendingin udara pesawat.

"Ya. Kita menuju Zurich, Swiss," jawab Xavier. Ia duduk di kursi seberang Luna, menatap gadis itu dengan pandangan yang sulit diartikan. "Mulai hari ini, SMA Pelita Bangsa hanyalah masa lalu yang buruk. Kamu tidak perlu lagi bangun dengan rasa takut akan siraman tepung atau fitnah di grup chat."

Luna menyesap tehnya. Rasa hangatnya mulai menyebar ke dadanya yang sesak, namun pikirannya masih tertinggal di bawah sana. "Bagaimana dengan mereka? Reihan... Maya... mereka tidak akan membiarkan ini, kan? Mereka akan mencariku."

Xavier tersenyum tipis—sebuah senyum yang mengandung ancaman tersembunyi. "Mereka akan terlalu sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri untuk mencarimu, Luna. Saat ini, ayah Reihan sedang menghadapi investigasi korupsi tingkat nasional. Saham perusahaannya jatuh bebas. Reihan bukan lagi pangeran; dia sekarang hanyalah putra dari seorang tersangka yang sedang bangkrut."

Luna terdiam. Ia teringat wajah Reihan yang histeris di aula tadi siang. Ada rasa puas yang aneh, tapi juga ada rasa hampa. "Aku tidak menyangka... kehancuran bisa datang secepat itu."

"Itulah kekuatan Madam," ucap Xavier pelan. "Dan itulah kekuatan yang akan segera menjadi milikmu."

Sementara itu, di bawah sana, di SMA Pelita Bangsa, suasana kacau balau masih berlangsung. Aula sekolah yang biasanya menjadi tempat ujian yang tenang kini berubah menjadi pusat kegaduhan.

Reihan terduduk di lantai aula, dikelilingi oleh para guru yang mencoba menenangkannya, namun ia terus berteriak sambil menunjuk ke arah layar besar yang kini sudah mati. "Dia yang ngelakuin ini! Si Luna cupu itu! Dia penyihir! Dia ngerusak keluarga gue!"

"Reihan, tenanglah! Kamu harus pulang, ibumu menelepon terus," ucap Pak Danu, guru sejarah, dengan wajah cemas.

Di pojok koridor, Maya dan Kevin berdiri dengan wajah pucat. Maya baru saja menyadari bahwa kartu kreditnya yang biasanya ia gunakan untuk pamer di depan teman-temannya telah diblokir.

"Vin... ini nggak mungkin," bisik Maya, tangannya gemetar memegang ponsel. "Semua postingan gue tentang Luna di Instagram... semuanya hilang. Malah ada peringatan dari kepolisian siber di DM gue. Katanya gue terlibat kasus pencemaran nama baik berat."

Kevin tidak menjawab. Ia sedang menatap laptopnya dengan mata terbelalak. Seluruh data yang ia kumpulkan untuk menjatuhkan Luna video editan, rekaman suara palsu telah berubah menjadi virus yang menghancurkan seluruh sistem penyimpanan datanya. Bukan hanya itu, di layar laptopnya kini muncul pesan berulang : [KAMI MELIHATMU, KEVIN.]

"Kita salah lawan, May," gumam Kevin dengan suara parau. "Luna bukan cuma cupu... ada monster yang berdiri di belakang dia."

Tepat saat itu, beberapa pria berjas hitam masuk ke gerbang sekolah. Mereka bukan polisi, tapi mereka memiliki aura yang jauh lebih menakutkan. Mereka berjalan menuju kantor Kepala Sekolah, membawa dokumen-dokumen legal yang akan memaksa sekolah tersebut melakukan perombakan total.

SMA Pelita Bangsa tidak akan pernah sama lagi. Dan di antara semua ketakutan itu, satu pertanyaan menggantung di benak semua orang: Ke mana Aluna pergi?

Kembali ke jet pribadi, Luna mulai merasakan kantuk yang luar biasa. Ketegangan selama satu bulan terakhir, skorsing, penculikan, dan ujian akhir yang melelahkan telah menguras habis tenaganya.

"Tidurlah, Luna," ucap Xavier lembut. Ia mengambil sebuah selimut kasmir dan menyampirkannya ke tubuh Luna. "Zurich masih jauh. Saat kamu bangun nanti, kamu akan melihat dunia yang berbeda."

"Xavier..." gumam Luna di ambang tidurnya. "Kenapa Madam memilihku? Ada ribuan orang miskin di luar sana... kenapa aku?"

Xavier terdiam sejenak. Ia mengusap rambut Luna yang sekarang pendek dan kasar. "Karena darah tidak pernah berbohong, Luna. Kamu adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang bisa kamu bayangkan. Kamu adalah satu-satunya alasan Madam tetap bertahan hidup."

Luna tidak lagi mendengar kalimat terakhir Xavier. Ia sudah jatuh ke dalam tidur yang dalam—tidur tanpa mimpi buruk untuk pertama kalinya.

Sepuluh jam kemudian, pesawat mendarat di Bandara Internasional Zurich. Udara dingin pegunungan Alpen langsung menyambut saat pintu pesawat dibuka.

Luna terbangun dan tertegun melihat pemandangan di luar. Di sana, di samping landasan pacu, sudah menunggu iring-iringan mobil Mercedes-Benz hitam yang sangat mengkilap. Para pria dengan setelan jas formal berdiri tegak di samping mobil, menunggu dengan rasa hormat yang luar biasa.

Xavier menuntun Luna turun dari tangga pesawat. "Selamat datang di rumah yang sebenarnya, Luna."

Mereka masuk ke dalam mobil utama. Perjalanan berlanjut menuju sebuah mansion yang terletak di pinggiran danau Zurich—sebuah istana modern yang dikelilingi oleh pengamanan tingkat tinggi.

Saat mobil melewati gerbang besar mansion tersebut, Luna melihat seorang wanita tua berdiri di teras depan. Wanita itu mengenakan gaun sutra berwarna zamrud, rambut putihnya tertata sangat rapi, dan tangannya menggenggam tongkat perak dengan kepala elang.

"Madam," bisik Xavier.

Mobil berhenti. Xavier membukakan pintu untuk Luna. Dengan langkah ragu-ragu, Luna turun dari mobil. Ia merasa seperti seorang penyusup di tempat seindah ini dengan seragam sekolahnya yang kotor.

Madam melangkah maju. Suara ketukan tongkatnya di lantai marmer terdengar sangat ritmis. Ia berhenti tepat di depan Luna, menatap gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Luna menunduk, namun Madam menggunakan ujung jarinya untuk mengangkat dagu Luna.

"Jangan pernah menundukkan kepala di depanku, Aluna," suara Madam terdengar tenang namun penuh otoritas. "Di tempat ini, kamu bukan lagi korban. Di tempat ini, kamu adalah pemilik segalanya."

"Madam... terima kasih sudah menyelamatkanku," ucap Luna tulus.

Madam Celine tersenyum tipis. "Aku tidak menyelamatkanmu, Sayang. Aku hanya mengambil kembali apa yang memang menjadi milikku. Selama sepuluh tahun aku mencari jejak ibumu, dan akhirnya Xavier menemukanmu di selokan bernama Pelita Bangsa itu."

Madam Celine menoleh ke arah Xavier. "Kerja bagus, Xavier. Sekarang, bawa dia masuk. Berikan dia istirahat total selama 24 jam. Setelah itu... proses pembersihan dimulai."

Bab 14 ini diakhiri dengan Luna yang berdiri di tengah kamar tidurnya yang sangat luas, seluas separuh rumah kontrakannya dulu. Ia menatap ke arah cermin besar. Ia melihat bayangan seorang gadis yang masih memakai rok seragam biru tua, wajahnya masih memiliki sisa memar, dan matanya masih menyimpan jejak trauma.

Namun, ia juga melihat Xavier yang berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan.

"Satu bulan dari sekarang, Luna," ucap Xavier. "Kamu tidak akan mengenali gadis yang ada di cermin itu lagi."

Luna mengepalkan tangannya. Ia tahu, penderitaannya di sekolah belum sepenuhnya terbalas. Ia masih ingin melihat Reihan berlutut. Ia masih ingin melihat Maya memohon ampun. Dan ia tahu, untuk melakukan itu, ia harus merelakan "Luna yang lama" mati di tempat ini.

Di meja kerja Madam Celine, terdapat sebuah map merah. Di dalamnya, ada foto seorang gadis lain, gadis cantik dengan rambut pirang platinum yang sedang tersenyum sombong di sebuah pesta elit di Paris.

Di bawah foto itu tertulis : VALERIE SERAPHINE - TARGET POTENSIAL.

Madam Celine menatap foto itu dengan tatapan benci. "Dunia mengira kamu adalah ahli warisku, Valerie. Tapi sekarang... darah asli Seraphine sudah kembali. Dan kamu tidak akan menyukai apa yang akan dilakukan Aluna padamu nanti."

1
Ayu Nur Indah Kusumastuti
😍😍 xavier
Ayu Nur Indah Kusumastuti
semangat author
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!